Setiap
manusia harus mengenal Allah, mempercayai-Nya dengan penuh keyakinan didasari
dengan firman Allah dan sabda Rasul. Dipertajam dan diperkokoh degan sering
dzikir kepada-Nya dan mau bertafakur atas makhluk-Nya. Jadi tidaklah cukup
hanya dengan pendapat pikiran atau hanya berupa itikad atau kepercayaan yang
sumbernya hanyalah naluri atau akal manusia saja.
Seorang sufi sebenarnya adalah
seorang Ulil Albab, atau seorang cendekiawan muslim, apabila dalam jalan yang
ditempuhnya itu berdasarkan kepada dzikir kepada Allah sepanjang masa, tafakur
atas kejadian langit dan bumi, juga selalu mempererat persaudaraan di antara
orang-orang yang beriman.
Firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 190 dan 191 yang artinya sebagai berikut.
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan
bumi dan silih bergantinya siang dan malam (dengan teratur) menjadi tanda
(bukti atas adanya Allah dan Maha Besar kekuasaan-Nya) bagi kaum Ulil Albab.”
“Yaitu orang-orang yang ingat kepada
Allah di saat sedang berdiri, duduk dan waktu berbaring. Dan mereka memikirkan
kejadian langit dan bumi, (lantas berdo’a): ‘Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau
menciptakan semua ini dengan percuma, Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami
dari azab neraka.”
Dalam
surat al-Ra’du ayat 21 yang artinya.
“Dan orang-orang Ulil Albab
(cendekiawan muslim) itu adalah orang-orang yang menghubungkan silaturrahmi
sebagaimana diperintahkan Allah agar dilaksanakan. Dan mereka takut akan
Tuhannya, juga khawatir atas hisab yang buruk.”
Keyakinan
yang terdapat dalam hati manusia itu bertingkat-tingkat, yaitu dari ‘ilm
al-yakin kepada ‘ain al-yakin, kemudian kepada haqq al-yakin. Al-Qur’an sendiri
memberikan gambaran secara urut dan mempunyai skala yang menarik, yaitu
pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin kepada pengetahuan
yang diperoleh dari penglihatan atau pengamatan, yaitu ‘ainul yakin. Kemudian
berujung kepada pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaaman sendiri atau
intuisi atau biasa dalam agama dinamakan haqqul yakin. Perhatikan firman Allah
dalam surat al-Takatsur ayat 5-7 dan surat al-Haqqah ayat 51.
Pengetahuan bentuk pertama, ilmu
yakin, akan tergantung kepada kebenaran dari dugaan awal pada deduksi, atau
hanya kemungkinan seperti pada induksi. Adapun pengetahuan bentuk kedua, ‘ainul
yakin, adalah pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman observasi atau
eksperimerimentasi, atau pengalaman sejarah yang didasarkan laporan-laporan dan
penggambaran dari pengalaman aktual. Adapun pengalaman batin atau pribadi
adalah sumber pengetahuan ketiga yakni haqqul yakin. Pengalaman melalui batin
memberikan derajat pada tingkat yang paling tinggi. Dan petunjuk Allah
mula-mula datang kepada makhluk-Nya dari sumber anfus itu. Oleh karena itu
ketiga bentuk ini tidak harus berkontoversi, tetapi harus konsisten secara
struktural.
Mengenai arti ‘yakin’ ini para sufi
berbeda pendapat, namun pada prinsipnya sama, yaitu; yakin adalah musyahadah
atau menyaksikan kenyataan, hilangnya pertentangan yang terus menerus terhadap
sesuatu, keyakinan diketahui dengan hati, bukan hanya terlihat dengan mata.
Adapun orang yang telah mampu
meletakkan ketiga bentuk keyakinan teersebut berarti ia telah mampu meletakkan
al-anfus al-kamilah pada tempatnya. Hal ini sangat mempengaruhi peri kehidupan
yang wujud disertai penuh ketenangan dan ketaatan menjelaskan makna dan isi
syari’at Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak begitu saja
mudah terkena godaan pengaruh duniawi yang dapat melalaikan kepada Allah Swt.
Apabila dengan filsafat saja akan
lahir peristiwa-peristiwa kontroversial, diperdebatkan dan dipercekcokkan, baik
di dalam diri kita sendiri. Maupun dalam masyarakat, maka dengan Agama Islam,
filsafat akan menampilkan konsistensi, kemantapan dalam bertindak, dan keutuhan
antara iman, akal dan rasa, demikian pula konsistensi antara aspek atau domain/bidang:
kognitif, afektif dan psikomotorik; juga antara cipta, rasa dan karsa.
Konsistensi antara iman, ilmu dan amal. Jadi konsistensi antara otak, hati dan
otot itu satu sama lainnya hendaknya tidak kontroversial. Ke arah itulah
seharusnya langkah membentuk pribadi muslim yang paripurna dan harus tetap
bersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, juga pendapat bersama para ulama,
sehingga keyakinannya tidak mudah terpengaruh oleh akibat negatif dari kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi modern dan budaya lainnya. Terutama dalam era
globalisasi yang melanda dunia ini dan modernisasi yang sedang kita laksanakan
yang apabila tidak ada keseimbangan antara pembangunan bidang fisik materil dan
bidang mental spirituil, dikhawatirkan bergesernya nilai-nilai kebudayaan
dipengaruhi kebudayaan asing yang bertentangan dengan agama.
Iman merupakan landasan pokok
daripada akhlak dan tasawuf. Dengan iman inilah setiap manusia mempunyai
kekuatan moral sebagai pendorong untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi
keburukan. Apabila iman seseorang lemah, maka lemahlah akhlaknya. Oleh karena
itu seringkali kita temukan dalam
al-Qur’an seruan Allah Swt kepada orang-orang yang beriman untuk beramal
shalih, atau yang beramal shalih itu hendaknya didasari oleh iman yang baik dan
benar.
Allah Swt berfirman dalam surat
al-Baqarah ayat 177 yang artinya sebagai berikut.
“Bukanlah kebaikan itu mengarahkan
mukamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah keimanan kepada
Allah, hari kiamat, para Malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta
yang disukai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,
orang yang minta-minta, memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayar
zakat, menepati janji yang sudah dibuat, sabar waktu mengalami kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan.”
Selanjutnya perhatikan surat-surat
al-Hujurat, 11-13; dan surat al-Nur ayat 27.
Dalam hubungannya dengan tasawuf,
tauhid itu merupakan pangkal tolak berangkat memasuki tasawuf dan kemali kepada
Allah yang Maha Esa yang menjadi kerinduan seorang shufi dengan cara
meningkatkan mahabbah kepada-Nya. Peningkatan ini misalnya dengan cara
seringnya mengucapkan kalimat tauhid, senantiasa dzikir, istighfar, tahmid,
tasbih, takbir, mengagungkan Allah dengan pengakuan bahwa diri adalah makhluk
yang tidak berdaya, dan selalu berada dalam keadaan lemah.
Menurut kaum shufi kedudukan akal
itu lemah, hanya sebagai alat untuk beribadah, bukan untuk meneliti tentang
ketuhanan, memang akal itu biasa mampu mengubah keadaan alam, namun apabila
akan mempergunakannya untuk meneliti pencipta Alam tersebut maka akal itu akan
hancur, oleh karena itu untuk mengenal Allah dan mahabbah kepada-Nya hendaknya
dengan iman dan tauhid.
Al-Junaid berpendapat bahwa ada dua
cara untuk mengenal Allah yaitu dengan ma’rifat ta’aruf dan ma’rifat ta’rif.
Ma’rifat ta’aruf adalah bahwa Allah mengenal diri-Nya dan orang akan mengetahui
tentang sesuatu karena diri-Nya. Adapun ma’rifat ta’rif adalah bahwa Allah
mengenalkan dirinya melalui pengaruh-pengaruh kekuasaan-Nya baik dalam alam
semesta, maupun dalam diri manusia sendiri. Tentu saja cara ini harus ditempuh
melalui tharikat mu’tabarah.
Semua tharikat yang ditempuh oleh
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya didasari tauhid, bila
tidak, maka tharikat itu akan menyimpang dari jalan yang lurus.
Selanjutnya apabila tasawuf ini
dihubungkan dengan akhlak, maka pengaruh tasawuf yang diharapkan adalah agar
orang dapat menjadi ikhlas dalam amal dan berjuang, semata-mata karena Allah,
tidak karena maksud yang lain. Sedangkan hal-hal yang harus diamalkan itu
dijelaskan dalam ilmu akhlak, termasuk hal-hal kemasyarakatan, juga jalan yang
harus ditempunya. Jelaslah bahwa akhlak adalah permulaan dari tasawuf dan
tasawuf adalah ujung dari akhlak.
Kaum shufi memandang ajaran Islam
dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek bathiniyah
(spiritual), yang disebut juga sebagai aspek dalam, dan aspek luar. Aspek dalam
inilah yang merupakan pendalaman dan pengalaman yang paling utama dengan tidak
mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa jadi
tanggapan perenungannya lebih mengutamakan rasa dan renjana (rindu, cinta kasih, rasa hati yang
kuat), lebih mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.
Untuk merehabilisir sikap mental
yang tidak baik, menurut orang shufi tidak akan berhasil baik apabila terapinya
hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memsuki
kehidupan shufi, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang cukup berat.
Sistem pembinaan akhlaknya disusun sebagai berikut.
-
Takhally, langkah membersihkan diri, misalnya dengan taubat,
hati dengan ikhlash dan jiwa dengan murasabah.
-
Tahally, langkah menghiasi diri dengan takwa, hati dengan
sidiq, dan jiwa dengan musyahadah.
-
Tahally, langkah memantapkan, memperdalam, memelihara diri
dengan istiqamah, hati dengan tuma’ninah, dan jiwa dengan ma’rifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar