Al-Hallaj
adalah seorang tokoh sufi yang mengembangkan paham al-Hulul. Nama lengkapnya
adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H./858 M.
di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal
sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi
belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah
al-Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada
seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad
dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi.[1] Selain itu ia pernah juga menunaikan
ibadah haji di Mekah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini
jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup mendalam
dan kuat.
Selanjutnya beliau pernah keluar
masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawufnya
yang agak ganjil itu telah menyebabkan seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud
al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas fahamnya.
Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab
yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang
dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj,
sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam
penjara, berkat bantuan seorang sifir penjara dia dapat meloloskan diri dan
melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi
empat tahun lama di kota itu, dan tetap tidak merubah pendiriannya, akhirnya ia
ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun lamanya.
Lamanya di penjara ini tidak menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada
tahun 309 H/921 M diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan Kerajaan Bani
Abbas, Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah tahun
309 H/921 M al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih
dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan
dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian
tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan
bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian.[2] Arberry lebih lanjut melukiskan kasus
pembunuhan al-Hallaj ini sebagai berikut:
“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat
tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang-orang seraya berdoa,
yang diakhiri dengan kata-kata: “Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama
membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah
mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah
Kuanugerahkan kepada mereka yang telah Kau anugerahkan kepadaku, tentu mereka
takkan melakukan yang mereka lakukan. Dan bila Kusembunyikan dari diriku yang
telah Kau-sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha
Agung Engkau dalam segala yang Kau- lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala
yang Kau-kehendaki.”[3]
Mengenai
sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj hingga sekarang masih controversial. Jika
kebanyakan mengemukakan bahwa sebab-sebab dibunuhnya karena perbedaan faham
dengan faham yang dianut ulama fikih yang dilindungi oleh pemerintah, maka hal
ini masih juga perlu dipertanyakan, mengapa sufi yang lainnya sebagaimana Zun
al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.[4] Sehingga memungkinkan juga tafsir
dibunuhnya beliau karena unsur politis sebagaimana yang dikemukakan oleh Harun
Nasution, nampaknya perlu dipertimbangkan. Menurutnya, al-Hallaj dituduh punya
hubungan dengan gerakan Qaramitah, yaitu satu sekte Syi’ah yang dibentuk oleh
Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad IX M. Sekte ini mempunyai paham komunis (harta
benda dan perempuan terdiri dari kaum petani milik bersama) mengadakan teror,
menyerang Mekah di tahun 930 M merampas hajar aswad yang dikembalikan oleh kaum
Fatimi di tahun 951 M dan menentang pemerintah Bani Abbas, mulai dari abad X
sampai abad XI M.[5] Jika yang dituduhkan ini memang benar
adanya, al-Hallaj secara politis dan ideologis memang salah dan patut dihukum,
tetapi jika hal ini hanya tuduhan belaka, maka masalahnya jadi lain. Siapakah
yang benar di antara mereka, apakah al-Hallaj yang dihukum atau mereka yang
menghukum, pengadilan akhiratlah yang kelak mengadili mereka secara bijaksana
dan obyektif.
Selanjutnya
untuk menempatkan al-Hallaj sebagai pembawa paham al-Hulul, dapat dipahami dari
beberapa pernyataannya di bawah ini.
مُزِجَتْ رُوْحُكَ فىِ
رُوْحِى كَمَا تُمْزَجُ الْخَمْرَةُ بِالْمَاءِ لِزُلاَلِ فَاِذَا مَسَّكَ شَيْءٌ
مَسَّنِى فَاِذَا اَنْتَ اَنَا فىِ كُلِّ حَالٍ
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang
menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau
adalah aku.”[6]
اَنَا مَنْ اَهْوَى وَمَنْ
اَهْوَى اَنَا نَحْنُ رُوْحَانَ حَلَلْنَا بَدَنَا فَاِذَا اَبْصَرْتَنىِ
اَبْصَرْتَهُ وَاِذَا اَبْصَرْتَهُ اَبْصَرْتَنَا
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia
yang kucintai adalahaku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh,
jika engkau lihat engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat
Kami.”[7]
Ada dua hal yang dapat dicatat dalam
paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut. Pertama, bahwa paham
al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah
sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya
kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga
mengambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun
Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui al-hulul
ini, al-hallaj kelihatannya tak hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid
hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj, dirinya tak hancur
sebagai ternyata dari ungkapan syairnya di atas.
Perbedaan antara ittihad al-Bustami
dengan hulul al-Hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam
hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh, hal ini dapat dipahami
dari syair yang dinyatakan al-Hallaj berikut ini.
اَنَا سِرُّ الْحَقِّ مَا الْحَقُّ اَنَا
بَلْ اَنَا حَقَّ فَفَرِّقْ بَيْنَنَا
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka
bedakanlah antara kami”.[8]
Dengan ungkapan al-Hallaj yang
demikian itu, kita dapat menilai, bahwa pada saat al-Hallaj mengatakan ana
al-haqq sebenarnya bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi
roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al-Hallaj.
Di
samping seorang shufi ia juga seorang theolog terkenal di zamannya. Ia belajar
tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui Al-Junaid.
Dari faham
hulul al-Hallaj dan wahdat al-syuhud ini kemudian melahirkan paham wihdat
al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj pernah
mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-hulul berdasarkan pengertian
bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun, menurut istilah ilmu tasawuf,
berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.[9]
Dalam diri
manusia sebenarnya ada sifat ketuhanan. Ia menakwilkan Q.S. al-Baqarah, [2]:
34, sebagai Allah memerintahkan kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Yang
berhak diberi sujud hanya Allah, karenanya Adam harus memiliki unsur ketuhanan.[10] Sebelum menjadikan makhluk, Tuhan
melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang
tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
yang banyak ini, ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya
yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam, pada diri
Adam-lah Allah muncul.[11]
Tuhan
mempunyai dua sifat dasar, yakni sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat
kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang
terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali
dengan cara hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa.[12] Dengan demikian, agar dapat bersatu,
manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiaannya. Setelah sifat
kemanusiaanya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada pada dirinya,
disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, roh Tuhan dan roh manusia
bersatu dalam tubuh manusia.[13]
Pada hulul
terkandung kefana’an total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga
setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, pun tindakannya. Namun, sebenarnya
al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan.[14] Karena secara jelas Tuhan dan manusia
tidak sama. Yang terjadi hanyalah sekadar kesadaran psikis yang berlangsung
pada kondisi fana’ atau terlebarnya nasut dalam lahut, antara keduanya tetap
ada perbedaan.[15]
Ajarannya ini menyimpang dari ajaran
guru-gurunya, karena ia mengajarkan tasawuf yang mirip dengan Pantheisme. Faham
tasawufnya ini merupakan perkembangan dan bentuk lain dari faham Ittihad yang
diajarkan oleh Abu Yazid. Dimana konsep hulul-nya telah menggoncangkan
para ulama dan umat Islam pada waktu itu, karena dianggap sesat dan kafir
dengan perkataannya yang keluar dikala ekstasi itu, sehingga mengapa ia dihukum
mati karenanya.
[1]
Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 120.
[2]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 242-243.
[3]
A.J. Arberry. Pasang-Surut … hal. 77.
[4]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 224.
[5]
Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 87.
[6]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 245.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid. hal. 246.
[9]
Harun Nasution. Op.cit. hal. 78.
[10]
Abdul Qadir Mahmud. Al-Fikr al-Islam wa al-Falsafah al-Mu’aridlah fi
al-Qadim wa al-Hadits. Ha’iah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab. 1986.
hal. 77-78.
[11]
Harun Nasution. Op.cit. hal. 88.
[12]
Ibid. hal. 90.
[13]
Ibid. hal. 84.
[14]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman.
Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsman. Bandung. Pustaka. 1985. hal. 86.
[15]
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Op.cit. hal. 140-141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar