Sabtu, 10 September 2011

Al-Ghazali Dalam Dunia Sufistik


          Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazaly, lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, beliau mempelajari ilmu agama, teologi, pengetahuan alam, filsafat dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninggal di sana tahun 1111 M.[1]

Ia seorang ulama besar yang memperoleh gelar “Hujjat al-Islam” di samping luas ilmu dan amalnya juga hidupnya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan serangan terhadap ajaran agama Islam, baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar Islam.
            Dia pernah berkecimpung dalam ilmu kalam, bidang filsafat dan juga menyelidiki ilmu kebatinan, tetapi ia tidak pernah merasa puas dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan tokoh-tokoh tersebut, yang akhirnya ia memasuki bidang tasawuf. Di situlah ia merasa bahagia karena mendapatkan kebenaran yang mutlak.
            Tasawuf Al-Ghazaly sangat memberi kesan dan pengaruh bagi kehidupan para shufi berikutnya, karena ia telah berusaha membuka hijab yang memisahkan antara khalik dan makhluk, sehingga terungkaplah rahasia-rahasia yang ada di balik alam nyata ini. Indera batin dan indera lahir mengambil peranan penting dalam hal ini, akibat ilmu-ilmu yang selama ini bersifat samar-samar dan berdasarkan pengalaman saja berubah menjadi suatu keyakinan dalam kenyataan, bahkan ilmu-ilmu tersebut dapat disusun menjadi buku-buku yang menjadi pegangan bagi penganut tasawuf berikutnya. Misalnya Ihya ‘Ulumuddin, dipelajari bukan hanya oleh ulama para Shufi.
            Menurut al-Ghazaly, sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal, mempelajari ilmu tasawuf itu lebih mudah daripada mengamalkannya. Maka, kemudian al-Ghazaly pun menggali ilmu ini dengan menelaah kitab-kitab, seperti: kitab Qut al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki – rahimah Allah – dan beberapa kitab al-Haris al-Muhaisibi serta berbagai wacana terkenal kala itu, yang terpisah-pisah dari al-Junaid, al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami – semoga Allah menyucikan arwah mereka – dan lain-lainnya, dari wacana guru-guru mereka, sampai beliau benar-benar berhasil melihat dan menelaah secara mendalam mengenai hakikat tujuan ilmiah mereka. Beliau pun telah berhasil meraih apa yang bisa beliau dapatkan dari metode mereka dengan cara belajar dan mendengarkan. Yang jelas, di mata al-Ghazaly, untuk mencapai pengetahuan kalangan khusus (khawwas) tidak mungkin hanya dicapai melalui belajar, tetapi melalui rasa, tahapan kondisi ruhani dan pergantian sifat-sifat ruhani. Banyak perbedaan untuk mengetahui batasan sehat dan kenyang, disertai beberapa faktor dan syarat-syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwa seseorang itu dikatakan sehat dan sebagai orang yang kenyang. Perbedaan antara mengetahui batasan mabuk, – suatu gambaran dari keadaan dimana adanya gerakan bergelombang dari dinding lambung ke rongga mulut (gerakan anti peristaltik), yang pada akhirnya mempengaruhi keseimbangan pikiran – dan bagaimana keadaan seseorang yang sedang mabuk itu. Orang mabuk tidak mengetahui batasan mabuk dan pengetahuan tentang mabuk. Akan tetapi, orang yang sepenuhnya sadar, akan tahu tentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan yang berkaitan dengan mabuk itu sendiri.[2]
            Seorang dokter yang sedang dalam keadaan sakit, tentu tahu batasan sehat, sebab-sebabnya serta obat-obatnya, padahal ia sendiri dalam keadaan tidak sehat. Demikian halnya perlu dibedakan untuk mengetahui hakikat zuhud, syarat-syarat dan sebab-sebabnya, dan antara keadaan seseorang sebagai orang yang zuhud dan mengasingkan diri dari perkara duniawi.
            Maka, akan diketahui, bahwa kenyataannya mereka merupakan orang-orang yang memiliki laku ruhani, bukan orang-orang yang memiliki kepandaian berbicara. Segala kemungkinan yang dapat diperoleh melalui metode ilmu pengetahuan mungkin telah diperoleh. Namun untuk meraih pengetahuan sufi, tak ada jalan lain baik lewat belaja maupun penyimakan, kecuali harus melalui rasa dan suluk.
            Menurut al-Ghazali, jelas tak ada lagi keinginan beliau untuk meraih kebahagiaan akhirat, kecuali hanya melalui takwa dan mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal dari itu semua adalah memutuskan ketergantungan hati dengan duniawi dengan cara menjauhkan diri dari rumah tipu daya, menuju ke rumah abadi. Menghadapkan sepenuhnya kepada Allah Swt dan semua itu tidak akan tercapai secara sempurna, kecuali dengan memalingkan diri dari tahta, harta dan lari dari berbagai kesibukan serta ketergantungan duniawi. Inilah yang kemudian membawa keluar al-Ghazali dari kesibukan belajar-mengajarnya, yang dinilainya sebagai kesibukan dunia yang tiada berarti, bahkan membawanya ketepi jurang yang sangat membahayakannya, dan akhirnya beliau pun keluar dari Baghdad meninggalkan rutinitas yang ada[3] dengan alasan akan pergi ke Mekah, padahal sebenarnya hendak menyembunyikan diri dengan pergi ke Syam[4] dan menetap di sana kurang lebih dua tahun, di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali ‘uzlah, khalwat, riyadat dan mujahadat dengan tujuan utama membersihak diri, melatih dan mendidik akhlak serta memurnikan hati untuk berzikir kepada Allah Swt sebagaimana petunjuk ilmu tasawuf yang telah dikuasainya. Lantas mengadakan kunjungan ke masjid Damaskus dan melakukan i'tikaf di sana beberapa saat lamanya. Dan sepanjang siang hari naik ke atas menara masjid dan mengunci pintu seorang diri. Kemudian ke Bait al-Maqdis, memasuki biliknya dan menutup pintu untuk menyendiri. Kemudian ke Mekah dan Madinah. Dari sana kemudian ke Hijaz. [5]
                Selama sepuluh tahun beliau berkhalwat dan di tengah-tengah khalwat ini menurutnya, tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung dan diselidiki sedalam-dalamnya. Misalnya, beliau melihat dengan yakin, sebenarnya para sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah Swt saja sebagai prioritas, dan perjalanan hidupnya merupakan perjalanan paling lurus, dan akhlak mereka merupakan akhlak paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akal orang-orang kreatif, kebijaksanaan para cendekiawan, pengetahuan orang-orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syariat dari kalangan ulama ingin mengubah sedikit saja dari perjalanan hidup para sufi dan akhlak mereka, lalu berupaya menggantinya dengan yang lebih baik, pasti menemui jalan buntu. Sebab, segala gerakan dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian. Sementara tak ada lagi setelah cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang bisa menerangi.[6]
            Membersihkan hati secara menyeluruh dari segala hal selain Allah Swt adalah syarat utama tharikat ini. Sedangkan kuncinya, melalui alur sebagaimana orang yang salat, tenggelamnya hati secara keseluruhan, melalui zikir kepada Allah Swt. Dan akhirnya melebur diri (fana’) secara mutlak di dalam Allah. Dan demikian akhirnya bila disandarkan kepada sesuatu yang nyaris masuk di bawah usaha dan kasab sejak pada permulaannya. Dan kenyataan semacam ini sebenarnya baru merupakan permulaan tharikat. Sebelumnya tak lebih dari lorong sempit bagi penempuh yang melewatinya.
            Permulaan tharikat ini adalah mukasyafah dan musyahadah dengan jelas, sehingga mereka dalam keadaan terjaga pun dapat menyaksikan malaikat dan ruh para Nabi. Mereka bisa mendengarkan suara-suara (spiritual) dan memetik berbagai manfaat darinya. Kemudian tahap ruhaninya meningkat, dari penyaksian terhadap beberapa gambaran dan bayangan sampai ke derajat yang sulit untuk diucapkan oleh kata-kata. Dan kalau pun harus diucapkan, niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang amat besar, dimana kesalahan sudah tidak mungkin terlindungi. Kesimpulannya, perkara demikian ini akan sampai pada suatu tahap yang hampir-hampir mendekati imajinasi yang telah digambarkan oleh suatu kelompok dengan sebutan hulul, ittihad dan wusul. Padahal itu semua keliru menurut al-Ghazali sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya al-Maqsad al-Asna. Bahkan orang yang telah mengalami kondisi ruhani semacam itu hanya bisa dikatakan lewat sebuah syair:

            Ada sebagaimana adanya, tak bisa disebutkan
            Disangka baik, dan jangan bertanya bagaimana ceritanya[7]

            Secara garis besar menurut al-Ghazali, dapatlah disimpulkan bahwa barangsiapa tidak mendapat anugerah sedikit pun dari tahap tersebut melalui rasa, niscaya ia tidak akan mampu mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan sekadar mengenal nama belaka. Dalam kenyataan, karamah-karamah para wali merupakan awal tahapan para Nabi. Terbukti bahwa hal itu merupakan permulaan kondisi ruhani Rasulullah Saw ketika beliau menuju gua Hira’, di sana beliau menyendiri serta beribadat kepada Tuhannya, hingga orang-orang Arab berkata, “Sesungguhnya Muhammad itu sedang asyik kepada Tuhannya.” Keadaan seperti ini hanya bisa diketahui secara pasti dengan menggunakan rasa (dzauq) oleh orang yang biasa menggunakan cara seperti itu. Maka barangsiapa dikaruniai rasa, niscaya ia akan bisa meyakininya melalui pengalaman dan penyimakan, manakala banyak sahabat, sehingga ia benar-benar memahami melalui bukti-bukti kondisi ruhani secara meyakinkan. Lantas barangsiapa yang berada stu majelis dengan mereka, ia akan dapat menyerap faedah keimanan ini darinya. Mereka merupakan suatu kaum dimana teman duduknya tidak akan mengalami celaka karena dirinya. Sebaliknya, barangsiapa tidak mendapatkan karunia menemani mereka, harap diketahui kemungkinan itu semua secara yakin, dengan saksi dalil-dalil.[8]
            Menegaskan dengan dalil itu melahirkan ilmu, sedangkan menggunakan realita kondisi ruhani melahirkan rasa, menerima dengan sikap toleran dari pengalaman melalui prasangka baik (husnu al-zan) melahirkan keimanan. Inilah tiga derajat, sebagaimana yang sudah tertuang di dalam firman Allah Swt:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة: 11)

   “Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat.”[9]

            Di luar kelompok tersebut hanyalah kelompok bodoh. Demikian menurut al-Ghazaly. Mereka inilah yang tidak mengakui prinsip utama itu, dimana hanya mengagumi pandangan ini, mendengarkan, lalu mengejek seraya berkata, “Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa mengigau?”[10]  Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini Allah Swt berfirman:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّسْتَمِعُ اِلَيْكَ حَتَّى اِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدَكَ قَالُوْا لِلَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ أَنِفًا, أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَاتَّبَعُوْا أَهْوَاءَهُمْ. (محمد: 16)

   “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataan, sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi Saw), ‘Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.”[11]

Inilah paham yang dibawa oleh al-Ghazaly, yang kemudian secara lengkap paham ini lebih dikenal dengan paham makrifat, mengenai paham ma’rifat ini, dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazaly misalnya mengatakan, makrifat adalah:

اَلاِْطِّلاَعُ عَلَى أَسْرَارِ الرُّبُوْبِيَّةِ وَالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ الأُمُوْرِ الاِْلَهِيَّةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ

   “Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.”[12]

            Lebih lanjut al-Ghazaly mengatakan, makrifat adalah:

النَّظْرُ اِلَى وَجْهِ اللهِ

“Memandang kepada wajah (rahasia) Allah”[13]

            Seterusnya al-Ghazaly menjelaskan bahwa orang yang mempunyai makrifat tentang Tuhan, yaitu arif, maka orang itu tidak akan mengatakan ya Allah (يا الله) atau ya rabb (يا رَبّ) karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[14]
            Tetapi bagi al-Ghazaly ma’rifat urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari makrifat. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazaly berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazaly lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[15]
            Dari segi bahasa ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan atau pengalaman.[16] Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[17] Ma’rifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[18]
            Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[19] Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[20]
            Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:

1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.      Makrifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang.[21]

Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh makrifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
            Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan al-Junaid (w. 381 H), ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al-Qusyairiyah, makrifat dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazaly dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din memandang ma’rifah datang sebelum Mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifat datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.[22]
            Dengan demikian, kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan, yang mahabbah itu sendiri lahir karena didahului oleh ma’rifah.
            Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[23] Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.[24]
            Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:

فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ, لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ, دَكًّا وَخَرَّ مُوْسَى صَعِقًا. (الأعراف: 143)

   “Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.”[25]

            Mengenai pengertian tajalli ini lebih lanjut dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut:

تَجَلَّى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اَفْعَالِهِ عِبَارَةٌ عَنْ مَشْهَدٍ يَرَى فِيْهِ الْعَبْدُ جَرْيَانَ الْقُدْرَةِ فِى الأَشْيَاءِ فَيَشْهَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُحَرِّكَهَا وَمَسْكِنَهَا يَنْفِى الْفِعْلَ عَنِ الْعَبْدِ وَاِثْبَاتُهُ لِلْحَقِّ

    “Tajalli Allah Swt dalam perbuatannya, ialah ibarat daripada penglihatan di mana seseorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku kudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah perbuatan seorang hamba, gerak dan diam serba isbat adalah bagi Allah semata-mata.”[26]

            Tajalli dapat diartikan,

مَنْ تَجَلَّى لَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ حَيْثُ اِسْمُهُ الْظَاهِرُ فَكَشَفَ لَهُ عَنْ سِرِّ ظُهُوْرِ النُّوْرِ الاِلَهِيْ فِى كَشَائِفِ الْمُحْدِثَاتِ لِيَكُوْنَ طَرِيْقًا اِلَى مَعْرِفَةٍ أَنَّ اللهَ هُوَ الظَّاهِرُ فَعِنْدَ ذَلِكَ تَجَلَّى لَهُ بِأَنَّهُ الظَّاهِرُ فَبَطَنَ الْعَبْدُ بِبُطُوْنِ فِنَاءِ الْحَقِّ فِى ظُهُوْرِ وُجُوْدِ الْحَقِّ

   “Siapa-siapa baginya tajalli Allah Swt dari segi namanya yang disebut, maka terbukalah baginya daripada nampaknya nur ilahi dalam keadaan biasa, maksudnya agar ia mendapatkan jalan kepada makrifat. Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika itu tajalli Allah Swt baginya, karena sesungguhnya Allah adalah tampak. Ketika itu maka bertempatlah hamba pada tempat yang batin karena fananya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya wujud al-haqq al-yaqin.”[27]

            Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifah, dan terjadi setelah terjadinya al-fana’ yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan, dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli ini adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan.[28]
            Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut ini:

نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ يَهْدِى اللهُ لِنُوْرِهِ مِنْ يَّشَاءُ (النور: 35)

   “Cahaya di atas cahaya, Allah mengkaruniakan dengan cahaya-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”[29]

            Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai makrifat ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antene parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِيْ عِلْمٍ عَلِيْمٌ

   “Dan di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah).”[30]

            Makrifat yang dicapai seseorang itu terkadang diberi nama yang bermacam-macam Imam al-Syarbasi menyebutnya ilmu al-mauhubah (pemberian).[31] Sedangkan Imam al-Syuhrawardi menyebutnya al-isyraqiyah (pancaran), Ibn Sina menyebut al-faid (limpahan). Sementara di kalangan masyarakat pesantren dikenal dengan istilah futuh (pembuka), dan di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama ilmu laduni, dan di kalangan kebatinan disebut wangsit.[32]
            Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.[33] Misalnya ayat yang berbunyi:

وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَالَهُ مِنْ نُوْرٍ (النور: 40)

   “Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.”[34]

أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلاِْ سْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِنْ رَّبِّهِ (الزمر: 22)

   “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”[35]
               
            Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.[36]
            Selanjutnya di dalam hadits kita jumpai Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً اَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِي

   “Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku. (Hadis Qudsi).[37]

            Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
            Demikian mengenai konsep tasawuf al-Ghazaly yang terkenal. Adapun mengenai karya yang merekam pergolakan intelektual dan spiritualnya adalah karyanya yang berjudul al-Munqiz min al-Dalal, yang isinya merupakan kumpulan karya-karyanya Majmu’at Rasail al-Imam al-Ghazali yang sangat populer itu. Di dalamnya, al-Ghazaly menelanjangi dunia filsafat, khususnya dalam filsafat metafisika yang cenderung menyejajarkan diri dengan wahyu. Bahaya dunia filsafat diketengahkan secara argumentatif, sekaligus juga sejumlah disiplin ilmu yang mengkritik filsafat. Namun, al-Ghazali tidak mengkritik filsafat secara membabi buta, ada sejumlah paradigma dan cabang disiplinnya yang bisa diterima secara instrumental oleh umat Islam.[38]
            Al-Munqiz min al-Dalal merupakan lembaran yang sangat berharga bagi para pencari kebenaran dan keyakinan. Sebab, setiap penempuh jalan kebenaran – paling tidak – akan mengalami imbas kemelut, sebagaimana dialami oleh al-Ghazali, dengan hasil menurut kadar tertentu, sesuai dengan kemampuannya.
            Keluar dari jalan sesat menuju jalan lurus yang benar, adalah satu-satunya tujuan yang ditempuh al-Ghazali dalam seluruh karya-karya monumentalnya. Sebagai ulama besar yang kemudian menambatkan seluruh hidupnya pada dunia sufisme, al-Ghazali secara deskriptif-analisis merekonstruksikan sejumlah aliran-aliran sesat dalam dunia intelektual yang mengancam intelektualisme Islam hingga akar-akarnya.[39]
            Pencarian jalan selamat benar-benar ditempuh oleh al-Ghazali, dengan risiko yang tinggi, bahkan sampai pada titik jenuh psikologis yang mempengaruhi kondisi fisiknya. Tetapi, melalui metodologi spiritual-sufistik, metode yang dinilai sebagai alternatif bagi pencerahan pemikiran dan akidah. Dunia tasawuf, yang selama ini dikesankan sebagai dunia maya yang penuh dengan takhayul dan pasif, justru di tangan al-Ghazali menjadi wahana dinamis, optimis dan memberi peluang terbesar bagi kreativitas jiwa, pemikiran dan ekstakologis ubudiyah, sehingga al-Ghazali menemukan pencerahan jiwa yang luar biasa, sampai pada tahap ekstakologi ma’rifat Allah.


[1] Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1983). Cetakan ke-III. hal. 43; Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Februari 2002). Cetakan keempat. hal. 225.
[2] Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min al-Dalal. (Beirut: Dar al-Fikr. 1416/1996). Cetakan ke I. diterjemahkan oleh Abu Ahmad Najieh. Penyelamat dari Kesesatan. (Surabaya: Risalah Gusti. Rabi’ al-Akhir 1418/Agustus 1997). Cetakan pertama. hal. 59-60.
[3] Lihat Ibid. hal. 60-62.
[4] Ibid. hal. 63-64.
[5] Ibid. hal. 65.
[6] Ibid. hal. 65-66.
[7] Ibid. hal. 67.
[8] Ibid. hal. 67-68.
[9] Q.S. al-Mujadalah: 11.
[10] Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. 69.
[11] Q.S. Muhammad: 16.
[12] Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1995). Cet. I. hal. 227.
[13] Ibid.
[14] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 226-227.
[15] Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 78.
[16] IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatera Utara. 1983/1984). hal. 122.
[17] Jamil Saliba. Mu’jam al-Falsafi. Jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab. 1979). hal. 72.
[18] Ibid.
[19] Al-Kalabazi. Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf. (Mesir: Dar al-Qahirah. t.t.). hal. 158-159.
[20] Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 75.
[21] Ibid. hal. 75-76.
[22] Ibid. hal. 75.
[23] Ibid. hal. 77
[24] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf …  hal. 222.
[25] Q.S. al-A’raf, [7]: 143.
[26] Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 246.
[27] Ibid. hal. 247.
[28] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 224.
[29] Q.S. al-Nur, [24]: 35.
[30] Q.S. Yusuf, [12]: 76.
[31] Imam al-Syarbasi. Sejarah Tafsir al-Qur’an. (Mesir: Dar al-Ma’arif. 1978). hal. 56.
[32] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 225.
[33] Lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqa. Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim. (Beirut: Dar al-Fikr. 1987). hal. 725-726.
[34] Q.S. al-Nur, [24]: 40.
[35] Q.S. al-Zumar, [39]: 22.
[36] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 230.
[37] Ibid.
[38] Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. v-vi dan 21-44.
[39] Ibid. hal. v.

Tidak ada komentar: