APA perbedaan antara pengarang (author) dan penulis (writer)?
Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, apalagi bila disusul beberapa
pertanyaan berikut: bagaimana membedakannya? Apa ukuran yang kita gunakan?
Kenapa dibedakan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui persamaan
pengarang dan penulis. Kerja keduanya sama-sama berhubungan dengan bahasa.
Bahasa dalam pengertian paling luas dan mendasar: formula yang membentuk
kesadaran (bahkan ketidaksadaran, menurut psikoanalisis) dan pandangan hidup
manusia. Seandainya terdapat seorang pengarang atau penulis mengaku mampu
bekerja tanpa bahasa, orang tersebut bisa dibilang sedang berdusta. Ibu guru
memberi pelajaran mengarang, murid-muridnya menulis cerita. Pak guru memberi
tugas menulis karya ilmiah, para siswa menulis laporan penelitian.
Mengarang sering diasosiasikan dengan karya sastra yang fiksional,
sedangkan menulis dengan ilmu yang sifatnya faktual: seakan-akan mengarang
sastra tidak memerlukan studi ilmiah, dan menulis karya ilmiah tidak memerlukan
bahasa imajinasi yang fiksional.
Bukan bentuk, tetapi fungsi
Kita akan tahu asumsi tersebut keliru. Terbukti dengan adanya karya
ilmiah yang ditulis dengan bahasa literer atau kental unsur sastranya. Filsuf,
ekonom, dan ilmuwan politik Karl Marx menulis karyanya dengan bahasa yang
literer, penuh simbol dan metafora, contohnya dalam Capital. Demikian pula
Darwin yang terkenal dengan bukunya, The Origin of Species.
Sebaliknya, terdapat banyak karya sastra yang penuh muatan ilmiah,
dan mengolah fakta-fakta dengan metodologi tertentu. Umberto Eco misalnya,
secara konsisten menggunakan logika abduksi sebagai metode dalam
novelnya, The Name of the Rose. Demikian pula Jorge Luis Borges yang
menggunakan labirin sebagai konsep (bahkan semacam metode) untuk membahas
matematika dan metafisika dalam prosa-prosanya, khususnya Tlon, Uqbar, Orbis Tertius,
dan Perpustakaan Babel.
Artinya, asumsi tersebut keliru karena adanya kesalahan dalam
menentukan kategori. Seseorang disebut pengarang bukan karena sifat karyanya
literer-fiksional, dan disebut penulis bukan karena sifat karyanya ilmiah dan
faktual (barang siapa tetap menggunakan kategori ini untuk membedakan pengarang
dan penulis, jalan pikiran orang tersebut pasti akan tersesat). Yang membedakan
keduanya bukan bentuk bahasa, melainkan fungsinya.
Fungsi bahasa bagi pengarang adalah untuk mencipta wacana, sementara
bagi penulis untuk menyampaikan pesan. Marx, Darwin, Eco, dan Borges adalah
pengarang, karena karya mereka melahirkan wacana. Sementara banyak karya sastra
dan ilmiah yang tidak melahirkan wacana, dengan alasan yang berlainan; entah
bahasanya kurang kuat, penalarannya kurang akurat, atau sekadar mengulang karya
sebelumnya.
Seorang pengarang niscaya menempatkan bahasa sebagai basis dari
gagasannya, melampaui fungsi instrumentalnya sebagai media komunikasi. Gagasan
seorang pengarang memberi bobot baru terhadap bahasa, sehingga mampu mengubah
struktur kesadaran, pandangan hidup, dan landasan baru dalam memandang dunia.
Adapun penulis menjadikan bahasa semata sebagai instrumen untuk menyampaikan
pesan agar para pembacanya memahami makna yang disampaikan.
Pengaruh yang mendasar
Apa yang membuat sebuah karya sastra dan ilmiah menjadi wacana
sehingga penciptanya layak disebut pengarang? Pertanyaan itu juga tidak mudah
dijawab, karena banyaknya ukuran yang bisa digunakan, dan jangan-jangan kita
akan salah lagi (dan lagi) dalam menentukan kategori. Tulisan ini kembali
berusaha menjawabnya, dan jika jawaban itu ternyata kelak bisa dibuktikan
salah, maka itu berarti kita telah menawarkan sepercik gagasan kepada pembaca,
dan oleh sebab itu bolehlah disebut sebagai “wacana”.
Sebuah karya ilmiah bisa menjadi wacana karena di dalamnya terdapat
tiga hal. Pertama, ide kreatif yang didukung dasar filosofi yang kuat. Marx
bisa dikatakan adalah orang pertama yang mengemukakan hukum ekonomi sebagai
hukum yang menentukan perkembangan masyarakat dan sejarah. Kebudayaan (seperti
agama, negara, dan institusi sosial lainnya), dicipta semata agar manusia dapat
mengatur kebutuhan ekonominya. Melalui budaya, agama, dan negara, manusia
mendistribusikan kebutuhan ekonominya, bukan sebaliknya.
Kedua, gagasannya memiliki pengaruh melampaui disiplinnya, bahkan
pandangan hidup secara keseluruhan. Sebelum Darwin, Lamarck telah menggunakan
teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia, tetapi Darwin-lah yang
membuat teori evolusi berpengaruh melampaui disiplin biologi, seperti pandangan
yang ditawarkan kitab suci serta dunia mitos. Lebih luas lagi gagasan Marx yang
mengubah pandangan manusia tak semata secara teoretis, tetapi juga praksis.
Kita tahu, di abad lalu komunisme menguasai sepertiga dunia.
Ketiga, pemikirannya dapat dibuktikan kebenarannya. Darwin
melahirkan teori evolusi dengan melakukan observasi terhadap serangkaian
fakta-fakta ilmiah, demikian pula Marx dengan teori ekonominya. Gagasan mereka
bukan spekulasi penalaran belaka, melainkan didukung bukti-bukti empiris. Tanpa
itu, gagasan mereka akan rapuh, persis seperti mitos-mitos yang
ditentangnya.
Sastra tak jauh beda
Bila karya ilmuwan menjadi wacana melalui tiga hal di atas, karya
sastra tidak jauh beda. Membaca novel Eco, The Name of The Rose, kita akan
mendapati ide yang didukung basis filosofis yang kuat, salah satunya bobot
relevatif (kewahyuan) filsafat Aristoteles. Sebelum Eco mungkin sudah ada yang
mengatakannya, tetapi Eco melakukannya secara lebih konstruktif dengan cara
menghubungkan ide tersebut dengan berbagai ide yang menentang dan yang
mendukungnya, termasuk filsafat Abad Pertengahan yang terkungkung teologi
apokalipsis. Demikian pula Borges, yang secara konstruktif memberi bobot
filosofis terhadap labirin, dan melalui itu ia mencipta model berpikir
tertentu.
Karya Eco dan Borges juga berpengaruh hingga di luar disiplinnya.
Novel Eco tak hanya mengubah pandangan manusia terhadap novel, tetapi juga
terhadap agama dan filsafat Abad Pertengahan. Demikian pula Borges, karyanya
berpengaruh secara generik terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Eco sendiri,
bahkan Michael Foucault, adalah filsuf dan ilmuwan yang menimba ilham dari
prosa-prosa Borges.
Lalu apa gagasan dalam karya sastra dapat dibuktikan secara ilmiah?
Tak terhitung karya sastra yang penuh muatan ilmiah, karena sastrawan lazim
menggunakan disiplin tertentu dalam menciptakan karyanya. Namun, bukan di situ
posisi unik sastra dalam hubungannya dengan ilmu. Bila Marx dan Darwin
mengajukan pertanyaan filosofis dan menyelesaikannya secara ilmiah, sastra
membaca kesimpulan ilmiah melalui serangkaian pertanyaan imajinatif sehingga dari
sana terbuka wilayah baru bagi spekulasi para filsuf dan ilmuwan, persis
seperti pengaruh Borges dan Eco terhadap khazanah humaniora kontemporer.
Kita juga memiliki karya-karya ilmiah dan sastrawi yang sebetulnya
memiliki karakteristik seperti karya-karya mereka yang “pengarang” dan bukan
sekadar “penulis”. Pemikiran Tan Malaka, sajak-sajak Chairil Anwar, dan
prosa-prosa Iwan Simatupang di antaranya.
Lalu kenapa karya mereka tidak punya pengaruh mendasar di luar
disiplinnya? Jawabannya, karena mereka adalah orang- orang cemerlang yang hidup
di tengah bangsa dengan tradisi pengetahuan yang buruk (kita berharap jawaban
ini salah). Bangsa yang belum memiliki tradisi pengetahuan yang kuat
membutuhkan banyak “pengarang”, bukan sekadar “penulis”.
Salah satu bukti karya ilmiah, filsafat, dan sastra yang melahirkan
wacana adalah ketika ia menjadi tonggak dalam disiplinnya. Misalnya dalam
membahas kapitalisme (baik ekonomi, politik, maupun budayanya) kita tidak bisa
lepas dari landasan yang diberikan Marx. Begitu pula mengenai asal-usul manusia
sulit lepas dari Darwin. Novel Eco tidak bisa dilewati ketika kita membahas
dunia Abad Pertengahan, juga Borges dalam kaitannya dengan sastra filsafi dan
fantasi.
Katakanlah, karya mereka memiliki otoritas terhadap wacana. Chairil
Anwar memiliki otoritas terhadap puisi Indonesia modern. Sulit bicara puisi
Indonesia modern tanpa Chairil Anwar. Demikian pula Tan Malaka dan Iwan
Simatupang dalam filsafat dan prosa di negeri ini. Nama-nama mereka—termasuk
tentu saja Marx, Darwin, Eco, dan Borges—sering disebut bukan sekadar nama
melainkan semacam “istilah” yang merujuk pada gagasan tertentu yang pengaruhnya
luas. Itu membuktikan mereka adalah pengarang (author), mempunyai “otoritas”
terhadap wacana, dan bukan sekadar penulis (writer) yang menyampaikan sebuah
“pesan”.
Lalu mana yang kita inginkan, pengarang atau penulis? Kita tak bisa
menjawabnya kecuali dengan berdusta. Karena, secara etos mereka yang penulis
lebih elegan bila bekerja layaknya pengarang, sedangkan secara etis mereka yang
pengarang lebih elegan bila tetap memandang dirinya sekadar penulis. Sejauh
ditempatkan pada konteks etis dan etos itulah polemik seputar “kematian
pengarang” (the death of author) yang diusung Roland Barthes dan ramai
didiskusikan beberapa tahun silam di sini relevan untuk direnungkan.
Faisal Kamandobat - Kompas Sabtu 24
Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar