Rabu, 07 September 2011

Zuhud dan Pengertiannya


      Al-zuhud secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[1] Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2] Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masaah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.[3]

       Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akherat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَالاَخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً (النساء: 77)

   “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”[4]

وَمَا الْحَيَوةُ الدُّنْيَا اِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وًّللدَّارُ الاَخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ(الانعام:32)

   “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidaklah kamu memahaminya.”[5]

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا فِى الاَخِرَةِ اِلاَّ قَلِيْل (التوبة: 38)

   “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit.”[6]

            Ayat-ayat tersebut di atas memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia yang sekejap ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi, sungguh tidak sebanding. Kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Allah lebih lanjut berfirman:

وَالأَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

            “Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”[7]

            Orang yang memiliki pandangan yang demikian tidak aka mau mengorbankan kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya karena mengejar duniawi yang sementara. Orang yang demikian akhirnya akan terpelihara dari melakukan hal-hal yang negatif. Ia selalu berbuat yang baik-baik saja. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan:

اِذَا رَاَيْتُمُ الرَّجُلَ فَقَدْ اُوْتِى زَهِدًا فىِ الدُّنْيَا وَمُنْطِقًا فَاقْتَرَبُوْا مِنْهُ فَاِنَّهُ يُلَقِّنُ الْحِكْمَةَ.

    “Jika kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifat zuhud dalam dirinya dan selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karena orang itu yang telah meyakini hikmah.”[8]

            Sikap zuhud sebagaimana telah disebutkan di atas, menurut Harun Nasution, adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah buat pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Mu’awiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk.[9] Demikian pula halnya dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia dibenci oleh ibunya sendiri, Zubaidah.
            Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Mu’awiyah dan Abbasiyah itu telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zaman Usman dan Ali. Dalam keadaan demikian ada sahabat yang tidak mau melibatkan diri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut.
            Berkaitan dengan keadaan demikian itu, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Mu’awiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim (w. 150 H), Jabir ibn Hasyim (w. 190 H), Hasan Basri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah.[10]


[1] Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 158.
[2] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 64.
[3] Al-Qusyairi, al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawuf. (Mesir: Dar al-Khair. t.t.). hal. 115.
[4] Q.S. al-Nisa, [4]: 78.
[5] Q.S. al-An’am, [6]: 32.
[6] Q.S. al-Taubah, [9]: 38.
[7] Q.S. al-A’la, [87]: 17.
[8] Al-Qusyairiyah, al-Naisyabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah … hal. 115.
[9] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 64.
[10] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 197.

Tidak ada komentar: