Tawakal
secara bahasa berarti menyerahkan diri.[1] Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai
di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan,
tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakal
adalah berpegang teguh pada Allah.[2]
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan
bahwa tawakal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan
tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah
hamba menyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah.
Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya
takdir Allah.[3]
Tawakal yang demikian itu sejalan
pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah
menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan
tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa
bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari
esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang
lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada
janji Allah. Menyerah kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah.[4]
Allah memerintahkan perbuatan
tawakal ini dengan menyatakan:
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُؤْمِنُوْنَ
وَاتَّقُوا اللهَ وَعَلَى اللهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
“Dan bertawakallah kepada Allah, dan hanya
kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.”[6]
1 komentar:
makasi sob. .
sangat bermanfaat. . .
Posting Komentar