Muhyiddin
Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. setelah selesai studi di Seville,
ia pindah ke Tunis di tahun 1194, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun
1202 M. ia pergi ke Mekah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
Ibn Arabi, selain sebagai sufi juga
dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut
perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman,
tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah
al-Makkah. Di samping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus
al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.[1]
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat
disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdat al-wujud. Dia telah
menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq
tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam
sebagaimana dialami al-Hallaj. Baginya Wujud (Yang Ada) itu hanya Satu.
Wujudnya makhluk adalah lain wujud Khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah
di antara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara Khalik dan
makhluk itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat.
Dalam Futuhat al-Makkah, sebagai kitab yang dikarangnya, Ibn Arabi
mengatakan bahwa:
يَاخَالِقَ الشَّيْئِ فىِ
نَفْسِنىِ اَنْتَ لِمَا تَخْلُقُهُ جَمِيْعَ تَخْلُقُ مَالاَيَنْتَهِى كَوْنُهُ
فَبِكَ فَاَنْتَ الضَّيِّقُ الْوَاسِعُ
“Wahai Yang Menjadikan segala sesuatu pada
dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau
jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau maka Engkaulah yang sempit
dan lapang”.[2]
Selain itu Ibn Arabi mengatakan pula
bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itulah hakikat alam. Tidak
ada di sana perbedaan di antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq dengan
wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (manusia
yang menyembah) dengan ma’bud (Tuhan yang disembah). Perbedaan itu hanya rupa
dan ragam, sedangkan essensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yang
lain, Ibn Arabi mengatakan:
اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَرَبٌّ
عَبْدٌ يَا لَيْتَ شِرِّى مِنَ الْمُكَلَّفِ اِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ
اَوْ قُلْتَ رَبُّ اَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah
hamba. Demi syu’urku, siapakah yang
mukallaf. Kalau engkau katakan, Hamba, padahal dia Tuhan atau engkau katakana
Tuhan, yang mana yang diperintah?”[3]
Selanjutnya Ibn Arabi mengatakan,
kalau sekiranya antara Khaliq dan makhluk itu saja wujudnya, mengapa kelihatan
dua? Yaitu karena manusia tidak memandangnya dari wajah yang satu. Mereka
memandang kepada keduanya dengan pandangan, bahwa wajah pertama ialah haqq dan
wajah kedua adalah Khalik. Tetapi kalau dipandang dalam ‘ain yang satu dan
wajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu,
tentulah manusia akan mendekati hakikat Zat Yang Esa, yang tiada terbilang dan
tidak terpisah.[4]
Konsep yang diuraikan diatas tadi
itulah yang kemudian dikenal dengan wahdat al-wujud Ibn Arabi.[5] Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang
terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[6] Dengan demikian wahdat al-wujud
berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti
yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah
sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih
kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat
dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat)
dan forma (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[7]
Pengertian wahdat al-wujud yang
terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara
manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution
lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat
al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq
(makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah
dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan
aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq
ini merupakan padanan kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar
(substance) dan al-zahir (lahir-luar-nampak), dan al-bathin
(dalam, tidak nampak).[8] Dan dari kedua aspek tersebut yang
sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang
merupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan
yang nampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama
(al-haqq).[9] Dari sini kemudian membawa kepada
timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya
satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu,
sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini
dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam
al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu
dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah.
Pada saat Ia ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Pada
benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda
alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan diri sinilah timbul paham kesatuan.
Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi
sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam
beberapa cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya
hanya satu. Dalam kitab Fushush al-Hikam sebagaimana yang dijelaskan
oleh al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, menjelaskan:
وَمَا الْوَجْهُ اِلاَّ وَاحِدٌ غَيْرَ
اَنَّهُ اِذَا اَنْتَ اَعْدَدْتَ الْمَرَابَا تَعَدُّدًا
Selanjutnya, bahwa makhluk yang
dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepada-nya, adalah sebagai sebab dari
segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akan
mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah yang sebenarnya yang
mempunyai wujud hakiki atau yang wajib al-wujud. Sementara itu makhluk sebagai
yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang
berada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenarnya
hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud.
Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnya
hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan.[11] Ibn Arabi lebih lanjut mengatakan:
اِنَّ الْمُحـْدِثُ قَدْ
ثَبَتَ حـُدُوْثُهُ وَاِفْتـِقَارُهُ إِلىَ مُحْـدِثٍ اَحـْدَثَهُ لاَِمـْكَانِهِ
لِنَفْسـِهِ فَوُجـُوْدُهُ مِنْ غَيْرِهِ ... وَلاَ بُدَّ اَنْ يَّكُوْنَ الْمُسْتـَنَدُ
إِلَيـْهِ وَاجَبَ الْوُجُـوْدِ لِـذَاتِهِ غَنِيًّا فىِ وُجُـوْدِهِ بِنَفْسـِهِ
غَيْرَ مُفْتـَقِرٍ وَهُوَ الَّذِى اَعْطَى الْوُجـُوْدَ بِذَاتِهِ لِهَـذَا
الْحَـدِيْثِ وَاجِـبُ الْوُجُـوْدِ وَلَكِنْ وُجُـوْبُهُ بِغَيْرِهِ لاَ
بِنَفْسِـهِ
“Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk
adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khaliq yang menjadikannya; karena
ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan
demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain … dan sesuatu yang lain
tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang lain; yang pada essensinya
mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada
yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam essensinya memberikan wujud
bagi yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib,
tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada
dirinya sendiri.”[12]
Paham wahdat al-wujud tersebut di
atas mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada
Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya
yang nampak, sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak nampak
yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya
unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang nampak di alam ini,
dan unsur batinnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdat al-wujud ini yang terjadi
adalah bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada
pada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka
paham wahdat al-wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan, dan dengan demikian tidak
akan membawa keluar dari Islam.[13] Ini pun dapat dilihat pada firman
Allah Swt:
هُوَ اْلاَوَّلُ وَاْلاَخِرُ وَالظَّاهِرُ
وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang
Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.[14]
وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً
وَبَاطِنَةً
Sebagaimana dikemukakan di atas
bahwa wujud manusia sebagai bergantung kepada wujud Tuhan dapat dipahami bahwa
manusia aalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah
sebagai Yang Maha Kaya. Faham yang demikian sesuai pula dengan isyarat ayat yang
berbunyi:
يَآيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَآءُ
إِلىَ اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak
kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi
Maha Terpuji.”[16]
[1]
Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 62.
[2]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 253-254.
[3]
Ibid. hal. 254.
[4]
Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 155.
[5]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 247-255.
[6]
Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 492 dan 494.
[7]
Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 549.
[8]
Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 92.
[9]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 248.
[10]
Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 93.
[11]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 249-250.
[12]
Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 94-95.
[13]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 251.
[14]
Q.S. al-Hadid, [57]: 3.
[15]
Q.S. Luqman, [31]: 20.
[16]
Q.S. Fathir, [35]: 15.
[17]
Departemen Agama Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1984. hal. 90.
[18]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 252.
[19]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar