Dalam
Ilmu Tasawuf, istilah tarikat itu tidak saja ditujukan kepada aturan-aturan dan
cara-cara tentu yang digunakan oleh seorang syaikh tarikat, dan bukan pula
terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaikh tarikat, tetapi
meliputi segala aspek ajaran Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya. Kesemuanya ini adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt, sebab pada hakikatnya tasawuf itu secara umum adalah usaha
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin. Dengan demikian usaha
mendekatkan diri kepada Tuhan adalah tasawuf dan cara yang ditempuhnya dalam
usaha mendekatkan diri itu adalah tarikat.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
tarikat itu sebagai tasawuf yang sudah berkembang dengan beberapa fariasi
tertentu sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya,
karenanya ajaran pokok tarikat adalah sama dengan ajaran tasawuf.
Secara minimal pengertian tarikat apabila dihubungkan dengan
syari’at, misalnya dalam melaksanakan ibadah shalat, seseorang mengunakan cara
shalat yang baik, begitu juga do’a yang baik, hal ini sudah menunjukkan bahwa
ia telah melakukan tarikat. Secara maksimal pengertian tarikat dalam
hubungannya dengan syari’at ialah apabila seseorang melaksanakan ibadah
shalatnya itu dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membentuk kekhusyuan dan
ibadah shalatnya berbekas dalam jiwanya. Berarti ia telah mencapai hakikat
ibadah shalat yang dapat mendorong dirinya untuk selalu bersikap dan bertingkah
laku baik dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah barangkali yang sering
dikemukakan oleh fuqaha, bahwa al-syari’at li ishlah al-dzawahir, wa
al-thariqat li ishlahi dlamair, wa al-hakikat li ishlah al-sarair. Dalam
hal ini ada kelanjutan yang selaras antara aspek-aspek syari’at, tarikat dan
hakikat. Dengan demikian seseorang akan merasakan bahwa dirinya dekat dengan
Tuhan, mengenal-Nya dengan benar dan baik, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan
al-Sunnah. Dialah orangnya yang telah ma’rifat kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman dalam surat
al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.”
Dalam surat al-Ankabut ayat 45 yang
artinya, “Bacalah (selalu) al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadamu.
Dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu menghalangi perbuatan keji dan
munkar. Sesungguhnya mengingat Allah lebih besar (faedahnya). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu lakukan.”
Sebaliknya tidak sedikit orang-orang
yang shalatnya lalai, kurang memperhatikan cara-cara yang baik dalam shalatnya,
tidak berusaha mencari jalan untuk menjadi khusu’ dalam shalatnya, disamping
memenuhi syarat dan rukunnya berdasarkan hukum syara’. Dalam hal ini seringkali
ibadah shalatnya mengakibatkan tidak berbekas daalam dirinya, dan sikap tingkah
lakunya tetap melanggar ketentuan agama. baginya mendapat kecelakaan
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ma’un ayat 4 dan 5 yang artinya, “Maka
celakalah orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya (shalatnya tidak berbekas dalam jiwanya).”
Dalam surat al-Jin ayat 116 yang
artinya, “Dan bahwasanya kalau mereka tetap berjalan lurus (sesuai dengan
syari’at Islam), sesungguhnya Kami akan memberi minum mereka dengan air segar.”
Dalam syari’at Islam kita mengenal
bahwa sumber pokok adalah al-Qur’an. al-Sunnah merupakan penjelasan yang
penting. Dan pelaksanaan ajaran Islam bagi kaum sufi, selain kedua sumber
tersebut, tarikat merupakan urat nadi dan tauhid sebagai jantung pada manusia
yang menggerakkan seluruh tubuh untuk membuktikan pelaksanaan ajaran Islam yang
dinamakan takwa. Dan takwa yang demikianlah yang dapat mengatasi kesulitan
hidup dan dengan takwa demikianlah rezeki sering datang dari berbagai penjuru
dunia yang tidak disangka-sangka sebelumnya.
Demikianlah
para tokoh shufi seperti pendiri Qadiriyah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
pendiri Naqsabandiyah yaitu Muhammad bin Bahauddin al-Naqsabandi adalah
orang-orang faqih yang menguasai ushul fiqh seperti halnya al-Ghazaly. Mereka
selalu mengaitkan tasawuf dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Di antara kaum shufi ada
pula yang memadukan kedua tarikat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar