Sabtu, 15 Oktober 2011

Masyarakat Modern dan Problematikanya


        Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengatakan masyarakat modern sebagai suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.[1] Selanjutnya sering disebut sebagai lawan dari masyarakat tradisional.

         Deliar Noer menyebutkan ciri-ciri sebuah masyarakat disebut sebagai masyarakat modern adalah dengan:

1.   Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu mempertimbangkan terlebih dahulu untung dan ruginya.
2.    Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut pandang fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
3.      Menghargai waktu, yakni selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin.
4.   Berfikir untuk jauh ke depan dan tidak berfikir untuk kepentingan sesaat, sehingga selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
5.  Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan diri dari mana pun datangnya.[2]

Sedikitnya masyarakat bisa dikelompokkan ke dalam tiga bagian, demikian dijelaskan oleh Alfin Toffler, seperti yang dikemukakan oleh Jalal al-Din Rahmat. Pertama, masyarakat pertanian (agricultural society), yakni masyarakat yang mendasarkan perekonomiannya pada sumber daya alam. Mereka masih sangat sederhana dan tradisional, informasi terpusat pada seseorang yang ditokohkan, kekeluargaan mereka menganut sistem batih, yaitu menganut ikatan darah dan keturunan, mereka selalu komitmen dengan lingkungan dan masa lalunya serta banyak menggunakan kekuatan irasional.
Kedua, masyarakat industri (industrial society), masyarakat ini sudah maju dibandingkan dengan masyarakat pertanian, mereka sudah menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi berbagai hal, dengan teknologi yang tinggi, efektif dan efisien, informasi sudah tidak terpusat pada seorang tokoh tetapi sudah tersebar pada siapa saja, karena sudah menggunakan media cetak atau tulisan, informasinya bersifat nasional dan terus berkembang bahkan lebih luas lagi jangkauannya, kekeluargaan yang dibangun lebih sempit yakni keluarga inti (orang tua, suami, isteri dan anak) yang hanya mengandalkan peran dan fungsi sosial ekonominya saja, dan sehingga karena persaingan yang ketat dalam masyarakat industri maka yang sangat diperlukan adalah jiwa yang cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.
Dan ketiga, masyarakat informasi (informatical society), masyarakat ini adalah masyarakat yang perkembangannya lebih maju dibanding dengan masyarakat industri, dari segi teknologi, ekonomi dan industri lebih bersifat pasti, dan mengukur kekayaan dengan kekayaan informasi bukan lagi pada kekayaan materi seperti pada masyarakat pertanian dan masyarakat industri, dan informasi adalah lebih penting dari segalanya. Pada masyarakat ini yang akan bertahan adalah mereka yang berorientasi ke depan dan bijak, sehingga akan membangkitkan kepribadian yang suprareligius, mistikan yang menganggap alam sebagai teman bukan musuh.[3]
Seorang ahli psikologi internasional yang bernama Dr. Donald F. Klein menjelaskan bahwa masyarakat informatif adalah sebagai masyarakat yang haus akan informasi, selalu ingin tahu, imajinatif.[4]
      Sebagai abad yang modern atau ada yang menyebut postmodern, abad ini tentu telah mencapai tingkat masyarakat informatif terutama dibeberapa belahan dunia, yang tentu ini mempunyai ekses yang sangat dirasakan, pun begitu Indonesia yang sedang mengalami pergeseran menuju kesana alih-alih mungkin sudah sampai disana, walau keadaan sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat pertanian, sehingga dengan ini makin terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang sangat lebar dan dalam, dengan ini akan mengakibatkan masyarakat terbagi kepada masyarakat yang optimis, pesimis dan mengambil jalan tengah. Bagi masyarakat yang optimis tentu ini adalah sebuah tantangan untuk lebih maju, sedang untuk masyarakat yang mengambil jalan tengah tentu akan mempertimbangkan baik dan buruknya, tetapi ini akan sangat berefek buruk bagi kejiwaan masyarakat yang pesimis, karena mereka tidak siap untuk bersaing alih-alih bahkan mungkin akan tersingkir. Inilah mungkin salah satu problem yang akan dihadapi oleh kita sebagai masyarakat yang hidup pada abad modern alih-alih postmodern, yang mulai menuju pada masyarakat informatif bahkan mungkin sudah disana. Banyak sekali ekses dari ini semua, dapatlah kita permudah menganalisisnya dengan mencoba mengelompokannya pada:
Pertama, spesialisasi di bidang keilmuan atau terjadi desintegrasi ilmu pengetahuan, bahkan lebih ekstrem lagi terpisah atau dipisahkan sama sekali dengan unsur spiritual, di mana setiap ilmu pengetahuan mempunyai paradigma sendiri-sendiri, yang kadang-kadang saling bertolak belakang sehingga membingungkan manusia pada umumnya. Ini diakui oleh Max Scheler bahkan menurut Hussein Nasr inilah yang menjadi pangkal keringnya nilai spiritual yang membawa manusia pada tepi kehancuran karena tidak lagi memiliki etika dan estetika yang bersumber spiritual ilahiyah.[5] Sehingga dengan ini akan menjadikan manusia sebagai split personality, pribadi yang terpecah-pecah dan terkotak-kotak.  Dan berikutnya adalah akibat dari dipisahkannya ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual.
Kedua, akibat dari pemisahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual maka akan memungkinkan terjadinya penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut sesuai dengan segala kehendak dan kepentingan dari setiap yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, bahkan mungkin malah akan saling menghancurkan baik secara moral maupun secara fisik.
Ketiga, diakibat dari pemisahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari unsur spiritual tentunya akan mendangkalkan nilai keimanan seseorang, dan akan membentuk pola materialisme pada individu-individu, sehingga akibat ini adalah akan terjalinnya pola hubungan ditentukan oleh keuntungan secara material yang akan diperoleh, tidak lagi pertimbangan akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan apalagi keimanan. Dan akan akibat lebih jauh dari ini manusia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Keempat, stress dan frustasi adalah akibat berikutnya, dikarenakan kehidupan modern yang demikian kompetitif itu dan akibatnya manusia harus bekerja keras dengan mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan kemampuannya tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang telah dicapainya tidak disyukurinya dan bahkan selalu merasa masih jauh dari kekurangan. Tetapi apabila ini gagal maka dengan mudah mereka kehilangan pegangannya yang kokoh, sehingga terjadilah stress dan frustasi yang kemudian bisa mengakibatkan gila.
Kelima, manusia-manusia yang telah mempunyai watak dan sifat yang demikian tadi, biasanya mereka akan mempergunakan aji mumpung, mereka menggunakan masa mudanya dengan mengikuti hawa nafsunya dengan segala macam cara, hingga akhirnya ketika fisik sudah renta tiada lagi kekuatan yang ia punyai, bahkan segala yang telah ia dapatkan dan ia kumpulkan tidak mempunyai arti apa-apa baginya, saat itulah manusia baru merasakan dirinya begitu tidak berharga dan tidak mempunyai masa depan, merasakan kekosongan bathin, dan kehampaan spiritual.[6]


[1] W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka. 1991). Cetakan XII. hal. 636 dan 653.
[2] Deliar Noer. Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Mutiara. 1987). hal. 24.
[3] Jalal al-Din Rahmat. “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga” dalam ‘Ulum al-Qur’an 2. vol. 2. 1989. hal. 46.
[4] Ibid.
[5] Komaruddin Hidayat. “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr”. dalam Dawam Rahardjo (ed.). Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam. (Jakarta: Grafitri Pers. 1987). Cetakan II. hal. 191.
[6] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 289-293.

Tidak ada komentar: