Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta mengatakan masyarakat modern sebagai suatu himpunan orang yang
hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang
bersifat mutakhir.[1]
Selanjutnya sering disebut sebagai lawan dari masyarakat tradisional.
Deliar
Noer menyebutkan ciri-ciri sebuah masyarakat disebut sebagai masyarakat modern
adalah dengan:
1. Bersifat
rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat
emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu mempertimbangkan terlebih dahulu
untung dan ruginya.
2. Berfikir
obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut pandang fungsi dan
kegunaannya bagi masyarakat.
3.
Menghargai waktu,
yakni selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin.
4. Berfikir untuk
jauh ke depan dan tidak berfikir untuk kepentingan sesaat, sehingga selalu
dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
5. Bersikap terbuka,
yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan
diri dari mana pun datangnya.[2]
Sedikitnya masyarakat bisa
dikelompokkan ke dalam tiga bagian, demikian dijelaskan oleh Alfin Toffler,
seperti yang dikemukakan oleh Jalal al-Din Rahmat. Pertama, masyarakat
pertanian (agricultural society), yakni masyarakat yang mendasarkan
perekonomiannya pada sumber daya alam. Mereka masih sangat sederhana dan
tradisional, informasi terpusat pada seseorang yang ditokohkan, kekeluargaan
mereka menganut sistem batih, yaitu menganut ikatan darah dan keturunan, mereka
selalu komitmen dengan lingkungan dan masa lalunya serta banyak menggunakan
kekuatan irasional.
Kedua,
masyarakat industri (industrial society), masyarakat ini sudah maju
dibandingkan dengan masyarakat pertanian, mereka sudah menggunakan mesin-mesin
untuk memproduksi berbagai hal, dengan teknologi yang tinggi, efektif dan
efisien, informasi sudah tidak terpusat pada seorang tokoh tetapi sudah
tersebar pada siapa saja, karena sudah menggunakan media cetak atau tulisan,
informasinya bersifat nasional dan terus berkembang bahkan lebih luas lagi
jangkauannya, kekeluargaan yang dibangun lebih sempit yakni keluarga inti
(orang tua, suami, isteri dan anak) yang hanya mengandalkan peran dan fungsi
sosial ekonominya saja, dan sehingga karena persaingan yang ketat dalam
masyarakat industri maka yang sangat diperlukan adalah jiwa yang cerdas,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.
Dan ketiga, masyarakat informasi
(informatical society), masyarakat ini adalah masyarakat yang
perkembangannya lebih maju dibanding dengan masyarakat industri, dari segi
teknologi, ekonomi dan industri lebih bersifat pasti, dan mengukur kekayaan
dengan kekayaan informasi bukan lagi pada kekayaan materi seperti pada
masyarakat pertanian dan masyarakat industri, dan informasi adalah lebih
penting dari segalanya. Pada masyarakat ini yang akan bertahan adalah mereka
yang berorientasi ke depan dan bijak, sehingga akan membangkitkan kepribadian
yang suprareligius, mistikan yang menganggap alam sebagai teman bukan musuh.[3]
Seorang ahli psikologi internasional
yang bernama Dr. Donald F. Klein menjelaskan bahwa masyarakat informatif adalah
sebagai masyarakat yang haus akan informasi, selalu ingin tahu, imajinatif.[4]
Sebagai abad yang
modern atau ada yang menyebut postmodern, abad ini tentu telah mencapai tingkat
masyarakat informatif terutama dibeberapa belahan dunia, yang tentu ini
mempunyai ekses yang sangat dirasakan, pun begitu Indonesia yang sedang
mengalami pergeseran menuju kesana alih-alih mungkin sudah sampai disana, walau
keadaan sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat pertanian, sehingga
dengan ini makin terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang sangat lebar dan
dalam, dengan ini akan mengakibatkan masyarakat terbagi kepada masyarakat yang
optimis, pesimis dan mengambil jalan tengah. Bagi masyarakat yang optimis tentu
ini adalah sebuah tantangan untuk lebih maju, sedang untuk masyarakat yang
mengambil jalan tengah tentu akan mempertimbangkan baik dan buruknya, tetapi
ini akan sangat berefek buruk bagi kejiwaan masyarakat yang pesimis, karena
mereka tidak siap untuk bersaing alih-alih bahkan mungkin akan tersingkir.
Inilah mungkin salah satu problem yang akan dihadapi oleh kita sebagai
masyarakat yang hidup pada abad modern alih-alih postmodern, yang mulai menuju
pada masyarakat informatif bahkan mungkin sudah disana. Banyak sekali ekses
dari ini semua, dapatlah kita permudah menganalisisnya dengan mencoba
mengelompokannya pada:
Pertama,
spesialisasi di bidang keilmuan atau terjadi desintegrasi ilmu pengetahuan,
bahkan lebih ekstrem lagi terpisah atau dipisahkan sama sekali dengan unsur
spiritual, di mana setiap ilmu pengetahuan mempunyai paradigma sendiri-sendiri,
yang kadang-kadang saling bertolak belakang sehingga membingungkan manusia pada
umumnya. Ini diakui oleh Max Scheler bahkan menurut Hussein Nasr inilah yang
menjadi pangkal keringnya nilai spiritual yang membawa manusia pada tepi
kehancuran karena tidak lagi memiliki etika dan estetika yang bersumber
spiritual ilahiyah.[5]
Sehingga dengan ini akan menjadikan manusia sebagai split personality,
pribadi yang terpecah-pecah dan terkotak-kotak.
Dan berikutnya adalah akibat dari dipisahkannya ilmu pengetahuan dan
teknologi dari unsur spiritual.
Kedua,
akibat dari pemisahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual maka
akan memungkinkan terjadinya penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut sesuai dengan segala kehendak dan kepentingan dari setiap yang memiliki
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, bahkan mungkin malah akan saling
menghancurkan baik secara moral maupun secara fisik.
Ketiga,
diakibat dari pemisahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual
tentunya akan mendangkalkan nilai keimanan seseorang, dan akan membentuk pola
materialisme pada individu-individu, sehingga akibat ini adalah akan
terjalinnya pola hubungan ditentukan oleh keuntungan secara material yang akan
diperoleh, tidak lagi pertimbangan akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan
apalagi keimanan. Dan akan akibat lebih jauh dari ini manusia akan menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuannya.
Keempat,
stress dan frustasi adalah akibat berikutnya, dikarenakan kehidupan modern yang
demikian kompetitif itu dan akibatnya manusia harus bekerja keras dengan
mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan kemampuannya tanpa mengenal batas dan
kepuasan. Hasil yang telah dicapainya tidak disyukurinya dan bahkan selalu
merasa masih jauh dari kekurangan. Tetapi apabila ini gagal maka dengan mudah
mereka kehilangan pegangannya yang kokoh, sehingga terjadilah stress dan
frustasi yang kemudian bisa mengakibatkan gila.
Kelima,
manusia-manusia yang telah mempunyai watak dan sifat yang demikian tadi,
biasanya mereka akan mempergunakan aji mumpung, mereka menggunakan masa
mudanya dengan mengikuti hawa nafsunya dengan segala macam cara, hingga
akhirnya ketika fisik sudah renta tiada lagi kekuatan yang ia punyai, bahkan
segala yang telah ia dapatkan dan ia kumpulkan tidak mempunyai arti apa-apa
baginya, saat itulah manusia baru merasakan dirinya begitu tidak berharga dan
tidak mempunyai masa depan, merasakan kekosongan bathin, dan kehampaan
spiritual.[6]
[1] W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
(Jakarta: Balai Pustaka. 1991). Cetakan XII. hal. 636 dan 653.
[2] Deliar Noer. Pembangunan di Indonesia. (Jakarta:
Mutiara. 1987). hal. 24.
[3] Jalal al-Din Rahmat. “Islam Menyongsong Peradaban Dunia
Ketiga” dalam ‘Ulum al-Qur’an 2. vol. 2. 1989. hal. 46.
[4] Ibid.
[5] Komaruddin Hidayat. “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan
Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr”. dalam Dawam Rahardjo (ed.). Insan
Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam. (Jakarta: Grafitri Pers. 1987).
Cetakan II. hal. 191.
[6] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 289-293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar