Sabtu, 15 Oktober 2011

Hubungan Tarikat dengan Syariat


         Dalam Ilmu Tasawuf, istilah tarikat itu tidak saja ditujukan kepada aturan-aturan dan cara-cara tentu yang digunakan oleh seorang syaikh tarikat, dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaikh tarikat, tetapi meliputi segala aspek ajaran Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kesemuanya ini adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebab pada hakikatnya tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin. Dengan demikian usaha mendekatkan diri kepada Tuhan adalah tasawuf dan cara yang ditempuhnya dalam usaha mendekatkan diri itu adalah tarikat.

           Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tarikat itu sebagai tasawuf yang sudah berkembang dengan beberapa fariasi tertentu sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya, karenanya ajaran pokok tarikat adalah sama dengan ajaran tasawuf.

      Secara minimal pengertian tarikat apabila dihubungkan dengan syari’at, misalnya dalam melaksanakan ibadah shalat, seseorang mengunakan cara shalat yang baik, begitu juga do’a yang baik, hal ini sudah menunjukkan bahwa ia telah melakukan tarikat. Secara maksimal pengertian tarikat dalam hubungannya dengan syari’at ialah apabila seseorang melaksanakan ibadah shalatnya itu dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membentuk kekhusyuan dan ibadah shalatnya berbekas dalam jiwanya. Berarti ia telah mencapai hakikat ibadah shalat yang dapat mendorong dirinya untuk selalu bersikap dan bertingkah laku baik dalam kehidupan sehari-hari.
            Demikianlah barangkali yang sering dikemukakan oleh fuqaha, bahwa al-syari’at li ishlah al-dzawahir, wa al-thariqat li ishlahi dlamair, wa al-hakikat li ishlah al-sarair. Dalam hal ini ada kelanjutan yang selaras antara aspek-aspek syari’at, tarikat dan hakikat. Dengan demikian seseorang akan merasakan bahwa dirinya dekat dengan Tuhan, mengenal-Nya dengan benar dan baik, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Dialah orangnya yang telah ma’rifat kepada Allah Swt.
            Allah Swt berfirman dalam surat al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.”
      Dalam surat al-Ankabut ayat 45 yang artinya, “Bacalah (selalu) al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadamu. Dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu menghalangi perbuatan keji dan munkar. Sesungguhnya mengingat Allah lebih besar (faedahnya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu lakukan.”
            Sebaliknya tidak sedikit orang-orang yang shalatnya lalai, kurang memperhatikan cara-cara yang baik dalam shalatnya, tidak berusaha mencari jalan untuk menjadi khusu’ dalam shalatnya, disamping memenuhi syarat dan rukunnya berdasarkan hukum syara’. Dalam hal ini seringkali ibadah shalatnya mengakibatkan tidak berbekas daalam dirinya, dan sikap tingkah lakunya tetap melanggar ketentuan agama. baginya mendapat kecelakaan sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ma’un ayat 4 dan 5 yang artinya, “Maka celakalah orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (shalatnya tidak berbekas dalam jiwanya).”
           Dalam surat al-Jin ayat 116 yang artinya, “Dan bahwasanya kalau mereka tetap berjalan lurus (sesuai dengan syari’at Islam), sesungguhnya Kami akan memberi minum mereka dengan air segar.”
       Dalam syari’at Islam kita mengenal bahwa sumber pokok adalah al-Qur’an. al-Sunnah merupakan penjelasan yang penting. Dan pelaksanaan ajaran Islam bagi kaum sufi, selain kedua sumber tersebut, tarikat merupakan urat nadi dan tauhid sebagai jantung pada manusia yang menggerakkan seluruh tubuh untuk membuktikan pelaksanaan ajaran Islam yang dinamakan takwa. Dan takwa yang demikianlah yang dapat mengatasi kesulitan hidup dan dengan takwa demikianlah rezeki sering datang dari berbagai penjuru dunia yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
           Demikianlah para tokoh shufi seperti pendiri Qadiriyah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan pendiri Naqsabandiyah yaitu Muhammad bin Bahauddin al-Naqsabandi adalah orang-orang faqih yang menguasai ushul fiqh seperti halnya al-Ghazaly. Mereka selalu mengaitkan tasawuf dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Di antara kaum shufi ada pula yang memadukan kedua tarikat tersebut.

Tidak ada komentar: