Sabtu, 15 Oktober 2011

Membentuk Insan Kamil


Secara bahasa insan berarti manusia dan kamil berarti yang sempurna, manusia yang sempurna.[1] Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya, yakni sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lain sebagainya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah kepada hakikat manusia itu sendiri. Selain itu kata insan juga digunakan untuk menunjukkan arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada diri manusia. [2] Adapun kata kamil bisa berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui sejumlah potensi dan kelengkapannya.[3]

            Di dalam al-Qur’an kata insan disebutkan sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas,[4] dan dibedakan dengan basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya adalah kata al-nas, dan mempunyai tiga asal kata. Pertama, kata insan berasal dari kata anasa yang berarti melihat, mengetahui dan minta izin. Semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Kedua, kata insan berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Dan ketiga, kata insan berasal dari kata al-uns yang berarti jinak, lawan dari buas. Mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara, jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial, maupun alamiah. Manusia yang menghargai tata aturan etika, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah.[5] Dan manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut itulah yang selanjutnya disebut dengan insan kamil.
            Adapun istilah basyar digunakan untuk menyebut semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok, yakni kenyataan lahiriyahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamnya. Di dalam al-Qur’an kata basyar disebut sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk mengggambarkan dimensi fisik manusia.[6] Pengertian basyar ini tidak lain adalah manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya. Dan unsur basyariah inilah yang dalam kaitan tasawuf di atas sebagai unsur yang dapat dilenyapkan dengan fana’ dalam rangka mencapai ittihad, huluk dan wahdat al-wujud.
            Sedangkan istilah al-nas digunakan dalam al-Qur’an al-Karim untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya.
            Pengertian insan yang telah disebutkan dalam al-Qur’an al-Karim sebagaimana yang disebutkan di atas menunjukkan betapa al-Qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh, menyeluruh dan akurat, yang mungkin tidak ada kitab yang menyamainya dalam soal ini. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud insan kamil di dalam al-Qur’an adalah manusia yang sempurna dari segi rohaniah, menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia, berjiwa seimbang, intelektual (berfungsi akalnya secara optimal), berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, sosial dan aktivitas kemanusiaannya dari segi batinnya.


[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 51 dan 387.
[2] Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 158.
[3] Ibid. hal. 243.
[4] Lihat misalnya Q.S. al-‘Alaq, [96]: 1-5; Yusuf, [12]: 5; al-Ahzab, [33]: 72; al-Fil, [105]: 1-3; al-Najm, [53]: 39; al-‘Ankabut, [29]: 8; al-Qashash, [28]: 23; al-Baqarah, [2]: 21 dan 124; al-Hadid, [57]: 25; Ali Imran, [3]: 140; al-Rahman, [55]: 33; dan al-Isra’, [17]: 71.
[5] Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. Jilid VI. (Mesir: Dar al-Mishriyah. 1968). hal. 306-314; Musa Asy’ari. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. 1992). Cetakan I. hal. 19-20.
[6] Lihat misalnya Q.S. al-Muddatstsir, [74]: 27; al-Mukminûn, [23]: 23; Maryam, [19]: 20; Shâd, [38]: 71-76; dan al-Anbiyâ’, [21]: 34-35.

Tidak ada komentar: