Rabu, 07 September 2011

Latar Belakang Timbulnya Tasawuf


          Sejarah perkembangan tasawuf dapat dikatakan sejak timbulnya fitnah di zaman Khalifah Utsman sampai Khalifah Ali, di mana akibat perang saudara itu beratus dan beribu umat Islam menjadi korban. Termasyhurlah semboyan: kamu mencintai dunia dan takut kepada mati.
         Dengan  demikian timbullah reaksi dari masyarakat terhadap khalifah-khalifah berikutnya, seperti halnya sebagian Ulama melakukan ‘uzlah. Tercatatlah dalam sejarah sebagai pelopor dalam tasawuf, yaitu: Hasan Basyri pada abad kedua Hijrah sebagai awal timbulnya ajaran tasawuf. Beliaupun sebagai sumber dari ahli fikir faham Mu’tazilah dan sumber dari rasa shufiyah. Kemudian diikuti oleh Sofyan Tsauri dan Rabi’atul Adawiyah.

            Dapat pula dikatakan bahwa timbulnya tasawuf itu bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul untuk segenap umat manusia. Perhatikanlah tahannus dan khalwat Rasulullah Saw di Gua Hira sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, dengan maksud disamping menghindarkan diri dari hawa nafsu keduniawian, juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan menyucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian hati dan jiwa beliau tetap bersih tidak terkena dengan berbagai godaan pada waktu itu. Memang sejak kecil beliau telah menunjukan kebersihan jiwanya, dan hal ini dipergunakan oleh kaum shufi sebagai dasar kegiatan untuk membersihkan hati dan jiwa.
            Setelah Muhammad menjadi Rasul, banyak kegiatan-kegiatan beliau yang dijadikan pedoman dan kaum shufi merasa lega dan puas terhadap garis-garis yang telah ditunjukan oleh Rasulullah Saw dalam menunaikan ibadah untuk lebih mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah SWT. Hal ini dianggap sebagai dasar amalan-amalan tasawuf bagi hidup dan kehidupan kaum shufi, seperti: zuhud, riyadlah, dzikir, tawakal, sabar, dan lain sebagainya.
            Sebenarnya para shahabat pun dapat memancarkan cahaya yang mereka terima dari Rasulullah Saw kepada orang-orang di sekitarnya juga bagi generasi selanjutnya. Rasulullah Saw telah memberi penghargaan dan pujian kepada para shahabat dengan pujian setinggi-tingginya sebagaimana sabdanya yang artinya: “Shahabatku seperti bintang-bintang, jika kamu mengikuti mereka, kamu akan mendapat petunjuk.”
            Kesederhanaan hidup yang dilakukan kaum shufi itu sudah dicontohkan oleh Abu Bakar Shiddiq, yang pernah hidup dengan sehelai kain saja dan beliau pernah memegang lidahnya seraya berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengecamku.” Demikian pula Umar Bin Khaththab, pernah digelari Amirul Mukminin, namanya harum dan termasyhur, bukan saja karena dapat menghancurkan Kaisar Rum dan Kaisar Persia, tapi juga karena beliau dapat mengikis habis secara tuntas tradisi-tradisi mereka yang membudaya dalam masyarakat yang bertentangan dengan Islam. Beliau pernah berpidato di hadapan manusia sedangkan beliau memakai kain dengan dua belas tambalan dan baju empat tambalan dan tidak memiliki kain lainnya.
            Utsman bin Affan, khalifah ketiga, terkenal sebagai seorang yang tekun beribadah dan sangat pemalu (al-haya/bukan pengecut) meskipun juga ia terkenal sebagai shahabat yang tekun mencari rezeki. Dalam kehidupannya penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan Kitabullah senantiasa berada di tangannya dan demikian pula sewaktu beliau meninggal dunia diketemukan Kitabullah itu di antara kedua belah tangannya.
            Khalifah keempat  yaitu Ali bin Abi Thalib, hidupnya sederhana pernah dalam satu bulan memakan 3 buah kurma untuk setiap harinya. Di dalam rumahnya hanya terdapat pedang, baju rantai dan sehelai kain. Kalau kain itu dijadikan tikar untuk tidur bersama istrinya yaitu Fatimah, tidak cukup untuk dijadikan selimut. Demikian pula sebaliknya. Dari setiap perkataannya keluar berbagai hikmah. Beliau pernah berkata, “Wahai dunia, dayalah orang lain daripada saya, apakah engkau akan mendekatkan diri kepada saya? Jauh, jauhilah, sebab saya telah menceraikan engkau talak tiga. Keadaanmu hina dina, ajalmu pendek, sedangkan bekal masih amat sedikit, dan jalan yang akan ditempuh masih sangat jauh.”
            Demikianlah amalan tasawuf Rasulullah Saw dan Khulafa al-Rasyidin, dan dapat diambil kesimpulan sifat-sifat para shahabat sebagai berikut:
-          Zuhud terhadap dunia
-          Cinta dan mengharap segera bertemu dengan Allah SWt
-          Shabar, tawakal, ridla, dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Jelaslah bahwa ajaran Islam sejak mulanya tidak bisa lepas dari hidup kerohanian, sedangkan tasawuf Islam sebenarnya adalah hidup kerohanian. Khulafa al-Rasyidin telah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan kehidupan kerohanian di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terbukti meskipun para shahabat utama itu suatu ketika menjadi khalifah, namun segala warna kehidupan itu telah mereka pandangi dari segi hidup kerohanian.
Setelah berakhirnya Khulafa al-Rasyidin, hidup kerohanian mendapat perhatian lebih baik, terlebih-lebih setelah situasi istana dikerajaan Islam sudah menuruti langgam Persia yang mengarah kepada kemewahan dan kekayaan. Maka sejak abad pertama sampai ujung abad kedua, hiduplah ahli-ahli kerohanian dan kebatinan yang besar-besar. Mereka berani hidup dalam kesederhanaan karena ketekunan mereka beribadat dan menjauhkan diri dari kemewahan duniawy pada zamannya. Mereka sering dijuluki zuhad dan nusak. Zuhad kata jama dari zahid, artinya orang yang tidak ingin kemewahan duniawy. Nusak jama dari nasik, yaitu orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan.
Apabila pada masa Rasulullah saw dan pada masa shahabat dan masa tabi’in, predikat shufi bagi para pengamal tasawuf itu belum begitu terkenal, disebabkan yang terkenal pada masa itu dan yang merupakan julukan yang paling utama pada waktu itu dan yang mulai adalah shahabat dan tabi’in. Barulah pada akhir abad pertama sampai ujung abad kedua termasyhur istilah zuhad dan nusak.
Sedangkan menurut sebagian pendapat mengatakan bahwa teori-teori mengenai sebab-sebab timbulnya pemikiran tasawuf dalam Islam ini antara lain adalah sebagai berikut.

1.      Pengaruh ajaran-ajaran Kristen tentang faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan.
2.      Filsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi ruh. Kesenangan ruh yang sebenarnya adalah di dalam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup dari dunia materi yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Phytagoras untuk meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah menurut pendapat sebagian orang yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
3.      Filsafat emanasi Plotinus yang menyatakan bahwa wujud ini memancar dari Dzat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau dapat bersatu dengan Tuhan.
4.      Ajaran-ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwananya.
5.      Ajaran agama Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkan hidup duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[1]

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani [2] menjelaskan bahwa sufisme mula-mula merupakan pola kehidupan zuhud (asketis) terhadap dunia dan tekun beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan zuhud, menurut para ahli sejarah adalah fase yang mendahului tasawuf. Pola ini dijalankan oleh segolongan umat Islam yang merasa muak terhadap kehidupan mewah yang telah melanda sementara umat Islam yang lain – terutama elit birokrat pada waktu itu – yang mengiringi suksesnya Islam menguasai daerah-daerah subur dan kaya sejak abad pertama Hijriyah. Para zahid dan nasik (orang yang tekun beribadah) tersebut juga mengaku bahwa melalui pola kehidupan semacam itu mereka berusaha melestarikan kehidupan yang benar-benar Islami, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama umat Islam periode pertama (salaf). Hidup mewah dan berfoya-foya dianggap suatu penyimpangan dari jiwa agama Islam yang sejati.[3]
Selama dua abad pertama, tercatat beberapa nama para sufi yang terkenal sebagai penganut pola yang pertama ini. Di antara mereka ialah al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Ibrahim ibn Adham (w. 139 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H). Karakteristik sufisme pada fase ini, selain zuhud dan ibadah, juga bermotivasi untuk kebersihan diri lahir bathin, tanpa ada pembahasan-pembahasan yang melahirkan konsep-konsep dalam sufisme. Fase konseptualisasi dalam sufisme baru tampak pada abad ke – 3 H, yaitu dengan munculnya nama-nama sufi yang besar, seperti al-Muhasibi (w. 242 H), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 244 H), Abu Yazid al-Bustami (w. 260 H), al-Junayd al-Baghdadi (w. 298 H) dan Mansur al-Hallaj (w. 309 H).[4] Dengan menampilkan unsur-unsur budaya yang mempengaruhi mereka, para sufi ini melakukan konseptualisasi pengalaman kejiwaan mereka dalam menjalankan kehidupan sufi. Maka muncullah pelbagai konsep sufisme seperti al-ma’rifah (pengetahuan) yang diformulasikan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, al-ittihad (persatuan hamba dengan Tuhannya) yang dikemukakan oleh Abu Yazid al-Bustami, al-hulul (Tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang) yang dilontarkan oleh al-Hallaj, sedangkan al-Muhasibi telah mencoba menganalisis pengalaman sufi secara psikologis. Mengenai konseptualisasi tersebut, ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa Dzu al-Nun al-Mishri dengan konsepnya al-ma’rifat terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme; Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nya terpengaruh oleh agama Budha; dan al-Hallaj dengan hulul-nya terpengaruhi oleh Kristen.[5]
Dalam pada itu, perjalanan kaum sufi beserta konsepnya mengalami hambatan dan tantangan yang serius, khususnya dari para intelektual fiqh dan kalam yang bukan lagi mempertanyakan konsep-konsep kaum sufi malah menyatakan bahwa konsep-konsep tersebut tidak berada dalam garis yang benar, telah banyak terpengaruh oleh pemikiran di luar Islam. Misalnya, anggapan kaum sufi bahwa ma’rifah lebih tinggi daripada ilmu. Juga, konsep-konsep al-ittihad dan hulul yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Selanjutnya para ulama fiqh dan kalam makin membuat jarak terhadap golongan sufi, yang makin bertambah ‘liar’ dalam teori dan prakteknya, sehingga ada kesan bahwa sufisme berjalan seperti ‘agama tersendiri’ dalam Islam. di samping itu, di antara para ulama ortodoks (Ahlussunah) muncul pula kecenderungan kepada berkehidupan sufi. Mereka berusaha menarik kembali sufisme ke dalam pangkuan Islam dan berkembang sesuai dengan ketentuan yang bisa diterima oleh para ulama fiqh dan kalam, yaitu dengan cara mengungkapkan kembali kehidupan para sufi ortodoks pada masa kemurniannya dan mengungkapkan kembali konsep-konsep sufisme mereka dengan pengertian yang bisa dibenarkan oleh akidah yang diyakini oleh Ahlussunnah. Di antara mereka adalah al-Sarraj (w. 377 H) dengan kitabnya al-Luma’, al-Kalabadzi (w. 385 H) dengan karyanya al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, dan Qustairi (w. 465 H) dengan risalahnya yang terkenal al-Risalah fi ‘Ibn al-Tashawwuf. Kerja para ulama sufisme Ahlussunnah tersebut, tidaklah terlalu membawa hasil yang berarti. Namun, peran mereka begitu besar karena menjadi spirit bagi al-Ghazali (w. 505 H) untuk membangun konseptualisasi sufisme di belakang hari yang dapat diterima secara lapang dada oleh para ulama fiqh dan kalam serta umat Islam lainnya, di sini tasawuf mencapai sukses yang besar.[6] Dari sinilah, dikemudian hari, tasawuf terbelah menjadi dua jalur, yakni, pertama, tasawuf falsafi yang konsepnya kental dengan nuansa filosofisnya dan atau terpengaruh oleh pemikiran di luar Islam, sehingga hanya sedikit orang yang memahami dan menerima konsep tersebut, seperti halnya konsep al-ittihad dan al-hulul. Kedua, tasawuf sunni atau Ahlussunnah yang konsep-konsepnya diambil dari Islam dan tidak mencampuradukkannya dengan pemikiran di luar Islam, sehingga dapat diterima oleh sebagian besar umat Islam, dan tokohnya adalah al-Ghazali.
Sebelum lebih jauh membincangkan tentang tasawuf ini dan tokoh-tokoh serta pemikiran-pemikirannya, ada baiknya di sini dicoba untuk diuraikan tentang maqamat dan hal dalam tasawuf.
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang bediri atau pangkal mulia.[7] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[8] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlah ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[9]
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, dan al-ridla.[10]
Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al-Ghazali mengatakan bahwa maqamat itu aa delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[11]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawadlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).[12]


[1] Harun Nasution. Op. cit.
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Madkhal ila al-Tashawuf al-Islam. Kairo. Dar al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi. 1983. hal. 54.
[3] Lihatlah kitab karangan Ibrahim Basyuni. Nasy’at al-Tashawwuf al-Islami. Mesir. Dar al-Ma’arif. t.th. hal. 96-107; Lihat pula Fazlur Rachman. Islam. Diterjemahkan oleh Senoaji Saleh. Jakarta. Bumi Aksara. 1992. hal. 132; dan buku Annemarie Schimmel. Mystical Dimension of Islam. The University of North Carolina Press Capital Hill. 1981. hal. 30.
[4] Ibrahim Madzkur. Fi al-Falsafah al-Islamiyah. Mesir. Dar al-Ma’arif. t.th. hal. 69.
[5] Annemarie Schimmel. Op. cit. hal. 43; lihat pula kitab Abd al-Qadir Mahmud. Al-Falsafah al-Shufiyyat fi al-Islam. Kairo. Dar al-Fikr al-‘Arabi. 1967. hal. 309-310.
[6] Lihat Fazlur Rahman. Op. cit. hal. 135-140; dan Ibrahim Madzkur. Op. cit. hal. 71-72.
[7] Lihat Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990). hal. 362.
[8] Lihat Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1983). Cetakan III. hal. 62.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Imam al-Ghazali. Ihya ‘Ulum al-Din. Jilid III. (Beirut: Dar al-Fikr. t.t.). hal. 162-178.
[12] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 193-194.

Tidak ada komentar: