Rabu, 07 September 2011

Al-Qusyairi dalam Dunia Sufistik


        Al-Qusyairi dilahirkan sebuah daerah dekat kota Naisafur di wilayah Khurasan – kini termasuk daerah Iran – dengan nama lengkapnya ‘Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairi. Beliau mendapatkan pendidikan Islam yang terbilang sempurna pada saat itu, menghafal al-Qur’an, mempelajari hukum Islam (fiqh) dan teologi Asy’ariyah. Serta menjadi murid dari seorang sufi yang bernama Abu ‘Ali al-Daqqaq (w. 412 H/1021 M). Al-Qusyairi merupakan seorang penulis sufi yang sangat mumpuni. Dalam hal pengembangan gaya penulisan, kemampuan untuk menggabungkan telaah atas suatu konsep yang sangat sulit dengan paparan yang jelas dan tegas, serta kemampua untuk menggabungkan analisis yang tepat dengan anekdot-anekdot teatrikal, hanya sedikit penulis yang bisa menandinginya. Dua orang sebelum al-Qusyairi yang menulis karya-karya synopsis tentang para sufi adalah al-Kalabadzi (w. 380 H/590 M). Karya al-Qusyairi dalam bidang tasawuf, al-Risalah al-Qusyairiyah al-Tashawwuf dianggap sebagai momentum penting dalam perkembangan gerakan tasawuf dan menjadikannya sebagai suatu konsep ajaran yang lebih bersifat sinoptis, baik dalam pemikiran maupun dalam praktiknya. Dan bisa jadi karya ini merupakan  karya tasawuf klasik yang paling terkenal, diakui karena kedalaman, ketajaman dan kejelasan pembahasannya. Dimana konsep semacam ini muncul untuk kali pertamanya dipelopori oleh al-Sarraj (w. 378 H/988 M) dan al-Sulami (w. 412 H/1021 M). Dan kemunculan al-Risalah al-Qusyairiyah ini kemudian diikuti oleh munculnya Hilyat al-Auliya karya Abu Nu’aim al-Isfahani (w. 428 H/1037 M) dan Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri (w. 466 H/1074 M).[1]

Michael A. Sells[2] mengomentari konsep sufistik al-Qusyairi tentang waktu (al-waqt), dengan mengatakan bahwa penjelasan al-Qusyairi tentang al-waqt (saat, kesementaraan) merupakan bagian pembuka yang mengesankan dalam kitab al-Risalah al-Qusyairi.
Al-Qusyairi di dalam bagian pembukanya itu memaparkan suatu bahasa tentang hubungan antara waktu, pengalaman dan identitas. Waktu adalah periode yang dijalani oleh suatu keadaan spiritual waktu dan keadaan. Sufistik datang pada seorang sufi secara spontan, terbebas dari segala kehendak diri atau usaha yang disengaja, atau pun pilihan (ikhtiyar) dimana ada suatu gerak maju yang konstan melalui beberapa tahap intensitas dalam waktu dan keadaan sufistik atau kondisi ruhani yang bertujuan pada pemasrahan diri sepenuhnya. Pada setiap waktu yang dijalani, seakan-akan waktu merupakan totalitas keberadaan seseorang. Istilah waktu ini oleh filsafat teosfis Ibn ‘Arabi dimaknai dengan “waktu abadi” yang mengindikasikan suatu totalitas.
Waktu adalah apa yang engkau ada di dalamnya. Demikian yang disampaikan oleh sang guru al-Qusyairi, Abu ‘Ali al-Daqqaq.[3] Lebih lanjut bahkan mengatakan, jika engkau berada di dunia, maka waktumu adalah dunia, jika engkau berada di kehidupan setelah mati, maka waktumu adalah dunia kehidupan setelah mati, jika engkau berada dalam kebahagiaan, maka waktumu adalah kebahagiaan, jika engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan. Sehingga dari sini bisa dikatakan bahwa waktu adalah segala sesuatu yang mendominasi seseorang. Dan dalam sebuah syair, waktu dikatakan sebagai.

Seperti pedang – jika kau memegangnya dengan lembut
Maka sentuhannya sangatlah lembut,
Tapi ujungnya, jika kau pegang dengan kasar
Ia akan menebas kasar.[4]

Oleh karena itu, seseorang yang cerdik adalah yang setiap berada dalam aturan waktunya, jika waktunya adalah kesadaran yang membangkitkan (syahw), maka setiap perilakunya adalah syari’at, dan jika waktunya adalah penghancuran, maka aturan realitas berlaku atas dirinya.
Sedangkan keadaan spiritual merupakan modus kesadaran yang datang secara langsung ke dalam hati seseorang tanpa ia menghendakinya, menginginkan kedatangannya, menyengaja untuk meraihnya, menarik atau mengusahakannya –suatu perasaan bahagia atau sedih, sempit, rindu, gelisah, takut, atau hasrat yang sangat besar. Keadaan spiritual ini merupakan satu hal yang langsung dianugerahkan oleh Allah datang secara langsung dan tiba-tiba. Dalam sebuah syairnya al-Junaid mengatakan,

Kilasan cahaya yang datang tiba-tiba
Ketika muncul, nampak seperti bayang-bayang
Menyingkapkan rahasia, mengabarkan persatuan.[5]


[1] Michael A. Sells (Ed.). Op. cit. hal 129 dan 210.
[2] Ibid. hal. 133-136.
[3] Ibid. hal. 134.
[4] Ibid. hal. 135.
[5] Ibid. hal. 140.

Tidak ada komentar: