Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/876 H)
disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa
ini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum
sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia
pernah mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan
keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah
kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan
menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.”[1]
Ketika Abu Yazid telah fana dan
mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika
tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku
dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu
manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan
ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya.
Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدْنِيْ
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku.”
سُبْحَانِيْ, سُبْحَانِيْ, مَا اَعْظَمُ
شَأْنِيْ
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha
Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan yang berikut:
اَتىَ رَجُلُ اَبَا يَزِيْدَ وَدَقَّ
عَلَيْهِ الْبَابَ فَقَالَ: مَنْ تَطْلُبُ؟ قَالَ اَبُوْا يَزِيْدَ قَالَ مُرَّ
فَلَيْسَ فىِ الْبَيْتِ غَيْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Seorang lewat
di rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkau
cari?” Jawabnya: “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan: “Pergilah”. Di rumah
ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Pada lain kali Abu Yazid berkata,
لَيْسَ فىِ الْجُبَّةِ اِلاَّ اللهُ
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid
itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui
diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian
sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihad
dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang
keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad ini
selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian
untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu
melalui fana dan baqa.
Ittihad sebagai salah satu metode
tasawuf yang diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Bustami ini dapat dikelompokkan ke
dalam tasawuf metode irfani.[3]
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’ yang melahirkan ittihad
sebagai tahapan selanjutnya. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan
tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan
jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang
sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Menurut Harun Nasution uraian
tentang ini banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[4]
Ia
seorang zahid yang terkenal. Zahid itu berarti seseorang yang telah menyediakan
dirinya untuk hidup zuhud demi kedekatan dengan Allah. Yang ia kerjakan melalui
tiga fase:
-
zuhud terhadap dunia
-
zuhud terhadap akherat
-
zuhud terhadap selain Allah.
Dalam
fase terakhir ini berada dalam suatu kondisi mental yang menjadikan dirinya
tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah, atau fana’ al-nafs. Fana’ berarti
hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga ia tidak menyadari
lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah
Tuhan, bukan menyatu dengan wujud Allah.
Dalam
tahapan ittihad ini, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai
dan yang dicintai, baik substansi maupun perbuatannya,[5] sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang lain dengan “Hai Aku”. Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun
menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguh pun
sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang disebut
dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai dan
yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad, “identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan, karena
fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dengan
fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadlirat Tuhan. Berada
dekat dengan Tuhan hingga ittihad. Hingga sehabis shalat shubuh, Abu Yazid
berucap, “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” Dan suatu ketika
seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,
“Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata,
“Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan
Mahatinggi”.[6] Ucapan ini sepintas memberi kesan
syirik. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan
karena ucapannya membingungkan golongan awam.[7]
Kritik
dan celaan banyak bermunculan, bertubi-tubi menyerang Abu Yazid berkaitan
dengan ucapan syatahatnya itu, tetapi seluruh kritik dan celaan itu didasarkan
atas riwayat atau pernyataan yang konteks waktunya tidak bisa diketahui
(diakses) atau dipahami. Karena mereka tidak memahami tujuannya serta tidak
mengetahui makna yang dimaksudkan; mereka mengungkapkan semua itu tanpa
menggunakan perspektif orang yang pertama mengucapkannya dan tanpa melakukan
klarifikasi lebih jauh. Pengetahuan yang mendalam hanya bisa dicapai melalui
pemahaman yang lebih dalam pula.[8]
Al-fana’
secara bahasa sebetulnya berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan
al-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah
berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika
membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang
bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang
lainnya, hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.[9]
Sedangkan
arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan
dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut
pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan
sifat-sifat yang tercela.[10]
Mustafa
Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau
kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia
telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.[11] Selain itu fana juga dapat berarti
hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Akibat
dari seseorang yang telah mencapai fana maka ia akan berada dalam keadaan baqa.
Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa
adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah
sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ
فَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ
التَّصَوُّفُ فَانُوْنُ عَنْ اَنْفُسِهِمْ
فَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ
“Tasawuf itu ialah mereka fana dari
dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.”[13]
Dengan demikian, dapatlah difahami
bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak
yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi
diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh
orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut
al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
فَنَاءُهُ عَنْ نَفْسِهِ
وَعَنِ الْخَلْقِ بِزَوَالِ اِحْسَاسِهِ بِنَفْسِهِ وَبِهِمْ فَنَفْسُهُ
مَوْجُوْدَةٌ وَالْخَلْقُ مَوْجُوْدٌ وَلَكِنْ لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِمْ وَلاَ بِهِ
“Fananya seseorang dari dirinya dan dari
makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain
ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”[14]
Apabila seorang sufi telah mencapai
al-fana al-nafs, yaitu apabila wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak
disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu
ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya
persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana
al-nafs.[15] Tak ubahnya dengan fana yang terjadi
ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan
hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan
kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan
secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya
Tuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang
demikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan.
Fana merupakan keadaan di mana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam
dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju
ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Membicarakan fana dan baqa ini erat
hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan
Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal
yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana
dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran
ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baidawi,
yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang
berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam
ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia)
dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[16]
Dalam situasi ittihad yang demikian
itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di
mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu
dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dalam teks
Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:
فَيَقُوْلُ الْوَاحِدُ لِلاَخَرِ يَا اَنَا
Dengan
demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya, “mahasuci aku”, maka yang
dimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin
dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
Faham
fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai
sejalan dengan konsep liqa al-rabbi, menemui Tuhan. Fana dan baqa
merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman
Allah yang berbunyi:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan
dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepadanya.”[18]
Paham ittihad ini juga dapat
dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya
Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: “Tinggalkanlah
dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).”[19]
Dari ayat dan riwayat tersebut di
atas memberikan petunjuk bahwa Allah Swt telah memberi peluang kepada manusia
untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara
lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah,
menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran
sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri
dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana dan
baqa. Adanya konsep fana dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapat
dalam ayat sebagaimana berikut ini:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ
“Semua yang ada di dunia ini akan binasa.
Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”[20]
[1]
Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 102.
[2]
Lihat Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 86.
[3]
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung. CV. Pustaka
Setia. Cet. I. Jumadil Ula 1421 H – Agustus 2000. hal. 10, 13-14, 69-84 dan
119-142.
[4]
Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta. Bulan
Bintang. 1973. hal. 79.
[5]
Abd al-Rahman al-Badawi. Syahidat al-Syauq al-Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah.
Kuwait. Al-Wak alat al-Muthbu’ah. 1978.
hal. 13.
[6]
Harun Nasution. Loc.cit. hal. 83,
85 dan 86.
[7]
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Op.cit. hal. 135.
[8]
Michael A. Sell (Ed.). Op. cit. hal. 331-363.
[9]
Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 167.
[10]
Ibid.
[11]
Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 234.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[14]
Al-Qusyairi al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah … hal. 303.
[15]
Harun Nasutiaon. Filsafat dan … hal. 81.
[16]
Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 236.
[17]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 235.
[18]
Q.S. al-Kahfi, [18]: 110.
[19]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 238.
[20]
Q.S. al-Rahman, [55]: 26-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar