Sabtu, 10 September 2011

Pengaruh Tasawuf Bagi Manusia


              Umat Islam yang mempelajari tasawuf itu tidak selalu mempunyai pengaruh positif bagi dirinya, namun kemungkianan adanya pengaruh negarif. Hal ini akan tergantung kepada ajarannya, cara mempelajarinya dan menerapkannya.
            Pengaruh positif misalnya, bagi orang yang bersangkutan akan mempunyai hati yang ikhlash dalam amal dan berjuang, sebab ilmu tasawuf  dapat menuntun kepada yang telah menghayatinya agar rohaniyahnya selalu rindu atas kasih sayang Allah Swt. Dengan demikian ia akan selalu membersihkan dirinya karena Allah itu Maha Suci. Ia akan memiliki jiwa yang tenang dan keyakinan yang mendalam dan akan tersasa indah dan senang dalam ibadah.
            Pengaruh negatif dari mempelajari tasawuf apalagi tanpa guru, ialah apabila dilakukan ‘uzlah menyingkirkan diri dari masyarakat, dalam waktu yang tidak ditentukan, karena terdorong benci kepada duniawi. Hal ini akan melemahkan perjuangan umat Islam sendiri baik dalam meningkatkan taraf hidupnya maupun dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
            Hamka dalam tasawuf modern mengemukakan, bahwa orang yang menyisih  inilah asal-usul kaum shufi itu, yang mulanya bermaksud baik, tetapi akhirnya telah banyak tambahnya. Maksud hendak memerangi nafsu, dunia dan syetan, tetapi kadang-kadang menempuh jalan yang tidak digariskan oleh ajaran agama. terkadang mereka haramkan kepada dirinya sendiri barang yang dihalalkan Allah, bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki karena bencinya.
            Kehidupan yang asalnya dari zuhud dan membenci kemegahan dunia yang dicapai orang lain atau kehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri, tambah lama bertambah maju dan bertambah dalam. Dari dalam tasawuf itulah timbul tilikan tentang arti ma’rifat, sa’adah, dan bagaimana ikhtiar untuk mencapai hubungan yang kekal dengan Tuhan.
            Bekas pendidikan tasawuf dan pengaruhnya yang negatif terus menyebar ke dalam dunia Islam. sekian lamanya kaum muslimin membenci dunia dan tidak menggunakan kesempatan sebagaimana orang lain. Itulah sebabnya umat Islam menjadi lemah, akan berkurban tidak ada yang akan dikurbankan, dan akan naik hajji tidak mempunyai bekal.
            Ketika Imam Nawawi menyalinkan perkataan Imam Syafi’iy yang memberi syarah sebuah hadits yang berbunyi; “Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia supaya manusia pun suka padamu” dengan ; “Menuntut berlebihan harta benda walaupun pada yang halal, adalah siksa yang diberikan Allah kepada hati orang mu’min.”
Sayyid Ridla berkata; bahwa pendapat itu jauh dari kebenaran, karena meminta tambah harta yang halal tidaklah haram, dan bukan pula siksa, sebab mengapa dia dihalalkan? Dan bahkan pula dimakruhkan. Jatuh hukum haramnya ialah jika harta yang halal itu menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkan apabila menyebabkan perbuatan tercela.
            Banyak para shahabat yang besar, para tabi’in dan orang-orang yang shalih yang mempunyai harta lebih daripada yang diperlukan. Dalam hal ini memang menjadi pertikaian para ulama, mana yang lebih utama di sisi Allah, orang kaya yang syukur atau yang fakir yang sabar?.
            Jauh sebelum Islam datang di masyarakat Indonesia telah tumbuh dan berkembang sikap kerohanian tertentu, baik berupa kepercayaan primitif yang bersifat lokal, walaupun yang bercorak Hindu Budhisme yang datang kemudian. Sikap kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang ghaib dan Yang Maha Ghaib telah bersemi dan mendarah daging dalam diri setiap manusia Indonesia. Demikian pula ajaran Hindu yang bersifat mistik telah menguasai banyak masyarakat. Karenanya hidup bersemedi menjauhkan diri dari kemewahan dunia untuk memperoleh suatu kelepasan dan kebahagiaan bathin, bukan lagi merupakan masalah baru bagi bangsa Indonesia.
            Ajaran Islam datang dan bersamaan dengan faham tasawuf yang kemudian berkembang menjadi ajaran tharikat. Tentu saja kedatangan ajaran Islam bersama faham tasawuf ini disambut baik dengan terbuka dan mental yang siap menunggu. Karenanya tidak heran lagi apabila faham tasawuf yang lebih mengutamakan hidup kerohanian dengan pencucian bathin bisa hidup subur dan berkembang di seantera penjuru Nusantara sampai sekarang ini. Pengaruhnya kemudian menjadi dominan, dan hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek dan kegiatan keagamaan, dalam praktek ibadat, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya.
            Kadang-kadang timbul sikap fanatik dan pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap syaikh, misalnya; sisa makanan dan minuman menjadi rebutan orang dengan harapan  memperoleh berkah. Minta pertolongan dan bantuan kekuburan orang-orang yang dianggap keramat.
            Selanjutnya kita perhatikan pecahnya kerajaan Mataram pada masa yang lalu menjadi 4 kerajaan kecil, kemudian hilang kekuasaan politik dan kenegaraannya, maka perhatian mulai dipusatkan kepada perkembangan kerohanian dan kebudayaan spiritual. Timbullah faham kerohanian dan kesusasteraan Jawa Baru.

            Dalam pengembangan kesusasteraan Jawa Baru ini yang dijadikan sumber adalah kitab-kitab kuna yang digubah ke dalam bahasa dan syair Jawa Baru; juga bersumber kepada ajaran Islam yang telah lama berpusat di pesantren yang digubah dan dipadukan dengan alam pikiran jawa. Perhatikanlah karya-karya;
-          Serat Centini, ditulis oleh pujangga Yosodipuro II, Ronggo Sutrasono dan R. Ng. Sastrodipuro. Karya ini banyak dipengaruhi faham tasawuf, misalnya jenjang pengalaman ilmu kebathinan, yaitu syari’at, tharikat, hakikat dan ma’rifat.
-          Serat Wirid Hidayat Jati, karya R. Ng. Ronggowarsito, bukan buku yang mudah dibaca, sebab untuk mengetahuinya secara mendalam harus lebih dahulu mengetahui tharikat yang berkembang terutama mengenai martabat tujuh (lihat ajaran Hamzah F.).
Kitab Wedhatama, karya pangeran Adipati Mangkunegara IV, yaitu sembahyang empat tingkat. Ajaran ini sejajar dengan ajaran tentang pengertian tasawuf yaitu; syariat, tharikat, hakikat dan ma’rifat dan dinamakan ‘Sembah Catur’.

Tidak ada komentar: