Tarikat
secara bahasa berasal dari Bahasa Arab thariqat yang artinya jalan,
keadaan, aliran dalam garis sesuatu.[1] Jamil Shaliba mengatakan secara
harfiah tarikat berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada
tujuan dengan selamat.[2] Selanjutnya pengertian tarikat
berbeda-beda menurut tinjauan masing-masing. Di kalangan Muhaddisin tarikat
digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama, menggambarkan sesuatu
yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua, didasarkan pada
sistem yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Selain itu tarikat juga diartikan
sekumpulan cara-cara yang bersifat renungan, dan usaha inderawi yang
mengantarkan pada hakikat, atau sesuatu data yang benar.[3] Dan masih banyak lagi definisi yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain adalah sebagai berikut.
- Syaikh al-Jurjani; tharikat adalah jalan atau tingkah laku
tertentu bagi orang-orang yang berjalan (beribadah kepada Tuhan) dengan melalui
pos (al-manazil) dan meningkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu
stasiun-stasiun (al-maqamat).
- Hamka mengemukakan, maka diantara makhluk dan khaliq itu ada
perjalanan hidup yang harus kita tempuh. Inilah yang dinamakan tarikat itu.[4]
-
Harun Nasution, tharikat berasal dari kata thariqah yaitu
jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin
dengan Tuhan.[5] Tharikat kemudian mengandung arti
organisasi (tarekat). Tiap tharikat mempunyai syaikh, upacara dan bentuk dzikir
tersendiri.[6]
Selanjutnya
istilah tarikat ini lebih banyak digunakan oleh para ahli tasawuf. Mustafa
Zuhri dalam hubungan ini mengatakan tarikat adalah jalan atau petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’in
secara turun temurun sampai kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa
kita ini.[7]
Lebih
khusus lagi tarikat di kalangan sufiyah berarti sistem dalam rangka mengadakan
latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas
semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiah dengan
Tuhan.[8] Jalan tarikat itu antara lain terus
menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, dan terus menerus
menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.[9]
Dengan
memperhatikan berbagai pendapat tersebut di atas, kiranya dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan tarikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang
sufi yang di dalamnya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut
nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam
tarikat ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah)
dengan Tuhan,[10] sehingga jelaslah bahwa tharikat itu
sebagai hasil pengalaman dari seorang sufi kemudian diikuti oleh para muridnya
yang dilakukan dengan cara tertentu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Selanjutnya dalam perkembangannya digunakan sebagai kelompok mereka yang
menjadi pengikut bagi seorang syaikh yang mempunyai pengalaman tertentu dalam
cara mendekatkan diri kepada Allah, dan cara memberikan tuntunan dan bimbingan
kepada murid-muridnya.
Guru dalam tarikat yang sudah melembaga
itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syaikh, dan wakilnya disebut Khalifah.
Adapun pengikutnya disebut murid. Sedangkan tempatnya disebut ribath atau
zawiyah atau taqiyah.[11] Selain itu tiap tarikat juga memiliki
amalan atau ajaran wirid tertentu, symbol-simbol kelembagaannya, tata tertibnya
dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara satu tarikat dengan tarikat
lainnya. Menurut ketentuan tarikat pada umumnya, bahwa seorang syaikh sangat
menentukan terhadap muridnya. Keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat mayat
atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena tarikat itu merupakan jalan
yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang
menjalankan tarikat itu harus menjalankan syariat dan si murid harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
i. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syari’at
Islam.
ii. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti
jejak guru dan melaksanakan perintahnya, dan melaksanakan perintahnya dan
meninggalkan larangannya.
iii. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala
wirid dan do’a guna pemantapan serta kekhususan dalam mencapai maqamat yang
lebih tinggi.
iv.
Tidak mencari-cari keringan dalam beramal agar tercapai
kesempurnaan yang hakiki.
Dari
unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari tharikat
adalah agar para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat
mungkin dengan Khaliq sesuai dengan bimbingan seorang guru atau mursyid. Dan
pada dasarnya ciri-ciri tarikat tersebut merupakan ciri yang pada umumnya
dianut oleh setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya
berbeda-beda. Dan dengan ciri-ciri tarikat yang demikian itu tidak mengherankan
jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tarikat sebenarnya termasuk dalam ilmu
mukasyafah, yaitu ilmu yahg dapat menghasilkan pancaran nur Tuhan ke dalam hati
murid-muridnya, sehingga dengan nur itu terbukalah baginya segala sesuatu yang
gaib daripada ucapan-ucapan nabinya dan rahasia-rahasia Tuhannya. Ilmu ini
dilakukan dengan cara riadah/latihan dan mujahadah.[13]
Adapun
pelaksanaannya secara umum antara lain;
- Dzikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam
hati serta menyebutkan dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol
bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah
ditetapkan Allah.
-
Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan sya’ir-sya’ir
tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia) sepeti memukul rebana
dan lain-lain.
-
Ratib, yaitu mengucapkan lafal Laa ilaha illa Allah dengan
gaya gerak dan irama tertentu.
- Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid
tertentu untuk menimbulkan suatu kekhidmatan.
Selain
itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarikat sebagaimana
disebutkan di atas, perlu mengadakan latihan batin, riadah dan mujahadah
(perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula dengan suluk dan
yang mengerjakannya dinamakan dengan salik.[15]
Selanjutnya dapat pula dikemukakan
bahwa tharikat merupakan jalan untuk terhindar dari situasi setempat, baik
pengaruh penguasa, atau keadaan lingkungan yang sudah sulit lagi mencapai
akhlak terpuji. Atau keadaan manusia lingkungan itu sudah berada dalam
kehidupan kesenangan dunia, lupa akhirat.
Dengan demikian, tarikat mempunyai
hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf. tarikat pada mulanya
berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk
sekelompok yang menjadi pengikut seorang syaikh. Kelompok ini kemudian menjadi
lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan
aturan-aturan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan kata lain, tarikat adalah tasawuf
yang melembaga. Dengan demikian tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah, sedangkan tarikat itu adalah jalan yang ditempuh seseorang dalam
usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan sebagaimana jalan atau petunjuk dalam
melaksanakan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Saw, dicontohkannya, dikerjakan oleh para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in,
terus kepada ulama-ulama dan guru-guru. Inilah barangkali pengertian tharikat
dalam taswuf yang dapat diterima oleh setiap umat Islam yang dinamakan tharikat
mu’tabarrah. Dan inilah hubungan antara tarikat dan tasawuf.[16]
Sebagai bentuk yang melembaga, tarikat ini merupakan
kelanjutan dari pengikut-pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf ke
dalam tarikat sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangan, yang kemudian
berkembang menjadi tarikat yang lengkap dengan simbol-simbol dan unsurnya
sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Tarikat Suhrawardiyah misalnya
dinisbahkan kepada Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (w. 1168 M),
Qadiriyah kepada Abd al-Qadir Jaelani (w. 1166 M), Rifaiyah kepada Ahmad ibn
al-Rifa’i (w. 1182 M), Jasafiyah kepada
Ahmad al-Jasafi (w. 1166 M), Sadziliyah kepada Abu Madyan Suhaib (w.
1258 M), dan Mauliyah kepada Jalal al-Din Rumi (w. 1273 M), dan lain
sebagainya. Dari sekian banyak aliran tarikat tersebut sekurang-kurangnya ada
tujuh aliran yang berkembang di Indonesia, yaitu tarikat Qadiriyah, Rifaiyah,
Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Hadad, dan Khalidiyah.
[1] Louis Ma’luf. Munjid. (Beirut: al-Maktabah
al-Katulikiyah. t.t.). hal. 465.
[2] Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 20.
[3] Ibid. hal. 21.
[4] Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 104.
[5] Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 89.
[6] Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
(Jakarta: UI Pres. 1978). hal. 89.
[7] Mustafa Zuhri. Kunci Memahami … hal. 56.
[8] Ibid. hal. 57.
[9] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 270.
[10] Ibid. hal. 270-271.
[11] IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu … hal. 239;
lihat pula J. Spencer Trimingham. The Sufi Order in Islam. (London:
Oxford University. 1971). hal. 5-6.
[12] Ibid. hal. 139-240.
[13] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 272.
[14] Abu Bakar Aceh. Pengantar Ilmu Tarikat. (Semarang:
Ramadhani. 1979). hal. 240.
[15] Mustafa Zuhri. Kunci Memahami … hal. 59.
[16] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar