Secara
lughat, kata tasawuf berasal dari bermacam-macam kata sebagaimana dikemukakan
antara lain oleh Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern sebagai berikut:
kata tasawuf berasal dari kata shifa yang berarti suci bersih; dari kata shuf
yang artinya bulu binatang; dari kata shufah yang berarti golongan shahabat Nabi
yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Kata
setengahnya berasal dari kata shufanah yang artinya sebangsa kayu mersik yang
tumbuh dipadang pasir tanah Arab. Dapat pula berasal dari kata shaf yang
berarti barisan dikala sembahyang. Kesemuanya pengertian secara etimologis ini
mempunyai arti yang dekat kepada apa yang dimaksud dengan tasawuf.
Apabila kita perhatikan dari bentuk
bahasa Arab. Maka kata tasawuf itu berasal dari kata tasrifan:
Tasawwaf-Yatasawwafu-Tasawwufan. Misalnya: Tasawwafar rajulu. Artinya seorang
laki-laki sedang bertasawuf.
Dari segi linguistik
(kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak yang mulia.[1]
Kemudian pengertian Tasawwuf secara
definitive, banyak sekali dikemukakan oleh para ahli, bahkan Dr. Ibrahim
Basyuni dalam bukunya Nas’at Al-Tasawwuf Al-Islam telah memilih empat
puluh definisi yang diambil dari pembahasan-pembahasan ahli tasawwuf yang hidup
dalam abad ketiga, yaitu antara 200-334 H.
Pengertian secara istilah dari
tasawuf ini bisa dilihat dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para
ulama diantaranya.
1.
Tasawuf adalah istilah khusus yang dipakai mistisisme dalam Islam.
tujuan mistisisme adalah mencari hubungan langsung dengan Allah. Inti sari
mistisisme termasuk di dalamnya tasawuf ialah kesadaran terhadap adanya komunikasi
dan dialog antara manusia dengan Allah Swt dalam istilah Arab disebut dengan ittihad
dan istilah Inggris disebut mystical union. Tasawuf merupakan suatu ilmu
pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara
jalan bagaimana seorang muslim sedekat mungkin dengan Allah Swt.[2]
1.
Tasawuf berasal dari kata suf yaitu wol, yang dimaksud
bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai oleh orang-orang kaya, tetapi
wol primitif dan kasar yang dipakai pada zaman dahulu oleh orang-orang miskin
di Timur Tengah. Pada zaman itu pakaian kemewahan adalah sutra. Orang sufi
ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani dan
untuk itu mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar
tersebut. Dikatakan bahwa tasawuf datang dari luar dan masuk ke dalam Islam.
2.
Menurut ahli bahasa dan sejarah pada dewasa ini menyatakan
bahwa perkataan shufi itu bukanlah dari bahasa Arab, melainkan dari
bahasa Yunani lama yang telah dibahasa-Arabkan, yaitu berasal dari kata theosofi,
yang artinya adalah ilmu ketuhanan kemudian diucapkan dengan lidah orang Arab
sehingga berubah menjadi tasawuf.
3.
Menurut ibn Khaldun, tasawuf adalah semacam ilmu syari’ah
yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah dan memutuskan
hubungan dengan segala selain Allah Swt, hanya menghadap Allah Swt semata,
menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu
memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan serta menyendiri
menuju jalan Allah dalam khalwat dan ibadah.
4.
Menurut Junaid, tasawuf ialah keluar dari budi, perangai
yang terpuji, sedangkan menurut al-Hallaj, yaitu pada waktu ia disalib dan
menunggu ajalnya, dan ia berkeyakinan bahwa dirinya dapat bersatu dengan Allah
Swt, kemudian datang seseorang yang bertanya kepadanya, “Apakah arti yang
sejati dari tasawuf itu?” Darah telah keluar dari tubuh dan matanya,
punggungnya telah hangus kena panas hanya menunggu tubuhnya akan dipotong. Pada
waktu ia berkata untuk terakhir kalinya, “Tasawuf adalah apa yang engkau lihat
dengan matamu ini. Inilah dia tasawuf!” [3]
Sedangkan
pengertian-pengertian tasawuf berdasarkan pada pengalaman-pengalaman para ahli
tasawwuf yang mempengaruhi perkembangan tasawuf itu sendiri dikelompokkan
sebagai berikut:
1.
Al-Bidayah
Manusia
merasakan dengan fitrahnya bahwa yang wujud itu tidak terbatas dengan hanya
yang dilihat, tetapi dibalik itu masih ada wujud yang lebih sempurna yang
selalu dirindui oleh ruh manusia. Dan hatinya akan mendapatkan ketenangan
sesudah mengenal kepada-Nya. Ia selalu berusaha untuk mendekatkan diri dan
ingat kepada-Nya. Dalam waktu yang sama ia merasakan adanya tabir yang
memisahkan antara dirinya dengan wujud yang sempurna itu. Tabir pemisah ini
sedikit demi sedikit akan hilang setiap ia tekun berpikir mendalami dirinya,
dan mengurangi keinginan nafsu dan jasmaninya. Pada saat itu penuhlah hatinya
dengan limpahan cahaya (nur) yang membangkitkan perasaan dan kesungguhannya
serta membawanya kepada ketenangan jiwa yang sempurna.
Dalam kelompok Al-Bidayah ini hampir
tidak ada perbedaan antara pengalaman dan percobaan yang dialami oleh seorang
penganut Budha, Masehi dan pemeluk agama Islam, padahal ajaran agamanya nampak
berbeda terutama dalam akidah dan ibadah. Maka jelaslah bahwa perasaan demikian
adalah berasal dari fitrah yang sehat yang terdapat dalam diri manusia.
Definisi yang menyatakan dalam
kelompok Al-Bidayah ini antara lain dikemukakan oleh:
i.
Ma’ruf Al-Karkhy (wafat 200 H.), tasawuf adalah mengambil
hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Maka siapa yang
tidak benar-benar fakir (dengan duniawi), dia tidak benar-benar bertasawuf.
ii.
Abu Turab An-Nakhsaby (wafat 245 H.), sufi adalah yang tidak
ada sesuatu pun mengotori dirinya dan dapat membersihkan sesuatu.
1.
Al-Jahidah
Kelompok
ini ditinjau dari segi amaliah yang dilaksanakan oleh para ahli tasawuf yang
dimulai dengan menghiasi diri dengan sesuatu perbuatan yang diingini oleh agama
dan kebiasaan yang mulia.
Definisi kelompok kedua ini
dikemukakan oleh :
i.
Abu Muhammad Al-Jariri, tasawuf adalah memasuki suatu ahlak
sunni dan keluar dari semua mahluk rendah.
ii.
Sam nun, tasawuf adalah bahwa engkau tidak memiliki sesuatu
dan tidak dimiliki sesuatu.
2.
Al-Mudzaqah
Dalam
kehidupan tasawuf segala kemauan ditundukkan untuk melarut dalam kehendak
Tuhan, dengan jalan rindu (al-isyq) dan intuisi (al-wajd). Segala umur,
kegiatan, dan hati dikerahkan sehingga hubungan itu (antara seseorang dengan
Tuhannya) lebih kuat dan bersih. Perasaan yang dialami oleh shufi, hubungan
yang kuat dan bersih dengan tuhan itu digambarkan dalam definisi sebagai
berikut.
i.
Abu Husain al-Muzyu, tasawuf ialah bahwa engkau berserah
diri secara bulat kepada yang Haq.
ii.
Al-Junaid, Tasawuf ialah bahwa engkau beserta Allah dengan
tanpa penghubung. Tasawuf ialah keluar dari budi pekerti tercela dan masuk
kepada budi pekerti terpuji.
Dengan uraian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa Tasawuf ialah kesadaran yang murni (fitrah) yang mengarahkan
jiwa yang benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh menjauhkan diri
dari keduniaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk mendapatkan
perasaan berhubungan yang erat dengan wujud Yang Mutlak (Tuhan).
Selanjutnya kita perhatikan pendapat
Hamka:
Tasawuf
itu adalah membersihkan diri (jiwa) dari pengaruh benda atau alam supaya dia
mudah menuju Tuhan.
Ibnu Khaldun mengemukakan tasawuf
adalah semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian didalam agama; asalnya ialah
bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah. Hanya
menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi yang selalu memperdaya
orang banyak. Demikian juga kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri
menuju jalan Allah dalam berkhalwat dan dalam beribadah.
Dengan demikian, seorang shufi
adalah sebagai yang telah bersih jiwanya dari pengaruh benda atau alam,
semata-mata hanyalah untuk Allah. Memilih Allah semata, untuk dirinya.
Selanjutnya Hamka menggambarkan
bahwa tasawuf itu termasuk filsafat Islam yang maksudnya bermula hendak zuhud
dari dunia fana, tetapi karena banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan
bangsa lain, banyak sedikitnya masuk juga pengajian agama dari pihak lain ke
dalamnya. Dengan demikian ada di antara ajaran tasawuf yang diizinkan oleh
agama, dan ada pula yang tidak diizinkan, dan secara tidak sadar terdapat orang
yang tergelincir dari agama Islam. Oleh karena itu seringkali yang menamakan
dirinya kaum shufi itu menempuh jalan yang tidak dibolehkan oleh agama,
misalnya melarikan diri dari keluarga dan masyarakat, tidak mau lagi mencari
rezeki, mengharamkan apa yang diharamkan oleh agama, sehingga dapat melemahkan
perjuangan umat Islam itu sendiri.
Tetapi pada pokoknya pengertian
tasawuf dari segi istilah amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakan
oleh masing-masing ahli. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para
ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk
terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai
makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk
yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya
kepada Allah Swt.[4]
Selanjutnya jika sudut pandang yang
digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf
dapat didefiniskan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber
dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.[5] Dan jika sudut pandang yang digunakan
adalah manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga definisi tasawuf tersebut
di atas satu dan lainnya dihubungkan,maka segera tampak bahwa tasawuf pada
intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak
yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang
kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat
dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.[6]
Selanjutnya apabila kita ingin
mengetahui tujuan tasawuf, maka kita tidak dapat meninggalkan tujuan dan
hubungannya dengan akhlak, karena apabila tasawuf itu dihubungkan dengan
akhlak, maka pengaruh tasawuf yang diharapkan adalah agar orang dapat menjadi
ikhlash dalam beramal dan berjuang, semata-mata karena Allah Swt tidak karena
maksud lain. Sedangkan hal-hal yang harus
diamalkan itu dijelaskan dalam akhlak, baik dalam kehidupan
perseorangan, maupun kehidupan bermasyarakat, serta juga jalan yang harus
ditempuhnya. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa akhlak itu adalah
permulaan tasawuf dan tasawuf itu adalah ujung dari akhlak.
Apabila kita perhatikan dari
urgensinya bagi manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus mahluk sosial,
maka dengan akhlak manusia akan nampak perbedaannya dengan binatang. Dan dengan
tasawuf kerinduan manusia akan kembali kepada Tuhannya tidak terhalang dengan
kelezatan duniawi.
Kemudian apabila kita kaji secara
mendalam, maka di dalam tasawuf itu selain terdapat kesopansantunan, terdapat
pula unsur-unsur estetika yang menimbulkan seni, dimana puncak keindahan itu
adalah cinta. Orang yang tidak dapat dan tidak mempunyai keindahan, tidak
pernah mengenal cinta. Tasawuf dengan merenung diri, merenung puncak gunung
atau lembah, melihat atau merenung bintang-bintang dilangit, berarti mengkaji
keindahan. Namun seringkali manusia tidak dapat mencapai keindahan yang hakiki
itu.
Jelaslah bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu
Akhlak mengatur dan memberi petunjuk tentang peraturan mengenai perbuatan
manusia untuk kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, serta mendorong
mempengaruhi manusia supaya hidup suci manghasilkan kebaikan dan kesempurnaan.
Dengan demikian maka tasawuf itu
dimulai dengan membersihkan diri dan bertujuan untuk mencapai hakikat yang
tinggi. Oleh karena Allah itu adalah Nur Yang Maha Suci, maka hamba yang ingin
berhubungan dengan Allah harus berusaha melepaskan ruhnya dari lingkungan
jasadnya. Untuk melepaskan ruh itu ditempuh dengan jalan riyadah
(latihan) yang memakan waktu cukup lama. Riyadlah ini juga bertujuan untuk
mengasah ruh supaya tetap suci. Naluri manusia tetap ingin mencapai yang baik
dan sempurna dalam mengarungi
kehidupannya. Untuk mencapai hal itu tidaklah cukup hanya dengan ilmu
pengetahuam saja, karena ilmu hanyalah produk manusia dan hanya merupakan alat
yang pendek, sedangkan jalan menuju hidayah dan kebahagian itu tidak lain
hanyalah dengan iman yang kokoh. Perasaan hidup yang aman dan tentram dan yang
berdiri di atas cinta kepada Allah Yang Maha Sempurna.
Selanjutnya untuk mencapai tujuan
ahli tasawuf itu para ahli tasawuf selalu menghindarkan diri dari aliran
rasionalisme, materialisme dan juga kultus individu. Sebab hal-hal tersebut,
dapat menyesatkan, dapat menuju kepada kehidupan semu dan membawa kepada
kehinaan di kemudian hari.
Dalam
mengenal Tuhan ahli tasawuf meletakkan dasar-dasar teori pengenalan Tuhan
dengan cara tertentu yang tidak bersifat rasional, namun melalui dasar-dasar
teori perasaan hati, lantaran iman dan ilham yang dilimpahkan Allah kedalam
jiwanya. Dengan tasawuf juga diharapkan seorang sufi itu lepas dari pengaruh
duniawi dan konsentrasinya kepada Dzat Allah Yang Maha Kuasa. Tentu saja cara
mengenal Tuhan bagi para ahli kalam akan banyak mempergunakan jalan
penyelidikan akal pikiran, sedangkan para ahli fiqh sering mempergunakan
keterangan-keterangan dari dalil naqly. Dasar-dasar ini akan dikemukakan pula
pada pasal berikut nanti.
[1]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 179-180.
[2]
Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta. Bulan
Bintang. 1983.
[3]
Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta. Yayasan Nurul Islam. 1970.
[4]
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu
Tasawuf. 1981/1982. hal. 3-4.; dan Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf.
hal. 180.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid. hal. 180-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar