Orang-orang yang mendapatkan
kebahagiaan, keberuntungan, kemenangan, dan keutamaan hidup, banyak dijelaskan
dalam al-Qur’an, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 5 yang artinya; “Merekalah
yang dapat (memegang teguh) hidayah dari Tuhannya. Dan merekalah yang mendapat
kemenangan.”
Dalam
surat al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”
Dalam
surat al-A’la ayat 15-17 yang artinya; “Sesungguhnya beruntunglah orang yang bersih (dari dosa).
Dan dia ingat nama (sifat-sifat Agung Tuhannya, lalu dia shalat.”
Dengan ayat-ayat tersebut jelaslah
seseorang baru akan berbahagia apabila ia beriman dan melaksanakan isi
ayat-ayat tersebut.
Masih
banyak ayat-ayat lain dan sabda Rasul yang merupakan al-akhlak al-karimah yang
membawa manusia ke kebahagiaan hidup dan keutamaan hidup. Para shufi dengan
berbagai macam pelaksanaannya sudah biasa menempuh jalan yang ditujukan oleh
Allah Swt dan Rasul-Nya meskipun dengan pengalaman masing-masing yang berlainan
bentuknya.
Apabila
kita menurutkan orang tentang bahagia, maka yang disebut bahagia itu banyak
sekali bentuknya dan sifatnya, sebanyak penderitaan, karena orang yang
menderita akan membayangkan alangkah bahagianya apabila penderitaan itu hilang
dari dirinya. Juga sebanyak orang yang sedang mengalami kekecewaan atau
sebanyak orang miskin, atau sebanyak orang yang ingin mendapat nama yang
masyhur, berpangkat tinggi, atau beristeri cantik, dan hiasan-hiasan dunia
lainnya, yang seringkali hal-hal tersebut hanyalah merupakan kesenangan
temporer. Bahkan ada yang dikejar namun setelah dicapai bukanlah kebahagiaan
yang diraih, sebab dibalik itu justeru mengakibatkan kekecewaan.
Oleh
karena itu umat Islam jangan tertipu dengan kesenangan temporer, kegembiraan
sementara, yang seringkali lupa kepada Allah Swt. Demikian juga apabila kita
mendapat keuntungan tidak perlu berlebih-lebihan menampakkan diri kepada orang
lain. Hendaknya kita bersyukur dalam arti kita merasa gembira dalam hati, mampu
menggunakan keuntungan itu dan memeliharanya sesuai dengan kehendak Pemberinya,
dan mampu juga berterima kasih kepada manusia yang menyebabkan kita mendapat
kenikmatan; hindarkanlah kekufuran atas nikmat itu.
Puncak
kebahagiaan dalam Islam sebenarnya adalah kenal akan Tuhan, yaitu baik ma’rifat
kepada-Nya, baik dalam taat kepada-Nya, baik dalam syukur atas nikmat yang
diterimanya dan baik atas musibah yang menimpa dirinya. Dirinya selalu berada
dalam ridla Allah Swt.
Mengenai
kesempurnaan perangai yang utama, kita perhatikan keutamaaan pikiran yang dapat
membedakan mana jalan yang benar yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana
jalan yang salah yang akan membawa kepada kehinaan. Akal manusia yang mendapat
cahaya Tuhan setelah mengetahui mana yang benar, kemudian dilaksanakan sesuai
dengan kemampuannya dan mana yang salah sekaligus dijauhinya.
Agama
memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya agar memikirkan ayat
Allah yang ada dalam al-Qur’an atau ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat yang terdapat
dalam alam semesta atau ayat-ayat kauniyah. Kesemuanya ini untuk kembali kepada
Allah Swt. Manusia yang telah kembali kepada-Nya, dengan sendirinya keutamaan
buki akan tercapai, ia mampu menghilangkan segala perangai yang buruk, adat
istiadat yang rendah.
Untuk
mencapai budi pekerti yang mulia yang mempunyai dampak terasanya keutamaan dan
kebahagiaan hidup bagi manusia, dalam melaksanakan perangai yang terpuji dan
menghindarkan diri dari perangai tercela, hendaknya disertai dengan hati yang
ikhlas, bukan karena terpaksa, ria atau sum’ah. Juga disertai kejujuran dan
tetap istiqamah. Dengan demikian hati tidak merasa miskin, tercapailah
kebahagiaan hidup, meskipun kadang-kadang ditinjau dari segi kehidupan duniawi
tidak termasuk orang kaya dengan harta, juga tidak mempunyai kedudukan yang
tinggi.
Shufi di zaman Rasulullah adalah
orang yang berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus,
dan jika memperoleh kekayaan, tidaklah kekayaan itu melekat ke dalam hatinya,
sehingga mudah menafkahkannya, dan apabila sewaktu-waktu terpisah tidak akan
melukai hatinya. Demikian pula kedudukan dan kehormatan lainnya yang hanya
dipandang dari pujian manusia saja. Demikianlah shufi yang akan mendapat
keutamaan dan kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar