Di
kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa
sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (Agama
Nasrani), UnsurYunani, Unsur Hindu/Budha dan Unsur Persia. Kelima unsur ini
secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Unsur Islam.
Secara
umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
itulah kemudian lahir tasawuf. unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara
tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah);[1] perintah agar manusia senantiasa
bertaubat, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah;[2] petunjuk bahwa manusia akan senantiasa
bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada;[3] Tuhan dapat memberikan cahaya kepada
orang yang dikehendakinya;[4] selanjutnya al-Qur’an mengingatkan
manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta
benda;[5] dan senantiasa bersikapsabar dalam
menjalani pendekatan diri kepada Allah Swt.[6]
Sejalan dengan apa yang dibicarakan
al-Qur’an di atas, al-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah.
Berikut ini terdapat beberapa teks hadis yang dapat difahami dengan pendekatan
tasawuf.
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا
فَأَََََحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِيْ
“Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.[7]
Hadis tersebut memberikan petunjuk
bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan.
Tuhan ingin mengenal dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam
alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk
mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali
kepada Tuhan.
Hadis berikut menyatakan:
لاَ يَزَالُ الْعَبْدُ
يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَاِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِىْ يَبْصُرُ بِهِ وَلِسَانَهُ
الَّذِى يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِى يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّذِى
يَمْشِى بِهَا فَبِى يَبْصِرُ وَبِى يَنْطِقُ وَبِى يَعْقِلُ وَبِى يَبْطِشُ وَبِى
يَمْشِى.
“Senantiasalah seorang hamba itu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang
dia pakai untuk mendengar, matanya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya
yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan
kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan Ku-lah dia mendengar,
melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”[8]
Hadis tersebut di atas memberi
petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur
dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-fana’,
yaitu fana-nya makhluk sebagaiyang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang
dicintai.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi
Muhammad Saw juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi.
Nabi Muhammad Saw telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang
datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab
terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala
cara yang menghalalkan.
Selama di Gua Hira yang ia kerjakan
hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup
sederhana, terhkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau
meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah
kepada Allah Swt, sehingga Siti Aisyah, isteri beliau bertanya: “Mengapa Engkau
berbuat begini ya Rasulullah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu.”
Nabi menjawab: “Apakah Engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur
kepada Allah.”
Di kalangan para sahabat pun ada
pula orang yang mengikuti praktek bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh
Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar al-Siddiq misalnya berkata: “Aku
mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah
hati. Demikian pula khalifah Umar bin Khattab pada suatu ketika pernah
berkhutbah di hadapan jama’ah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang
sangat sederhana. Selanjutnya khalifah Usman bin ‘Affan banyak menghabiskan
waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an, baginya al-Qur’an ibarat surat
dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke manapun ia pergi. Demikian pula
sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Dzar al-Giffari, Tamin Darmy, dan
Huzaifah al-yamani.[9]
Selain sumber-sumber tersebut di
atas, situasi masyarakat pada masa itu pun ikut serta mempersubur lahirnya
tasawuf. setelah Islam tersebar ke segala penjuru dan makin kokoh pemerintahan
Islam serta semakin makmurnya masyarakat, maka mulai timbul pola hidup yang
bermewah-mewah dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian timbullah sekelompok
masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zuhud, seperti yang
diperlihatkan oleh Hasan al-Basri. Tokoh ini dengan gigih dan gayanya yang
retorik telah mampu mengembalikan kaum Muslimin kepada garis agama dan
muncullah kehidupan sufistik. Sikap protes ini kemudian mendapat simpatik dari
masyarakat dan timbullah pola hidup tasawuf.
Bersamaan dengan itu pada masa ini
timbul pula aliran-aliran keagamaan, seperti lahirnya aliran Khawarij,
Mu’tazilah dan lain-lain. Aliran keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan
rasio dalam mendukung ide-idenya. Untuk membendung aliran ini, maka timbullah
kelompok yang tidak mau terlibat dalam penggunaan akal untuk membahas soal-soal
tasawuf. Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan
diri untuk beribadah kepada Allah.[10]
Dari informasi tersebut terlihat
bahwa munculnya tasawuf di kalangan umat Islam bersumber pada dorongan ajaran
Islam dan faktor situasi sosial dan sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.
2.
Unsur Luar Islam
Dalam
berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara
akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para
orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam
tasawuf itu disebabkan karena secara histories agama-agama tersebut telah ada
sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk
Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab
terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi
kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak
menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian adanya unsur
luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah akademik bukan
masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat
kritis dan obyektif. Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya
dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal
dari luar Islam itu.[11]
Unsur-unsur luar Islam yang diduga
mempengaruhi tasawuf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Masehi
Orang
Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan
ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa
tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman
Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap
fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya
Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambing kesederhanaan hidup
adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan
Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf ini berasal dari agama
Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari
agama Nasriani.[12]
Unsur-unsur tasawuf yang diduga
mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa
Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada
orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi
kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan
kenyang.” Selanjutnya terlihat pada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta,
bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin
karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan
penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan
dengan Allah.[13]
b.
Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai
pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir
filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berfikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai
perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh
filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah
menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi,
al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian
juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi,
Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.[14]
Apabila diperhatikan memang cara
kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal fikiran.
Tetapi dengan munculnya filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan, bahwa
hakikat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada
hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis:
“Kenallah dirimu dengan dirimu,” diambil oleh para sufi dan di antara sufi
berkata: “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya”. Hal ini
semua mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdat al-Syuhud, dan Wihdat
al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan
filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata
filsafat dalam cara berpikir mereka.[15]
ii.
Unsur Hindu/Budha
Antara
tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan
seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara
cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkarnasi
(perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia
versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat sufiah al-fana’
nampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu.
Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta
Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
Menurut Qamar Kailani
pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran
tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad Saw telah
berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekah, padahal sepanjang sejarah belum ada
kesimpulan seperti itu.[16]
iii.
Unsur Persia
Sebenarnya
antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama yaitu hubungan
dalam bidang politik, pemikiran kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum
ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah
masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada
persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Mazdaq
dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama
Zarathustra.[17]
Dari semua uraian ini dapatlah
disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu
sendiri mengingat yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat
dilihat dari azas-azasnya. Semuanya berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi
pemikiran dia mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu, Persia dan lain
sebagainya, dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan
juga dalam bidang lainnya.
Sumber-sumber yang menggambarkan
bahwa tasawuf Islam seolah-olah berasal bukan dari ajaran Islam, biasanya
berasal dari Barat. Di dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis
Barat kita menjumpai uraian seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka
mengidentikkan ajaran Islam sebagai ajaran non-Islam, yaitu ajaran yang
dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.
Namun perlu dicatat, bahwa mengidentikkan Islam dengan non Islam tidak sepenuhnya
benar. Ajaran Islam sebagai diketahui bersumber pada wahyu al-Qur’an dan Sunnah
al-Rasul. Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Namun
bersamaan dengan itu, al-Qur’an dan al-Sunnah terkadang tampil dalam format
yang “belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan begitu saja dalam
aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan
operasionalisasinya oleh akal pikiran. Dalam hubungan inilah ke dalam ajaran
Islam masuk unsur pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian
bagian dari ajaran Islam ada yang bersifat ajaran normative, yaitu yang
bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan; dan
ada yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal pikiran yang
dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
Dalam pada itu perlu juga dicatat
bahwa pemikiran yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah
itu pun sifatnya jauh berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber pada
al-Qur’an dan al-Sunnah. Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya
melainkan masih terikat pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pemikiran yang
sifatnya tidak demikian tidak dapat diterima sebagai pemikiran Islam. hal ini
berbeda dengan pemikiran yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang
bersifat bebas, liberal dan tidak terikat pada ajaran apa pun.[18]
Jika
jalan pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran tasawuf, maka dapat
dikatakan, bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya dengan ajaran lainnya
dalam Islam, seperti teologi, fiqh, dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf
bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan
pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikiran yang tidak sampai menentang rukun iman
dan rukun Islam, dan seterusnya. Jika dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak
sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu, maka segera diperbaiki, dan
hal ini telah dilakukan oleh para ulama.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf,
atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya
inti ajaran Islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut. Pertama,
bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang
kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan
dosa dan pelanggaran. Allah berfirman:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالَ وَلاَ بَنُوْنَ
اِلاَّ مَنْ اَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ (الشعراء: 88-89)
“Pada hari (itu) tidak bermanfaat harta
dan anak, kecuali mereka yang datang menghadap Allah dengan jiwa yang sehat.”[19]
Untuk
mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut
termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa kebahagiaan
yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya
ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukkan pada Tuhan.
Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebagainya sering membawa
seseorang kepada kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa
saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya
yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia
yang dihasilkan dari ketundukkan dan ketakwaannya kepada Tuhan.
Ketiga,
bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada batas-batas di mana
harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian serba lux,
kendaraan mengkilap dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat
usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya
pencernaan makanan, kurang berfungsinya pancaindera, dan kurangnya selera
terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain
kecuali dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia harus
mempertanggungjawabkan amalnya.
Keempat,
dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler
seperti materialisme (memuja materi), hedonisme (memuja kepuasan nafsu),
vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada
kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain
sebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai
produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan
yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran,
dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap
generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran,
biaya, tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf
dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara
ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan
melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka
tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian integral dari
ajaran Islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang paling depan dalam
menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di
dunia dan akhirat.[20]
Dalam
pasal ini akan dikemukakan beberapa pokok ajaran tasawuf. Sebelumnya kita
perhatikan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits berikut ini :
Allah berfirman dalam surat Al-Fath
ayat 29 yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridlaan-Nya…”
Dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang artinya, “Tuntutlah
apa yang didatangkan Allah kepada anda tentang kampung akhirat, dan janganlah
kamu melupakan nasib anda tentang dunia…”
Dalam surat Al-Baqarah ayat 201 yang
artinya, “Dan diantara kamu ada yang berkata: ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa
neraka.”
Sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Bukanlah
kebaikan kalian yang meninggalkan dunianya untuk akhirat dan juga bukan
kebaikan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya.”
Sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Termasuk
kebaikan Islamnya seseorang apabila menggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.”
Firman Allah Swt dalam surat
al-Dhuha ayat 4 yang artinya, “Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dari
pada kehidupan dunia.”
Dalam surat al-A’la ayat 17 yang
artinya, “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”
Sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Bekerjalah
untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamnya, dan
beribadahlah untuk kehidupan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok.”
Demikianlah beberapa ayat al-Qur’an
yang menunjukkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari pada kehidupan
dunia, namun dalam mengusahakannya hendaknya ada keseimbangan, sehingga setiap
sikap dan tingkah laku untuk keduniaan itu juga tidak lepas dari niat untuk
kehidupan akhirat.
Selanjutnya kita perhatikan sikap
istimewa kaum shufi dalam memberikan makna terhadap institusi-instisusi Islam,
di mana ditinjaunya dari dua segi, aspek dalam dan aspek luar. Tanggapan
perenungannya lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu lebih mengutamakan
rasa (adzwaq) dan renjana (intuisi, mawajid).
Berhubung manusia lebih cenderung
kepada dorongan hawa nafsunya, maka apaila seseorang akan masuk kedalam
tasawuf, perlu terlebih dahulu mengosongkan diri dari sikap ketergantungan
terhadap kelezatan hidup duniawi. Usahanya ialah menjauhkan diri dari
kemaksiyatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa
nafsunya. Bersihkan dahulu diri lahirnya dengan taubat dengan segala
persyaratannya, hatinya dengan ikhlash dan jiwanya dengan muraqabah.
[1]
Lihat Q.S. al-Maidah, [5]: 54.
[2]
Lihat Q.S. Tahrim: 8.
[3]
Lihat Q.S. al-Baqarah, [2]: 110.
[4]
Lihat Q.S. al-Nur, (24): 35.
[5]
Lihat Q.S. al-Hadid dan al-Fatir.
[6]
Lihat Q.S. Ali Imran.
[7]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 182.
[8]
Ibid. hal. 182-183.
[9]
Moh. Gallab. Al-Tasawwuf al-Muqarin. (Kairo: Maktabah al-Nahdah,
t.t.), hal. 29.
[10]
Ibid. hal. 23.
[11]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 185.
[12]
Ibid. hal. 186.
[13]
IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu … hal. 20.
[14]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 186-187.
[15]
Ibid. hal. 187.
[16]
Ibid. hal. 187.
[17]
Ibid. hal. 188.
[18]
Ibid. hal. 188-189.
[19]
Q.S. al-Syu’ara, [26]: 89.
[20]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 189-191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar