Sabtu, 10 September 2011

Ibnu Arabi Dalam Dunia Sufistik


            Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1194, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
            Ibn Arabi, selain sebagai sufi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al-Makkah. Di samping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.[1]

            Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdat al-wujud. Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj. Baginya Wujud (Yang Ada) itu hanya Satu. Wujudnya makhluk adalah lain wujud Khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah di antara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara Khalik dan makhluk itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat. Dalam Futuhat al-Makkah, sebagai kitab yang dikarangnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa:

يَاخَالِقَ الشَّيْئِ فىِ نَفْسِنىِ اَنْتَ لِمَا تَخْلُقُهُ جَمِيْعَ تَخْلُقُ مَالاَيَنْتَهِى كَوْنُهُ فَبِكَ فَاَنْتَ الضَّيِّقُ الْوَاسِعُ

   “Wahai Yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau maka Engkaulah yang sempit dan lapang”.[2]

            Selain itu Ibn Arabi mengatakan pula bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itulah hakikat alam. Tidak ada di sana perbedaan di antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (manusia yang menyembah) dengan ma’bud (Tuhan yang disembah). Perbedaan itu hanya rupa dan ragam, sedangkan essensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yang lain, Ibn Arabi mengatakan:

اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَرَبٌّ عَبْدٌ يَا لَيْتَ شِرِّى مِنَ الْمُكَلَّفِ اِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ اَوْ قُلْتَ رَبُّ اَنَّى يُكَلَّفُ

   “Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’urku,  siapakah yang mukallaf. Kalau engkau katakan, Hamba, padahal dia Tuhan atau engkau katakana Tuhan, yang mana yang diperintah?”[3]

            Selanjutnya Ibn Arabi mengatakan, kalau sekiranya antara Khaliq dan makhluk itu saja wujudnya, mengapa kelihatan dua? Yaitu karena manusia tidak memandangnya dari wajah yang satu. Mereka memandang kepada keduanya dengan pandangan, bahwa wajah pertama ialah haqq dan wajah kedua adalah Khalik. Tetapi kalau dipandang dalam ‘ain yang satu dan wajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu, tentulah manusia akan mendekati hakikat Zat Yang Esa, yang tiada terbilang dan tidak terpisah.[4]
            Konsep yang diuraikan diatas tadi itulah yang kemudian dikenal dengan wahdat al-wujud Ibn Arabi.[5] Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[6] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[7]
            Pengertian wahdat al-wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir-luar-nampak), dan al-bathin (dalam, tidak nampak).[8] Dan dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang nampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al-haqq).[9] Dari sini kemudian membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat Ia ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan diri sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam kitab Fushush al-Hikam sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, menjelaskan:

وَمَا الْوَجْهُ اِلاَّ وَاحِدٌ غَيْرَ اَنَّهُ اِذَا اَنْتَ اَعْدَدْتَ الْمَرَابَا تَعَدُّدًا

   “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyakan cermin ia menjadi banyak.”[10]

            Selanjutnya, bahwa makhluk yang dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepada-nya, adalah sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah yang sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau yang wajib al-wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnya hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan.[11] Ibn Arabi lebih lanjut mengatakan:

اِنَّ الْمُحـْدِثُ قَدْ ثَبَتَ حـُدُوْثُهُ وَاِفْتـِقَارُهُ إِلىَ مُحْـدِثٍ اَحـْدَثَهُ لاَِمـْكَانِهِ لِنَفْسـِهِ فَوُجـُوْدُهُ مِنْ غَيْرِهِ ... وَلاَ بُدَّ اَنْ يَّكُوْنَ الْمُسْتـَنَدُ إِلَيـْهِ وَاجَبَ الْوُجُـوْدِ لِـذَاتِهِ غَنِيًّا فىِ وُجُـوْدِهِ بِنَفْسـِهِ غَيْرَ مُفْتـَقِرٍ وَهُوَ الَّذِى اَعْطَى الْوُجـُوْدَ بِذَاتِهِ لِهَـذَا الْحَـدِيْثِ وَاجِـبُ الْوُجُـوْدِ وَلَكِنْ وُجُـوْبُهُ بِغَيْرِهِ لاَ بِنَفْسِـهِ

   “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khaliq yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain … dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang lain; yang pada essensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.”[12]

            Paham wahdat al-wujud tersebut di atas mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang nampak, sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak nampak yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang nampak di alam ini, dan unsur batinnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdat al-wujud ini yang terjadi adalah bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka paham wahdat al-wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan, dan dengan demikian tidak akan membawa keluar dari Islam.[13] Ini pun dapat dilihat pada firman Allah Swt:

هُوَ اْلاَوَّلُ وَاْلاَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ

   “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.[14]

وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin.”[15]

            Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa wujud manusia sebagai bergantung kepada wujud Tuhan dapat dipahami bahwa manusia aalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah sebagai Yang Maha Kaya. Faham yang demikian sesuai pula dengan isyarat ayat yang berbunyi:

يَآيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَآءُ إِلىَ اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

   “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”[16]

            Kata al-awwal pada surat al-Hadid di atas diartikan dengan yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, dan al-akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang Zahir” juga artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan “Yang Batin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal.[17] Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah sifat-sifat Allah yang nampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu wujud.[18] Sedangkan dalam surat Luqman di atas dinyatakan bahwa yang lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dan jelaslah bahwa pada manusia juga ada unsur lahir dan batin itu.[19]


[1] Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 62.
[2] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 253-254.
[3] Ibid. hal. 254.
[4] Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 155.
[5] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 247-255.
[6] Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 492 dan 494.
[7] Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 549.
[8] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 92.
[9] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 248.
[10] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 93.
[11] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 249-250.
[12] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 94-95.
[13] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 251.
[14] Q.S. al-Hadid, [57]: 3.
[15] Q.S. Luqman, [31]: 20.
[16] Q.S. Fathir, [35]: 15.
[17] Departemen Agama Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1984. hal. 90.
[18] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 252.
[19] Ibid

Tidak ada komentar: