Umat
Islam yang mempelajari tasawuf itu tidak selalu mempunyai pengaruh positif bagi
dirinya, namun kemungkianan adanya pengaruh negarif. Hal ini akan tergantung
kepada ajarannya, cara mempelajarinya dan menerapkannya.
Pengaruh positif misalnya, bagi
orang yang bersangkutan akan mempunyai hati yang ikhlash dalam amal dan
berjuang, sebab ilmu tasawuf dapat
menuntun kepada yang telah menghayatinya agar rohaniyahnya selalu rindu atas
kasih sayang Allah Swt. Dengan demikian ia akan selalu membersihkan dirinya
karena Allah itu Maha Suci. Ia akan memiliki jiwa yang tenang dan keyakinan
yang mendalam dan akan tersasa indah dan senang dalam ibadah.
Pengaruh negatif dari mempelajari
tasawuf apalagi tanpa guru, ialah apabila dilakukan ‘uzlah menyingkirkan diri
dari masyarakat, dalam waktu yang tidak ditentukan, karena terdorong benci
kepada duniawi. Hal ini akan melemahkan perjuangan umat Islam sendiri baik
dalam meningkatkan taraf hidupnya maupun dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar.
Hamka
dalam tasawuf modern mengemukakan, bahwa orang yang menyisih inilah asal-usul kaum shufi itu, yang mulanya
bermaksud baik, tetapi akhirnya telah banyak tambahnya. Maksud hendak memerangi
nafsu, dunia dan syetan, tetapi kadang-kadang menempuh jalan yang tidak digariskan
oleh ajaran agama. terkadang mereka haramkan kepada dirinya sendiri barang yang
dihalalkan Allah, bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki karena
bencinya.
Kehidupan
yang asalnya dari zuhud dan membenci kemegahan dunia yang dicapai orang lain atau
kehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri, tambah lama bertambah maju
dan bertambah dalam. Dari dalam tasawuf itulah timbul tilikan tentang arti
ma’rifat, sa’adah, dan bagaimana ikhtiar untuk mencapai hubungan yang kekal
dengan Tuhan.
Bekas
pendidikan tasawuf dan pengaruhnya yang negatif terus menyebar ke dalam dunia
Islam. sekian lamanya kaum muslimin membenci dunia dan tidak menggunakan
kesempatan sebagaimana orang lain. Itulah sebabnya umat Islam menjadi lemah,
akan berkurban tidak ada yang akan dikurbankan, dan akan naik hajji tidak
mempunyai bekal.
Ketika
Imam Nawawi menyalinkan perkataan Imam Syafi’iy yang memberi syarah sebuah
hadits yang berbunyi; “Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu dan
zuhudlah terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia supaya manusia pun suka
padamu” dengan ; “Menuntut berlebihan harta benda walaupun pada yang
halal, adalah siksa yang diberikan Allah kepada hati orang mu’min.”
Sayyid
Ridla berkata; bahwa pendapat itu jauh dari kebenaran, karena meminta tambah
harta yang halal tidaklah haram, dan bukan pula siksa, sebab mengapa dia
dihalalkan? Dan bahkan pula dimakruhkan. Jatuh hukum haramnya ialah jika harta
yang halal itu menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkan
apabila menyebabkan perbuatan tercela.
Banyak
para shahabat yang besar, para tabi’in dan orang-orang yang shalih yang
mempunyai harta lebih daripada yang diperlukan. Dalam hal ini memang menjadi
pertikaian para ulama, mana yang lebih utama di sisi Allah, orang kaya yang
syukur atau yang fakir yang sabar?.
Jauh
sebelum Islam datang di masyarakat Indonesia telah tumbuh dan berkembang sikap
kerohanian tertentu, baik berupa kepercayaan primitif yang bersifat lokal,
walaupun yang bercorak Hindu Budhisme yang datang kemudian. Sikap kerohanian
yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang ghaib dan Yang Maha Ghaib
telah bersemi dan mendarah daging dalam diri setiap manusia Indonesia. Demikian
pula ajaran Hindu yang bersifat mistik telah menguasai banyak masyarakat.
Karenanya hidup bersemedi menjauhkan diri dari kemewahan dunia untuk memperoleh
suatu kelepasan dan kebahagiaan bathin, bukan lagi merupakan masalah baru bagi
bangsa Indonesia.
Ajaran
Islam datang dan bersamaan dengan faham tasawuf yang kemudian berkembang
menjadi ajaran tharikat. Tentu saja kedatangan ajaran Islam bersama faham
tasawuf ini disambut baik dengan terbuka dan mental yang siap menunggu.
Karenanya tidak heran lagi apabila faham tasawuf yang lebih mengutamakan hidup
kerohanian dengan pencucian bathin bisa hidup subur dan berkembang di seantera
penjuru Nusantara sampai sekarang ini. Pengaruhnya kemudian menjadi dominan,
dan hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek dan kegiatan keagamaan, dalam
praktek ibadat, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya.
Kadang-kadang
timbul sikap fanatik dan pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap syaikh,
misalnya; sisa makanan dan minuman menjadi rebutan orang dengan harapan memperoleh berkah. Minta pertolongan dan
bantuan kekuburan orang-orang yang dianggap keramat.
Selanjutnya
kita perhatikan pecahnya kerajaan Mataram pada masa yang lalu menjadi 4
kerajaan kecil, kemudian hilang kekuasaan politik dan kenegaraannya, maka
perhatian mulai dipusatkan kepada perkembangan kerohanian dan kebudayaan
spiritual. Timbullah faham kerohanian dan kesusasteraan Jawa Baru.
Dalam
pengembangan kesusasteraan Jawa Baru ini yang dijadikan sumber adalah
kitab-kitab kuna yang digubah ke dalam bahasa dan syair Jawa Baru; juga
bersumber kepada ajaran Islam yang telah lama berpusat di pesantren yang digubah
dan dipadukan dengan alam pikiran jawa. Perhatikanlah karya-karya;
-
Serat Centini, ditulis oleh pujangga Yosodipuro II, Ronggo
Sutrasono dan R. Ng. Sastrodipuro. Karya ini banyak dipengaruhi faham tasawuf,
misalnya jenjang pengalaman ilmu kebathinan, yaitu syari’at, tharikat, hakikat
dan ma’rifat.
-
Serat Wirid Hidayat Jati, karya R. Ng. Ronggowarsito, bukan
buku yang mudah dibaca, sebab untuk mengetahuinya secara mendalam harus lebih
dahulu mengetahui tharikat yang berkembang terutama mengenai martabat tujuh
(lihat ajaran Hamzah F.).
Kitab
Wedhatama, karya pangeran Adipati Mangkunegara IV, yaitu sembahyang empat
tingkat. Ajaran ini sejajar dengan ajaran tentang pengertian tasawuf yaitu;
syariat, tharikat, hakikat dan ma’rifat dan dinamakan ‘Sembah Catur’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar