Rabu, 07 September 2011

Hubungan Tasawuf dengan Tauhid dan Akhlak


         Setiap manusia harus mengenal Allah, mempercayai-Nya dengan penuh keyakinan didasari dengan firman Allah dan sabda Rasul. Dipertajam dan diperkokoh degan sering dzikir kepada-Nya dan mau bertafakur atas makhluk-Nya. Jadi tidaklah cukup hanya dengan pendapat pikiran atau hanya berupa itikad atau kepercayaan yang sumbernya hanyalah naluri atau akal manusia saja.
            Seorang sufi sebenarnya adalah seorang Ulil Albab, atau seorang cendekiawan muslim, apabila dalam jalan yang ditempuhnya itu berdasarkan kepada dzikir kepada Allah sepanjang masa, tafakur atas kejadian langit dan bumi, juga selalu mempererat persaudaraan di antara orang-orang yang beriman.

            Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 190 dan 191 yang artinya sebagai berikut.

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam (dengan teratur) menjadi tanda (bukti atas adanya Allah dan Maha Besar kekuasaan-Nya) bagi kaum Ulil Albab.”

“Yaitu orang-orang yang ingat kepada Allah di saat sedang berdiri, duduk dan waktu berbaring. Dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi, (lantas berdo’a): ‘Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau menciptakan semua ini dengan percuma, Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari azab neraka.”

Dalam surat al-Ra’du ayat 21 yang artinya.

“Dan orang-orang Ulil Albab (cendekiawan muslim) itu adalah orang-orang yang menghubungkan silaturrahmi sebagaimana diperintahkan Allah agar dilaksanakan. Dan mereka takut akan Tuhannya, juga khawatir atas hisab yang buruk.”
           
Keyakinan yang terdapat dalam hati manusia itu bertingkat-tingkat, yaitu dari ‘ilm al-yakin kepada ‘ain al-yakin, kemudian kepada haqq al-yakin. Al-Qur’an sendiri memberikan gambaran secara urut dan mempunyai skala yang menarik, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin kepada pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan atau pengamatan, yaitu ‘ainul yakin. Kemudian berujung kepada pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaaman sendiri atau intuisi atau biasa dalam agama dinamakan haqqul yakin. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Takatsur ayat 5-7 dan surat al-Haqqah ayat 51.
            Pengetahuan bentuk pertama, ilmu yakin, akan tergantung kepada kebenaran dari dugaan awal pada deduksi, atau hanya kemungkinan seperti pada induksi. Adapun pengetahuan bentuk kedua, ‘ainul yakin, adalah pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman observasi atau eksperimerimentasi, atau pengalaman sejarah yang didasarkan laporan-laporan dan penggambaran dari pengalaman aktual. Adapun pengalaman batin atau pribadi adalah sumber pengetahuan ketiga yakni haqqul yakin. Pengalaman melalui batin memberikan derajat pada tingkat yang paling tinggi. Dan petunjuk Allah mula-mula datang kepada makhluk-Nya dari sumber anfus itu. Oleh karena itu ketiga bentuk ini tidak harus berkontoversi, tetapi harus konsisten secara struktural.
            Mengenai arti ‘yakin’ ini para sufi berbeda pendapat, namun pada prinsipnya sama, yaitu; yakin adalah musyahadah atau menyaksikan kenyataan, hilangnya pertentangan yang terus menerus terhadap sesuatu, keyakinan diketahui dengan hati, bukan hanya terlihat dengan mata.
            Adapun orang yang telah mampu meletakkan ketiga bentuk keyakinan teersebut berarti ia telah mampu meletakkan al-anfus al-kamilah pada tempatnya. Hal ini sangat mempengaruhi peri kehidupan yang wujud disertai penuh ketenangan dan ketaatan menjelaskan makna dan isi syari’at Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak begitu saja mudah terkena godaan pengaruh duniawi yang dapat melalaikan kepada Allah Swt.
            Apabila dengan filsafat saja akan lahir peristiwa-peristiwa kontroversial, diperdebatkan dan dipercekcokkan, baik di dalam diri kita sendiri. Maupun dalam masyarakat, maka dengan Agama Islam, filsafat akan menampilkan konsistensi, kemantapan dalam bertindak, dan keutuhan antara iman, akal dan rasa, demikian pula konsistensi antara aspek atau domain/bidang: kognitif, afektif dan psikomotorik; juga antara cipta, rasa dan karsa. Konsistensi antara iman, ilmu dan amal. Jadi konsistensi antara otak, hati dan otot itu satu sama lainnya hendaknya tidak kontroversial. Ke arah itulah seharusnya langkah membentuk pribadi muslim yang paripurna dan harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, juga pendapat bersama para ulama, sehingga keyakinannya tidak mudah terpengaruh oleh akibat negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi modern dan budaya lainnya. Terutama dalam era globalisasi yang melanda dunia ini dan modernisasi yang sedang kita laksanakan yang apabila tidak ada keseimbangan antara pembangunan bidang fisik materil dan bidang mental spirituil, dikhawatirkan bergesernya nilai-nilai kebudayaan dipengaruhi kebudayaan asing yang bertentangan dengan agama.
            Iman merupakan landasan pokok daripada akhlak dan tasawuf. Dengan iman inilah setiap manusia mempunyai kekuatan moral sebagai pendorong untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi keburukan. Apabila iman seseorang lemah, maka lemahlah akhlaknya. Oleh karena itu seringkali kita temukan  dalam al-Qur’an seruan Allah Swt kepada orang-orang yang beriman untuk beramal shalih, atau yang beramal shalih itu hendaknya didasari oleh iman yang baik dan benar.
            Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang artinya sebagai berikut.

“Bukanlah kebaikan itu mengarahkan mukamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah keimanan kepada Allah, hari kiamat, para Malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang disukai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang yang minta-minta, memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji yang sudah dibuat, sabar waktu mengalami kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.”
           
            Selanjutnya perhatikan surat-surat al-Hujurat, 11-13; dan surat al-Nur ayat 27.
            Dalam hubungannya dengan tasawuf, tauhid itu merupakan pangkal tolak berangkat memasuki tasawuf dan kemali kepada Allah yang Maha Esa yang menjadi kerinduan seorang shufi dengan cara meningkatkan mahabbah kepada-Nya. Peningkatan ini misalnya dengan cara seringnya mengucapkan kalimat tauhid, senantiasa dzikir, istighfar, tahmid, tasbih, takbir, mengagungkan Allah dengan pengakuan bahwa diri adalah makhluk yang tidak berdaya, dan selalu berada dalam keadaan lemah.
            Menurut kaum shufi kedudukan akal itu lemah, hanya sebagai alat untuk beribadah, bukan untuk meneliti tentang ketuhanan, memang akal itu biasa mampu mengubah keadaan alam, namun apabila akan mempergunakannya untuk meneliti pencipta Alam tersebut maka akal itu akan hancur, oleh karena itu untuk mengenal Allah dan mahabbah kepada-Nya hendaknya dengan iman dan tauhid.
            Al-Junaid berpendapat bahwa ada dua cara untuk mengenal Allah yaitu dengan ma’rifat ta’aruf dan ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’aruf adalah bahwa Allah mengenal diri-Nya dan orang akan mengetahui tentang sesuatu karena diri-Nya. Adapun ma’rifat ta’rif adalah bahwa Allah mengenalkan dirinya melalui pengaruh-pengaruh kekuasaan-Nya baik dalam alam semesta, maupun dalam diri manusia sendiri. Tentu saja cara ini harus ditempuh melalui tharikat mu’tabarah.
            Semua tharikat yang ditempuh oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya didasari tauhid, bila tidak, maka tharikat itu akan menyimpang dari jalan yang lurus.
            Selanjutnya apabila tasawuf ini dihubungkan dengan akhlak, maka pengaruh tasawuf yang diharapkan adalah agar orang dapat menjadi ikhlas dalam amal dan berjuang, semata-mata karena Allah, tidak karena maksud yang lain. Sedangkan hal-hal yang harus diamalkan itu dijelaskan dalam ilmu akhlak, termasuk hal-hal kemasyarakatan, juga jalan yang harus ditempunya. Jelaslah bahwa akhlak adalah permulaan dari tasawuf dan tasawuf adalah ujung dari akhlak.
            Kaum shufi memandang ajaran Islam dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek bathiniyah (spiritual), yang disebut juga sebagai aspek dalam, dan aspek luar. Aspek dalam inilah yang merupakan pendalaman dan pengalaman yang paling utama dengan tidak mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa jadi tanggapan perenungannya lebih mengutamakan rasa dan  renjana (rindu, cinta kasih, rasa hati yang kuat), lebih mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.
            Untuk merehabilisir sikap mental yang tidak baik, menurut orang shufi tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memsuki kehidupan shufi, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat.
Sistem pembinaan akhlaknya disusun sebagai berikut.
-          Takhally, langkah membersihkan diri, misalnya dengan taubat, hati dengan ikhlash dan jiwa dengan murasabah.
-          Tahally, langkah menghiasi diri dengan takwa, hati dengan sidiq, dan jiwa dengan musyahadah.
-          Tahally, langkah memantapkan, memperdalam, memelihara diri dengan istiqamah, hati dengan tuma’ninah, dan jiwa dengan ma’rifat.

Demikianlah hubungan tasawuf dengan akhlak, yang apabila kita kaji selanjutnya, maka dengan takhally dlam rangkaian sistem pendidikan mental itu, orang shufi mengarahkan peluru pertamanya ke arah penguasaan nafsu duniawi, dan segala aspek serta ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya dengan melalui tharikat shufi, kemudian dengan tahally seorang shufi menghiasi diri, mengisi kalbu dengan dibiasakannya dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain dengan siddiq, penuih harap tetapi tetap ada khawatir. Selanjutnya dengan tajally, seorang shufi memperdalam rasa ketuhanannya antara lain dengan munajat, dzikir maut, istiqamah, tuma’ninah dan ma’rifat.

Tidak ada komentar: