Nama
lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazaly, lahir pada tahun 1059 M di
Ghazaleh, suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar
kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah
Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, beliau mempelajari ilmu agama,
teologi, pengetahuan alam, filsafat dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf
sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi ia
kembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninggal di sana tahun 1111 M.[1]
Ia
seorang ulama besar yang memperoleh gelar “Hujjat al-Islam” di samping
luas ilmu dan amalnya juga hidupnya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan
dalam mempertahankan serangan terhadap ajaran agama Islam, baik yang datangnya
dari dalam maupun dari luar Islam.
Dia pernah berkecimpung dalam ilmu
kalam, bidang filsafat dan juga menyelidiki ilmu kebatinan, tetapi ia tidak
pernah merasa puas dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan tokoh-tokoh tersebut,
yang akhirnya ia memasuki bidang tasawuf. Di situlah ia merasa bahagia karena
mendapatkan kebenaran yang mutlak.
Tasawuf Al-Ghazaly sangat memberi
kesan dan pengaruh bagi kehidupan para shufi berikutnya, karena ia telah
berusaha membuka hijab yang memisahkan antara khalik dan makhluk, sehingga
terungkaplah rahasia-rahasia yang ada di balik alam nyata ini. Indera batin dan
indera lahir mengambil peranan penting dalam hal ini, akibat ilmu-ilmu yang
selama ini bersifat samar-samar dan berdasarkan pengalaman saja berubah menjadi
suatu keyakinan dalam kenyataan, bahkan ilmu-ilmu tersebut dapat disusun
menjadi buku-buku yang menjadi pegangan bagi penganut tasawuf berikutnya.
Misalnya Ihya ‘Ulumuddin, dipelajari bukan hanya oleh ulama para Shufi.
Menurut al-Ghazaly, sebagaimana yang
ditulis dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal, mempelajari
ilmu tasawuf itu lebih mudah daripada mengamalkannya. Maka, kemudian al-Ghazaly
pun menggali ilmu ini dengan menelaah kitab-kitab, seperti: kitab Qut
al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki – rahimah Allah – dan beberapa
kitab al-Haris al-Muhaisibi serta berbagai wacana terkenal kala itu, yang terpisah-pisah
dari al-Junaid, al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami – semoga Allah
menyucikan arwah mereka – dan lain-lainnya, dari wacana guru-guru mereka,
sampai beliau benar-benar berhasil melihat dan menelaah secara mendalam
mengenai hakikat tujuan ilmiah mereka. Beliau pun telah berhasil meraih apa
yang bisa beliau dapatkan dari metode mereka dengan cara belajar dan
mendengarkan. Yang jelas, di mata al-Ghazaly, untuk mencapai pengetahuan
kalangan khusus (khawwas) tidak mungkin hanya dicapai melalui
belajar, tetapi melalui rasa, tahapan kondisi ruhani dan pergantian sifat-sifat
ruhani. Banyak perbedaan untuk mengetahui batasan sehat dan kenyang, disertai
beberapa faktor dan syarat-syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwa
seseorang itu dikatakan sehat dan sebagai orang yang kenyang. Perbedaan antara
mengetahui batasan mabuk, – suatu gambaran dari keadaan dimana adanya gerakan
bergelombang dari dinding lambung ke rongga mulut (gerakan anti peristaltik),
yang pada akhirnya mempengaruhi keseimbangan pikiran – dan bagaimana keadaan
seseorang yang sedang mabuk itu. Orang mabuk tidak mengetahui batasan mabuk dan
pengetahuan tentang mabuk. Akan tetapi, orang yang sepenuhnya sadar, akan tahu
tentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan yang berkaitan dengan mabuk
itu sendiri.[2]
Seorang dokter yang sedang dalam
keadaan sakit, tentu tahu batasan sehat, sebab-sebabnya serta obat-obatnya,
padahal ia sendiri dalam keadaan tidak sehat. Demikian halnya perlu dibedakan
untuk mengetahui hakikat zuhud, syarat-syarat dan sebab-sebabnya, dan antara
keadaan seseorang sebagai orang yang zuhud dan mengasingkan diri dari perkara
duniawi.
Maka, akan diketahui, bahwa
kenyataannya mereka merupakan orang-orang yang memiliki laku ruhani, bukan
orang-orang yang memiliki kepandaian berbicara. Segala kemungkinan yang dapat
diperoleh melalui metode ilmu pengetahuan mungkin telah diperoleh. Namun untuk
meraih pengetahuan sufi, tak ada jalan lain baik lewat belaja maupun
penyimakan, kecuali harus melalui rasa dan suluk.
Menurut al-Ghazali, jelas tak ada
lagi keinginan beliau untuk meraih kebahagiaan akhirat, kecuali hanya melalui
takwa dan mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal dari itu semua adalah
memutuskan ketergantungan hati dengan duniawi dengan cara menjauhkan diri dari
rumah tipu daya, menuju ke rumah abadi. Menghadapkan sepenuhnya kepada Allah
Swt dan semua itu tidak akan tercapai secara sempurna, kecuali dengan
memalingkan diri dari tahta, harta dan lari dari berbagai kesibukan serta
ketergantungan duniawi. Inilah yang kemudian membawa keluar al-Ghazali dari
kesibukan belajar-mengajarnya, yang dinilainya sebagai kesibukan dunia yang
tiada berarti, bahkan membawanya ketepi jurang yang sangat membahayakannya, dan
akhirnya beliau pun keluar dari Baghdad meninggalkan rutinitas yang ada[3] dengan alasan akan pergi ke Mekah,
padahal sebenarnya hendak menyembunyikan diri dengan pergi ke Syam[4] dan menetap di sana kurang lebih dua
tahun, di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali ‘uzlah, khalwat, riyadat
dan mujahadat dengan tujuan utama membersihak diri, melatih dan mendidik
akhlak serta memurnikan hati untuk berzikir kepada Allah Swt sebagaimana
petunjuk ilmu tasawuf yang telah dikuasainya. Lantas mengadakan kunjungan ke
masjid Damaskus dan melakukan i'tikaf di sana beberapa saat lamanya. Dan
sepanjang siang hari naik ke atas menara masjid dan mengunci pintu seorang
diri. Kemudian ke Bait al-Maqdis, memasuki biliknya dan menutup pintu untuk
menyendiri. Kemudian ke Mekah dan Madinah. Dari sana kemudian ke Hijaz.
[5]
Selama sepuluh tahun beliau berkhalwat dan di tengah-tengah
khalwat ini menurutnya, tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung
dan diselidiki sedalam-dalamnya. Misalnya, beliau melihat dengan yakin,
sebenarnya para sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah Swt saja sebagai
prioritas, dan perjalanan hidupnya merupakan perjalanan paling lurus, dan
akhlak mereka merupakan akhlak paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akal
orang-orang kreatif, kebijaksanaan para cendekiawan, pengetahuan orang-orang
yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syariat dari kalangan ulama ingin
mengubah sedikit saja dari perjalanan hidup para sufi dan akhlak mereka, lalu
berupaya menggantinya dengan yang lebih baik, pasti menemui jalan buntu. Sebab,
segala gerakan dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetik
dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian. Sementara tak ada lagi setelah
cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang bisa
menerangi.[6]
Membersihkan hati secara menyeluruh
dari segala hal selain Allah Swt adalah syarat utama tharikat ini. Sedangkan
kuncinya, melalui alur sebagaimana orang yang salat, tenggelamnya hati secara
keseluruhan, melalui zikir kepada Allah Swt. Dan akhirnya melebur diri (fana’)
secara mutlak di dalam Allah. Dan demikian akhirnya bila disandarkan kepada
sesuatu yang nyaris masuk di bawah usaha dan kasab sejak pada
permulaannya. Dan kenyataan semacam ini sebenarnya baru merupakan permulaan
tharikat. Sebelumnya tak lebih dari lorong sempit bagi penempuh yang melewatinya.
Permulaan tharikat ini adalah mukasyafah
dan musyahadah dengan jelas, sehingga mereka dalam keadaan terjaga pun
dapat menyaksikan malaikat dan ruh para Nabi. Mereka bisa mendengarkan
suara-suara (spiritual) dan memetik berbagai manfaat darinya. Kemudian tahap
ruhaninya meningkat, dari penyaksian terhadap beberapa gambaran dan bayangan
sampai ke derajat yang sulit untuk diucapkan oleh kata-kata. Dan kalau pun
harus diucapkan, niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang amat besar, dimana
kesalahan sudah tidak mungkin terlindungi. Kesimpulannya, perkara demikian ini
akan sampai pada suatu tahap yang hampir-hampir mendekati imajinasi yang telah
digambarkan oleh suatu kelompok dengan sebutan hulul, ittihad dan wusul.
Padahal itu semua keliru menurut al-Ghazali sebagaimana dijelaskan dalam
kitabnya al-Maqsad al-Asna. Bahkan orang yang telah mengalami
kondisi ruhani semacam itu hanya bisa dikatakan lewat sebuah syair:
Ada sebagaimana adanya, tak bisa
disebutkan
Secara garis besar menurut
al-Ghazali, dapatlah disimpulkan bahwa barangsiapa tidak mendapat anugerah
sedikit pun dari tahap tersebut melalui rasa, niscaya ia tidak akan mampu
mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan sekadar mengenal nama belaka.
Dalam kenyataan, karamah-karamah para wali merupakan awal tahapan para Nabi.
Terbukti bahwa hal itu merupakan permulaan kondisi ruhani Rasulullah Saw ketika
beliau menuju gua Hira’, di sana beliau menyendiri serta beribadat kepada
Tuhannya, hingga orang-orang Arab berkata, “Sesungguhnya Muhammad itu sedang
asyik kepada Tuhannya.” Keadaan seperti ini hanya bisa diketahui secara pasti
dengan menggunakan rasa (dzauq) oleh orang yang biasa menggunakan cara
seperti itu. Maka barangsiapa dikaruniai rasa, niscaya ia akan bisa
meyakininya melalui pengalaman dan penyimakan, manakala banyak sahabat,
sehingga ia benar-benar memahami melalui bukti-bukti kondisi ruhani secara
meyakinkan. Lantas barangsiapa yang berada stu majelis dengan mereka, ia akan
dapat menyerap faedah keimanan ini darinya. Mereka merupakan suatu kaum dimana
teman duduknya tidak akan mengalami celaka karena dirinya. Sebaliknya,
barangsiapa tidak mendapatkan karunia menemani mereka, harap diketahui
kemungkinan itu semua secara yakin, dengan saksi dalil-dalil.[8]
Menegaskan dengan dalil itu
melahirkan ilmu, sedangkan menggunakan realita kondisi ruhani melahirkan rasa,
menerima dengan sikap toleran dari pengalaman melalui prasangka baik (husnu
al-zan) melahirkan keimanan. Inilah tiga derajat, sebagaimana yang
sudah tertuang di dalam firman Allah Swt:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة: 11)
“Niscaya Allah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu
pengetahuan dengan beberapa derajat.”[9]
Di luar kelompok tersebut hanyalah
kelompok bodoh. Demikian menurut al-Ghazaly. Mereka inilah yang tidak mengakui
prinsip utama itu, dimana hanya mengagumi pandangan ini, mendengarkan, lalu
mengejek seraya berkata, “Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa
mengigau?”[10]
Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini Allah Swt berfirman:
وَمِنْهُمْ مَّنْ
يَّسْتَمِعُ اِلَيْكَ حَتَّى اِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدَكَ قَالُوْا لِلَّذِيْنَ
أُوْتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ أَنِفًا, أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللهُ
عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَاتَّبَعُوْا أَهْوَاءَهُمْ. (محمد: 16)
“Dan di antara mereka ada orang yang
mendengarkan perkataan, sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka
berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi
Saw), ‘Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci
mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.”[11]
Inilah
paham yang dibawa oleh al-Ghazaly, yang kemudian secara lengkap paham ini lebih
dikenal dengan paham makrifat, mengenai paham ma’rifat ini, dapat diikuti dari
pendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazaly misalnya mengatakan, makrifat
adalah:
اَلاِْطِّلاَعُ عَلَى أَسْرَارِ
الرُّبُوْبِيَّةِ وَالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ الأُمُوْرِ الاِْلَهِيَّةِ
الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ
“Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan
dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang
ada.”[12]
Lebih lanjut al-Ghazaly mengatakan,
makrifat adalah:
النَّظْرُ اِلَى وَجْهِ اللهِ
Seterusnya al-Ghazaly menjelaskan
bahwa orang yang mempunyai makrifat tentang Tuhan, yaitu arif, maka orang itu
tidak akan mengatakan ya Allah (يا الله) atau ya rabb (يا
رَبّ) karena memanggil
Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir.
Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[14]
Tetapi bagi al-Ghazaly ma’rifat
urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari
makrifat. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazaly berlainan dengan mahabbah
yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta
seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan
rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan
lain-lain. Al-Ghazaly lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah
itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan
yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.[15]
Dari segi bahasa ma’rifat
berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya
pengetahuan atau pengalaman.[16] Dan dapat pula berarti pengetahuan
tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang
biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[17] Ma’rifat adalah pengetahuan yang
obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap
batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan
segala yang maujud berasal dari yang satu.[18]
Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk
menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. dalam arti sufistik ini,
ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan
yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[19] Selanjutnya Harun Nasution mengatakan
bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan
dengan hati sanubari.[20]
Selanjutnya dari literatur yang
diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifat berarti
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh
karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1.
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia
terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya
Allah.
2.
Makrifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin
itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.
Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu
bangun hanya Allah.
4.
Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang
melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang gemilang.[21]
Dari
beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa makrifat adalah mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan
yang ingin dicapai oleh makrifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang
terdapat dalam diri Tuhan.
Sebagaimana halnya dengan mahabbah,
makrifat ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai
hal. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis.
Dalam pandangan al-Junaid (w. 381 H), ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkan
dalam Risalah al-Qusyairiyah, makrifat dianggap sebagai maqam. Sementara itu
al-Ghazaly dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din memandang ma’rifah datang
sebelum Mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifat datang
sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah dan
mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya
menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata
lain mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada
antara seorang sufi dengan Tuhan.[22]
Dengan demikian, kelihatannya yang
lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana
dikemukakan al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu
kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan, yang mahabbah
itu sendiri lahir karena didahului oleh ma’rifah.
Alat yang dapat digunakan untuk
ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), namun artinya
tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari
alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal
ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi
cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[23] Qalb yang telah dibersihkan dari
segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan
dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari
cahaya Tuhan.[24]
Proses sampainya qalb pada cahaya
Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli
yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui
taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak
yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga
tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ, لِلْجَبَلِ
جَعَلَهُ, دَكًّا وَخَرَّ مُوْسَى صَعِقًا. (الأعراف: 143)
“Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu,
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.”[25]
Mengenai pengertian tajalli ini
lebih lanjut dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut:
تَجَلَّى سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى اَفْعَالِهِ عِبَارَةٌ عَنْ مَشْهَدٍ يَرَى فِيْهِ الْعَبْدُ جَرْيَانَ
الْقُدْرَةِ فِى الأَشْيَاءِ فَيَشْهَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُحَرِّكَهَا
وَمَسْكِنَهَا يَنْفِى الْفِعْلَ عَنِ الْعَبْدِ وَاِثْبَاتُهُ لِلْحَقِّ
“Tajalli Allah Swt dalam perbuatannya, ialah ibarat daripada
penglihatan di mana seseorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku kudrat Allah
pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah perbuatan seorang
hamba, gerak dan diam serba isbat adalah bagi Allah semata-mata.”[26]
Tajalli dapat diartikan,
مَنْ تَجَلَّى لَهُ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ حَيْثُ اِسْمُهُ الْظَاهِرُ فَكَشَفَ لَهُ عَنْ سِرِّ
ظُهُوْرِ النُّوْرِ الاِلَهِيْ فِى كَشَائِفِ الْمُحْدِثَاتِ لِيَكُوْنَ طَرِيْقًا
اِلَى مَعْرِفَةٍ أَنَّ اللهَ هُوَ الظَّاهِرُ فَعِنْدَ ذَلِكَ تَجَلَّى لَهُ
بِأَنَّهُ الظَّاهِرُ فَبَطَنَ الْعَبْدُ بِبُطُوْنِ فِنَاءِ الْحَقِّ فِى
ظُهُوْرِ وُجُوْدِ الْحَقِّ
“Siapa-siapa baginya tajalli Allah Swt
dari segi namanya yang disebut, maka terbukalah baginya daripada nampaknya nur
ilahi dalam keadaan biasa, maksudnya agar ia mendapatkan jalan kepada makrifat.
Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika itu tajalli Allah Swt baginya,
karena sesungguhnya Allah adalah tampak. Ketika itu maka bertempatlah hamba
pada tempat yang batin karena fananya sifat-sifat kebaharuannya ketika
nampaknya wujud al-haqq al-yaqin.”[27]
Kutipan tersebut menunjukkan dengan
jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifah, dan terjadi
setelah terjadinya al-fana’ yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan,
dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli
ini adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan.[28]
Kemungkinan manusia mencapai tajalli
atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat pula dilihat dari isyarat ayat
berikut ini:
نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ يَهْدِى اللهُ
لِنُوْرِهِ مِنْ يَّشَاءُ (النور: 35)
“Cahaya di atas cahaya, Allah
mengkaruniakan dengan cahaya-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”[29]
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah
manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara
demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa.
Orang yang sudah mencapai makrifat ia memperoleh hubungan langsung dengan
sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, ia dapat
diibaratkan seperti orang yang memiliki antene parabola yang mendapatkan
langsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِيْ عِلْمٍ عَلِيْمٌ
Makrifat yang dicapai seseorang itu
terkadang diberi nama yang bermacam-macam Imam al-Syarbasi menyebutnya ilmu al-mauhubah
(pemberian).[31] Sedangkan Imam al-Syuhrawardi
menyebutnya al-isyraqiyah (pancaran), Ibn Sina menyebut al-faid
(limpahan). Sementara di kalangan masyarakat pesantren dikenal dengan istilah futuh
(pembuka), dan di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama ilmu laduni,
dan di kalangan kebatinan disebut wangsit.[32]
Uraian di atas telah
menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari
Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang
dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah
berhubungan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari
43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.[33] Misalnya ayat yang berbunyi:
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا
فَمَالَهُ مِنْ نُوْرٍ (النور: 40)
“Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya
(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.”[34]
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلاِْ
سْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِنْ رَّبِّهِ (الزمر: 22)
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan
Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari
Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”[35]
Dua ayat tersebut sama-sama
berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan
kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan
mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan
cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang
didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat
dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.[36]
Selanjutnya di dalam hadits kita
jumpai Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً اَحْبَبْتُ
أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِي
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang
tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah
makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka
mengenal Aku. (Hadis Qudsi).[37]
Hadis tersebut memberikan petunjuk
bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti
ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Demikian mengenai konsep tasawuf
al-Ghazaly yang terkenal. Adapun mengenai karya yang merekam pergolakan
intelektual dan spiritualnya adalah karyanya yang berjudul al-Munqiz
min al-Dalal, yang isinya merupakan kumpulan karya-karyanya Majmu’at
Rasail al-Imam al-Ghazali yang sangat populer itu. Di dalamnya, al-Ghazaly
menelanjangi dunia filsafat, khususnya dalam filsafat metafisika yang cenderung
menyejajarkan diri dengan wahyu. Bahaya dunia filsafat diketengahkan secara
argumentatif, sekaligus juga sejumlah disiplin ilmu yang mengkritik filsafat.
Namun, al-Ghazali tidak mengkritik filsafat secara membabi buta, ada sejumlah paradigma
dan cabang disiplinnya yang bisa diterima secara instrumental oleh umat Islam.[38]
Al-Munqiz min al-Dalal
merupakan lembaran yang sangat berharga bagi para pencari kebenaran dan
keyakinan. Sebab, setiap penempuh jalan kebenaran – paling tidak – akan
mengalami imbas kemelut, sebagaimana dialami oleh al-Ghazali, dengan hasil
menurut kadar tertentu, sesuai dengan kemampuannya.
Keluar dari jalan sesat menuju
jalan lurus yang benar, adalah satu-satunya tujuan yang ditempuh
al-Ghazali dalam seluruh karya-karya monumentalnya. Sebagai ulama besar yang
kemudian menambatkan seluruh hidupnya pada dunia sufisme, al-Ghazali secara
deskriptif-analisis merekonstruksikan sejumlah aliran-aliran sesat dalam dunia
intelektual yang mengancam intelektualisme Islam hingga akar-akarnya.[39]
Pencarian jalan selamat benar-benar
ditempuh oleh al-Ghazali, dengan risiko yang tinggi, bahkan sampai pada titik
jenuh psikologis yang mempengaruhi kondisi fisiknya. Tetapi, melalui metodologi
spiritual-sufistik, metode yang dinilai sebagai alternatif bagi pencerahan
pemikiran dan akidah. Dunia tasawuf, yang selama ini dikesankan sebagai dunia maya
yang penuh dengan takhayul dan pasif, justru di tangan al-Ghazali menjadi
wahana dinamis, optimis dan memberi peluang terbesar bagi kreativitas jiwa,
pemikiran dan ekstakologis ubudiyah, sehingga al-Ghazali menemukan pencerahan
jiwa yang luar biasa, sampai pada tahap ekstakologi ma’rifat Allah.
[1]
Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan
Bintang. 1983). Cetakan ke-III. hal. 43; Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Februari 2002). Cetakan keempat. hal. 225.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min al-Dalal. (Beirut: Dar
al-Fikr. 1416/1996). Cetakan ke I. diterjemahkan oleh Abu Ahmad Najieh. Penyelamat
dari Kesesatan. (Surabaya: Risalah Gusti. Rabi’ al-Akhir 1418/Agustus
1997). Cetakan pertama. hal. 59-60.
[3]
Lihat Ibid. hal. 60-62.
[4]
Ibid. hal. 63-64.
[5]
Ibid. hal. 65.
[6]
Ibid. hal. 65-66.
[7]
Ibid. hal. 67.
[8]
Ibid. hal. 67-68.
[9]
Q.S. al-Mujadalah: 11.
[10]
Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. 69.
[11]
Q.S. Muhammad: 16.
[12]
Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1995).
Cet. I. hal. 227.
[13]
Ibid.
[14]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 226-227.
[15]
Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 78.
[16]
IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatera Utara.
1983/1984). hal. 122.
[17]
Jamil Saliba. Mu’jam al-Falsafi. Jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab. 1979).
hal. 72.
[18]
Ibid.
[19]
Al-Kalabazi. Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf. (Mesir: Dar
al-Qahirah. t.t.). hal. 158-159.
[20]
Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 75.
[21]
Ibid. hal. 75-76.
[22]
Ibid. hal. 75.
[23]
Ibid. hal. 77
[24]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf …
hal. 222.
[25]
Q.S. al-A’raf, [7]: 143.
[26]
Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 246.
[27]
Ibid. hal. 247.
[28]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 224.
[29]
Q.S. al-Nur, [24]: 35.
[30]
Q.S. Yusuf, [12]: 76.
[31]
Imam al-Syarbasi. Sejarah Tafsir al-Qur’an. (Mesir: Dar al-Ma’arif.
1978). hal. 56.
[32]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 225.
[33]
Lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqa. Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an
al-Karim. (Beirut: Dar al-Fikr. 1987). hal. 725-726.
[34]
Q.S. al-Nur, [24]: 40.
[35]
Q.S. al-Zumar, [39]: 22.
[36]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 230.
[37]
Ibid.
[38]
Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. v-vi dan 21-44.
[39]
Ibid. hal. v.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar