Sejarah
perkembangan tasawuf dapat dikatakan sejak timbulnya fitnah di zaman Khalifah
Utsman sampai Khalifah Ali, di mana akibat perang saudara itu beratus dan
beribu umat Islam menjadi korban. Termasyhurlah semboyan: kamu mencintai dunia
dan takut kepada mati.
Dengan demikian timbullah reaksi dari masyarakat
terhadap khalifah-khalifah berikutnya, seperti halnya sebagian Ulama melakukan
‘uzlah. Tercatatlah dalam sejarah sebagai pelopor dalam tasawuf, yaitu:
Hasan Basyri pada abad kedua Hijrah sebagai awal timbulnya ajaran tasawuf.
Beliaupun sebagai sumber dari ahli fikir faham Mu’tazilah dan sumber dari rasa
shufiyah. Kemudian diikuti oleh Sofyan Tsauri dan Rabi’atul Adawiyah.
Dapat pula dikatakan bahwa timbulnya
tasawuf itu bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak
Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul untuk segenap umat manusia.
Perhatikanlah tahannus dan khalwat Rasulullah Saw di Gua Hira sebelum beliau
diangkat menjadi Rasul, dengan maksud disamping menghindarkan diri dari hawa
nafsu keduniawian, juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan menyucikan
jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada waktu itu. Dengan
demikian hati dan jiwa beliau tetap bersih tidak terkena dengan berbagai godaan
pada waktu itu. Memang sejak kecil beliau telah menunjukan kebersihan jiwanya,
dan hal ini dipergunakan oleh kaum shufi sebagai dasar kegiatan untuk
membersihkan hati dan jiwa.
Setelah Muhammad menjadi Rasul,
banyak kegiatan-kegiatan beliau yang dijadikan pedoman dan kaum shufi merasa
lega dan puas terhadap garis-garis yang telah ditunjukan oleh Rasulullah Saw
dalam menunaikan ibadah untuk lebih mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah
SWT. Hal ini dianggap sebagai dasar amalan-amalan tasawuf bagi hidup dan
kehidupan kaum shufi, seperti: zuhud, riyadlah, dzikir, tawakal, sabar, dan
lain sebagainya.
Sebenarnya para shahabat pun dapat
memancarkan cahaya yang mereka terima dari Rasulullah Saw kepada orang-orang di
sekitarnya juga bagi generasi selanjutnya. Rasulullah Saw telah memberi
penghargaan dan pujian kepada para shahabat dengan pujian setinggi-tingginya
sebagaimana sabdanya yang artinya: “Shahabatku seperti bintang-bintang, jika
kamu mengikuti mereka, kamu akan mendapat petunjuk.”
Kesederhanaan hidup yang dilakukan
kaum shufi itu sudah dicontohkan oleh Abu Bakar Shiddiq, yang pernah hidup
dengan sehelai kain saja dan beliau pernah memegang lidahnya seraya berkata, “Lidah
inilah yang senantiasa mengecamku.” Demikian pula Umar Bin Khaththab,
pernah digelari Amirul Mukminin, namanya harum dan termasyhur, bukan saja
karena dapat menghancurkan Kaisar Rum dan Kaisar Persia, tapi juga karena
beliau dapat mengikis habis secara tuntas tradisi-tradisi mereka yang membudaya
dalam masyarakat yang bertentangan dengan Islam. Beliau pernah berpidato di
hadapan manusia sedangkan beliau memakai kain dengan dua belas tambalan dan
baju empat tambalan dan tidak memiliki kain lainnya.
Utsman bin Affan, khalifah ketiga,
terkenal sebagai seorang yang tekun beribadah dan sangat pemalu (al-haya/bukan
pengecut) meskipun juga ia terkenal sebagai shahabat yang tekun mencari rezeki.
Dalam kehidupannya penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan Kitabullah
senantiasa berada di tangannya dan demikian pula sewaktu beliau meninggal dunia
diketemukan Kitabullah itu di antara kedua belah tangannya.
Khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Thalib, hidupnya sederhana
pernah dalam satu bulan memakan 3 buah kurma untuk setiap harinya. Di dalam
rumahnya hanya terdapat pedang, baju rantai dan sehelai kain. Kalau kain itu
dijadikan tikar untuk tidur bersama istrinya yaitu Fatimah, tidak cukup untuk
dijadikan selimut. Demikian pula sebaliknya. Dari setiap perkataannya keluar
berbagai hikmah. Beliau pernah berkata, “Wahai dunia, dayalah orang lain
daripada saya, apakah engkau akan mendekatkan diri kepada saya? Jauh, jauhilah,
sebab saya telah menceraikan engkau talak tiga. Keadaanmu hina dina, ajalmu
pendek, sedangkan bekal masih amat sedikit, dan jalan yang akan ditempuh masih
sangat jauh.”
Demikianlah amalan tasawuf
Rasulullah Saw dan Khulafa al-Rasyidin, dan dapat diambil kesimpulan
sifat-sifat para shahabat sebagai berikut:
-
Zuhud terhadap dunia
-
Cinta dan mengharap segera bertemu dengan Allah SWt
-
Shabar, tawakal, ridla, dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Jelaslah
bahwa ajaran Islam sejak mulanya tidak bisa lepas dari hidup kerohanian,
sedangkan tasawuf Islam sebenarnya adalah hidup kerohanian. Khulafa al-Rasyidin
telah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan kehidupan kerohanian
di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terbukti meskipun para shahabat
utama itu suatu ketika menjadi khalifah, namun segala warna kehidupan itu telah
mereka pandangi dari segi hidup kerohanian.
Setelah
berakhirnya Khulafa al-Rasyidin, hidup kerohanian mendapat perhatian lebih
baik, terlebih-lebih setelah situasi istana dikerajaan Islam sudah menuruti
langgam Persia yang mengarah kepada kemewahan dan kekayaan. Maka sejak abad
pertama sampai ujung abad kedua, hiduplah ahli-ahli kerohanian dan kebatinan
yang besar-besar. Mereka berani hidup dalam kesederhanaan karena ketekunan
mereka beribadat dan menjauhkan diri dari kemewahan duniawy pada zamannya.
Mereka sering dijuluki zuhad dan nusak. Zuhad kata jama dari
zahid, artinya orang yang tidak ingin kemewahan duniawy. Nusak jama dari nasik,
yaitu orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada
Tuhan.
Apabila
pada masa Rasulullah saw dan pada masa shahabat dan masa tabi’in, predikat
shufi bagi para pengamal tasawuf itu belum begitu terkenal, disebabkan yang
terkenal pada masa itu dan yang merupakan julukan yang paling utama pada waktu
itu dan yang mulai adalah shahabat dan tabi’in. Barulah pada
akhir abad pertama sampai ujung abad kedua termasyhur istilah zuhad dan nusak.
Sedangkan
menurut sebagian pendapat mengatakan bahwa teori-teori mengenai sebab-sebab
timbulnya pemikiran tasawuf dalam Islam ini antara lain adalah sebagai berikut.
1.
Pengaruh ajaran-ajaran Kristen tentang faham menjauhi dunia
dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang
terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang
pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang malam hari menjadi petunjuk jalan bagi
kafilah yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi
orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan
bagi musafir yang kelaparan.
2.
Filsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani
merupakan penjara bagi ruh. Kesenangan ruh yang sebenarnya adalah di dalam
samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh
dengan meninggalkan hidup dari dunia materi yaitu zuhud, untuk
selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Phytagoras untuk meninggalkan dunia dan
berkontemplasi inilah menurut pendapat sebagian orang yang mempengaruhi
timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
3.
Filsafat emanasi Plotinus yang menyatakan bahwa wujud ini
memancar dari Dzat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali
pada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk
dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan.
Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat
mungkin, kalau dapat bersatu dengan Tuhan.
4.
Ajaran-ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai
nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham
fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwananya.
5.
Ajaran agama Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkan
hidup duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman
dengan Brahman.[1]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani
[2] menjelaskan bahwa sufisme mula-mula
merupakan pola kehidupan zuhud (asketis) terhadap dunia dan tekun
beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan zuhud, menurut para ahli
sejarah adalah fase yang mendahului tasawuf. Pola ini dijalankan oleh
segolongan umat Islam yang merasa muak terhadap kehidupan mewah yang telah
melanda sementara umat Islam yang lain – terutama elit birokrat pada waktu itu
– yang mengiringi suksesnya Islam menguasai daerah-daerah subur dan kaya sejak
abad pertama Hijriyah. Para zahid dan nasik (orang yang tekun
beribadah) tersebut juga mengaku bahwa melalui pola kehidupan semacam itu
mereka berusaha melestarikan kehidupan yang benar-benar Islami, sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama umat Islam periode pertama (salaf).
Hidup mewah dan berfoya-foya dianggap suatu penyimpangan dari jiwa agama Islam
yang sejati.[3]
Selama
dua abad pertama, tercatat beberapa nama para sufi yang terkenal sebagai
penganut pola yang pertama ini. Di antara mereka ialah al-Hasan al-Bashri (w.
110 H), Ibrahim ibn Adham (w. 139 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).
Karakteristik sufisme pada fase ini, selain zuhud dan ibadah, juga bermotivasi
untuk kebersihan diri lahir bathin, tanpa ada pembahasan-pembahasan yang
melahirkan konsep-konsep dalam sufisme. Fase konseptualisasi dalam sufisme baru
tampak pada abad ke – 3 H, yaitu dengan munculnya nama-nama sufi yang besar,
seperti al-Muhasibi (w. 242 H), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 244 H), Abu Yazid
al-Bustami (w. 260 H), al-Junayd al-Baghdadi (w. 298 H) dan Mansur al-Hallaj
(w. 309 H).[4] Dengan menampilkan unsur-unsur budaya
yang mempengaruhi mereka, para sufi ini melakukan konseptualisasi pengalaman
kejiwaan mereka dalam menjalankan kehidupan sufi. Maka muncullah pelbagai
konsep sufisme seperti al-ma’rifah (pengetahuan) yang diformulasikan
oleh Dzu al-Nun al-Mishri, al-ittihad (persatuan hamba dengan Tuhannya)
yang dikemukakan oleh Abu Yazid al-Bustami, al-hulul (Tuhan mengambil
tempat dalam diri seseorang) yang dilontarkan oleh al-Hallaj, sedangkan
al-Muhasibi telah mencoba menganalisis pengalaman sufi secara psikologis.
Mengenai konseptualisasi tersebut, ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa
Dzu al-Nun al-Mishri dengan konsepnya al-ma’rifat terpengaruh oleh
filsafat Neo-Platonisme; Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya
terpengaruh oleh agama Budha; dan al-Hallaj dengan hulul-nya
terpengaruhi oleh Kristen.[5]
Dalam
pada itu, perjalanan kaum sufi beserta konsepnya mengalami hambatan dan
tantangan yang serius, khususnya dari para intelektual fiqh dan kalam
yang bukan lagi mempertanyakan konsep-konsep kaum sufi malah menyatakan bahwa
konsep-konsep tersebut tidak berada dalam garis yang benar, telah banyak
terpengaruh oleh pemikiran di luar Islam. Misalnya, anggapan kaum sufi bahwa ma’rifah
lebih tinggi daripada ilmu. Juga, konsep-konsep al-ittihad dan hulul
yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Selanjutnya
para ulama fiqh dan kalam makin membuat jarak terhadap golongan
sufi, yang makin bertambah ‘liar’ dalam teori dan prakteknya, sehingga ada
kesan bahwa sufisme berjalan seperti ‘agama tersendiri’ dalam Islam. di samping
itu, di antara para ulama ortodoks (Ahlussunah) muncul pula
kecenderungan kepada berkehidupan sufi. Mereka berusaha menarik kembali sufisme
ke dalam pangkuan Islam dan berkembang sesuai dengan ketentuan yang bisa diterima
oleh para ulama fiqh dan kalam, yaitu dengan cara mengungkapkan
kembali kehidupan para sufi ortodoks pada masa kemurniannya dan mengungkapkan
kembali konsep-konsep sufisme mereka dengan pengertian yang bisa dibenarkan
oleh akidah yang diyakini oleh Ahlussunnah. Di antara mereka adalah al-Sarraj
(w. 377 H) dengan kitabnya al-Luma’, al-Kalabadzi (w. 385 H) dengan
karyanya al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, dan Qustairi (w. 465 H)
dengan risalahnya yang terkenal al-Risalah fi ‘Ibn al-Tashawwuf. Kerja para
ulama sufisme Ahlussunnah tersebut, tidaklah terlalu membawa hasil yang
berarti. Namun, peran mereka begitu besar karena menjadi spirit bagi al-Ghazali
(w. 505 H) untuk membangun konseptualisasi sufisme di belakang hari yang dapat
diterima secara lapang dada oleh para ulama fiqh dan kalam serta
umat Islam lainnya, di sini tasawuf mencapai sukses yang besar.[6] Dari sinilah, dikemudian hari, tasawuf
terbelah menjadi dua jalur, yakni, pertama, tasawuf falsafi yang
konsepnya kental dengan nuansa filosofisnya dan atau terpengaruh oleh pemikiran
di luar Islam, sehingga hanya sedikit orang yang memahami dan menerima konsep
tersebut, seperti halnya konsep al-ittihad dan al-hulul. Kedua,
tasawuf sunni atau Ahlussunnah yang konsep-konsepnya diambil dari Islam dan
tidak mencampuradukkannya dengan pemikiran di luar Islam, sehingga dapat
diterima oleh sebagian besar umat Islam, dan tokohnya adalah al-Ghazali.
Sebelum
lebih jauh membincangkan tentang tasawuf ini dan tokoh-tokoh serta
pemikiran-pemikirannya, ada baiknya di sini dicoba untuk diuraikan tentang
maqamat dan hal dalam tasawuf.
Maqamat
secara harfiah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang bediri atau
pangkal mulia.[7] Istilah ini selanjutnya digunakan
untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
berada dekat dengan Allah.[8] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang
beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlah ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[9]
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,
al-tawakkal, dan al-ridla.[10]
Dalam
kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al-Ghazali mengatakan bahwa maqamat itu aa
delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah,
al-ma’rifah, dan al-ridla.[11]
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai
maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawadlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf
menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad
(tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).[12]
[1]
Harun Nasution. Op. cit.
[2]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Madkhal ila al-Tashawuf al-Islam.
Kairo. Dar al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi. 1983. hal. 54.
[3]
Lihatlah kitab karangan Ibrahim Basyuni. Nasy’at al-Tashawwuf al-Islami.
Mesir. Dar al-Ma’arif. t.th. hal. 96-107; Lihat pula Fazlur Rachman. Islam.
Diterjemahkan oleh Senoaji Saleh. Jakarta. Bumi Aksara. 1992. hal. 132; dan
buku Annemarie Schimmel. Mystical Dimension of Islam. The University of
North Carolina Press Capital Hill. 1981. hal. 30.
[4]
Ibrahim Madzkur. Fi al-Falsafah al-Islamiyah. Mesir. Dar al-Ma’arif.
t.th. hal. 69.
[5]
Annemarie Schimmel. Op. cit. hal. 43; lihat pula kitab Abd al-Qadir
Mahmud. Al-Falsafah al-Shufiyyat fi al-Islam. Kairo. Dar al-Fikr
al-‘Arabi. 1967. hal. 309-310.
[6]
Lihat Fazlur Rahman. Op. cit. hal. 135-140; dan Ibrahim Madzkur. Op.
cit. hal. 71-72.
[7]
Lihat Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung.
1990). hal. 362.
[8]
Lihat Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta:
Bulan Bintang. 1983). Cetakan III. hal. 62.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Imam al-Ghazali. Ihya ‘Ulum al-Din. Jilid III. (Beirut: Dar al-Fikr.
t.t.). hal. 162-178.
[12]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 193-194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar