Sabtu, 10 September 2011

Abu Nashr al-Sarraj Dalam Dunia Sufistik


        Abu Nashr al-Sarraj (w. 378 H/988 M) berasal dari kota Tus, Khurasan, Iran. Dalam kitabnya al-Luma’ al-Sarraj membahas maqam kefakiran dan membaginya menjadi tiga kategori, yaitu; kefakiran bagi golongan para pemula dalam perjalanan tasawuf (salik) atau murid, kefakiran bagi orang-orang khusus, dan kefakiran bagi golongan khusus dari yang khusus, yaitu orang-orang yang telah memiliki pengetahuan mistik, atau para ‘arif di jalan Allah yang telah menemukan jalan keutamaan (al-wajidin).

            Kategori fakir yang pertama adalah kefakiran orang-orang yang telah menyingkirkan seluruh kepemilikan dari diri mereka dan tidak meminta apapun dari makhluk. Kategori fakir yang kedua merupakan kefakiran orang-orang yang telah menafikan, meniadakan segala sesuatu selain Dia. Jika mereka terus menerus mendapatkan sesuatu, maka mereka tak akan membuat alasan apa pun untuk menolaknya. Mereka juga tidak berusaha untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka fakir. Mereka senantiasa berupaya untuk menyembunyikan penderitaan atau kesengsaraan yang mereka rasakan. Jika mereka memiliki sesuatu yang ditolak oleh orang-orang fakir kategori pertama, tetap mereka tidak pernah merasa terikat kepada apa yang mereka miliki itu. Memang agak sulit untuk dipahami, tetapi kefakiran kategori ketiga jauh lebih sulit lagi untuk dipahami. Kategori-kategori itu semakin sulit dan rumit ketika seseorang melampaui kategori demi kategori. Orang-orang yang termasuk dalam kategori ketiga akan menerima sesuatu dari teman dekat sebagai “pemberian cuma-cuma” tanpa merasa terikat sedikitpun kepada pemberian itu. Mereka juga “menafikan, meniadakan diri dari segala sesuatu dan melibatkan diri dari dalam segala sesuatu demi orang lain, bukan demi dirinya sendiri.” Ketika seseorang telah mencapai tingkatan ini, mempersembahkan kehidupannya “bagi orang lain”, fakir dari dirinya sendiri, bahkan ia fana’ dari kefakiran itu sendiri, tidak merasa bahwa ia fakir, maka ketika itu ia telah siap untuk memasuki tingkatan berikutnya, yaitu maqam shabat. Dan dari maqam shabar meningkat menjadi maqam tawakal, maqam ridla. Adapun maqam sebelum maqam kefakiran, atau maqam-maqam yang harus ditempuh oleh seorang salik, seorang sufi dimulai maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud dan barulah maqam kefakiran tersebut.[1]


[1] Michael A. Sell (Ed.). Op. cit. hal. 306-336.

1 komentar:

Lias Sanjaya mengatakan...

terimakasih untuk bapak kaum fakir (abu nasr as-saraj)