Selasa, 22 Maret 2011

Jadilah Suami yang Pencemburu

Laki-laki dan perempuan memang mempunyai karakter yang berbeda jelas dalam masalah cemburu. Secara naluri, perempuan umumnya justru merasa bangga dicemburui oleh pasangannya. Ketika sang suami merasa marah dan cemburu karena ada laki-laki yang mendekati istrinya, umumnya sang istri justru malah merasa senang. Lha kok?
Fenomena kecemburuan
Ingat, seperti yang harus diwaspadai. Perasaan itu bukan berarti untuk dibiarkan begitu saja. Hal itu normal secara naluri, tetapi tak wajar dalam hal karakter. Normal sebagai naluri karena manusia selalu ingin menang, senang dipuji, bahkan juga cenderung senang berbuat kelalaian, kesalahan, dan lainnya.
Tak wajar dalam hal karakter karena kenormalan itu tak boleh dibiarkan menjadi karakter dan kebiasaan. Kecemburuan harus dipantau dan diawasi perkembangannya, jangan sampai melebihi batas supaya tidak menjadi masalah dikemudian hari.
Seorang perempuan, tak boleh membiarkan dirinya terlena dengan kesenangannya melihat sang suami cemburu. Karena bisa menjadi awal dari sebuah perselingkuhan. Naudzubillah min dzalik
Cemburu yang sehat bahkan sangat dianjurkan yaitu cemburu yang didasarkan pada akal sehat, cinta kasih, dan tetap pada jalur kepercayaan. Pada hakikatnya, cemburu adalah perasaan mulia dan merupakan bagian dari lika-liku percintaan.
Cemburu adalah sifat mulia yang melekat pada setiap jiwa kaum adam. Perasaan itu tak boleh hilang dari dalam diri laki-laki, dalam situasi dan kondisi apapun. Bahkan ketika ia tidak mencintai lagi istrinya, dikarenakan banyak alasan. Dalam kondisi seperti itu,  selama sang perempuan masih tetap berstatus istri, sang suami wajib cemburu karena istrinya masih dalam tanggungjawabnya.
Contoh rasa cemburu yang bisa dikatakan wajar adalah ketika sang suami merasa risih atau enggan menyebut nama istrinya di hadapan orang lain. Sebagian orang senang menggantinya dengan istilah orang rumah atau istilah lain yang sejenis. Dalam hal ini, bukan bermaksud untuk merendahkan sang istri, tapi agar sang istri tidak disebut namanya. Bahkan tidak disebut dengan istri, kekasih, pasangan, dan sejenisnya yang mengandung makna mesra, yang itu hanya baik bila digunakan antara suami istri saja.1
Ada jenis suami yang mempunyai kecemburuan yang berlebihan, terlalu mudah untuk curiga dan berburuk sangka kepada sang istri. Namun ada pula jenis suami yang lemah rasa kecemburuannya. Kecemburuannya bahkan bisa dikatakan sudah mati, sehingga ketika dirinya melihat istrinya berbuat sehina apapun tidaklah menjadi masalah di matanya.
Suami jenis pertama memiliki potensi yang berbahaya, walaupun berbeda dengan bahaya yang dipendam oleh sang istri ketika mengalami kecemburuan serupa. Seorang laki-laki bisa biasanya bisa menekan rasa cemburu tersebut hingga ke lubuk hatinya, namun suatu saat rasa cemburu tersebut bisa memberontak.
Adapun jenis laki-laki yang kedua, lazim kita kenal dengan istilah dayyuts, sosok manusia yang jauh dari surga. Secara etimologi, dayyuts berasal dari kata diyatsah yang artinya “hilangnya rasa cemburu”. Naudzubillah min dzalik.
Banyak ulama yang menyatakan bahwa kecemburuan seorang suami merupakan suatu hak seorang istri. Wajar saja jika merasa marah dan sewot apabila sang suami tidak pernah cemburu sama sekali terhadap istrinya. Karena jika hilang rasa cemburu, bisa jadi menunjukkan bahwa rasa cinta atau kepedulian sang suami telah hilang dari dalam dirinya.
Budaya barat, sedikit demi sedikit mengajarkan kepada kita untuk menghilangkan rasa cemburu. Kalau tidak percaya lihatlah dan amatilah, seorang suami di kalangan mereka membiarkan istri mereka berjabat tangan dengan laki-laki lain, bahkan sang suami pun mengijinkan istrinya cipika-cipiki dengan laki-laki lain.
Imam Bukhari r.a. menyusun suatu bab dalam shahih beliau dalam bab tersendiri dengan judul: “Bab Ghirah” yang artinya “Bab Cemburu”. Al Warrad meriwayatkan dari Mughirah, bahwa Sa’ad bi Ubadah menceritakan, “seandainya aku melihat istriku bersama dengan laki-laki lain, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang yang tajam.” 2
Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”3
Ibnu Hajar r.a. menjelaskan dalam bab ini, ”pernyataannya (Imam Bukhari) Bab al Ghirah, menurut Qadi Iyyadh dan yang lainnya diambil dari kata “Taghyaru al Qalb” (perubahan hati) dan luapan amarah akibat keikutsertaan orang lain dalam perkara yang khusus untuknya, terutama yang terjadi antara pasangan suami-istri.”4
Dalam Islam, masalah kecemburuan sudah terkonsep dengan jelas. Seorang suami tak boleh berlebihan dalam rasa cemburu tanpa alasan yang diperbolehkan. Kecemburuan yang baik adalah kecemburuan yang berlebihan dan tanpa alasan. Sebaliknya, cemburu yang berlebihan merupakan hal yang tidak disukai dan dibenci oleh Allah. Sikap ini dilarang keras oleh Baginda Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sabda beliau: “ada kecemburuan yang tidak disukai oleh Allah, dan ada kecemburuan yang dimurkai oleh Allah. Kecemburuan yang disukai oleh Allah adalah cemburu terhadap apa yang pantas untuk dicemburui. Sedangkan kecemburuan yang dimurkai oleh Allah adalah cemburu terhadap apa yang tidak pantas untu dicurigai.”5
Saat kaum hawa ingin dicemburui....
Di luar soal penjabaran makna cemburu, kita tak menampik dan menolak bahwa pada batas yang wajar, tak salah jika seorang perempuan secara diam-diam “memohon” untuk dicemburui. Namun, banyak suami yang tidak menyadari hal tersebut. Terkadang, walaupun seorang suami merasa cemburu terhadap istrinya, tak sedikit dari mereka yang lebih memilih untuk memendam rasa cemburu tersebut, sehingga sang istri tidak melihat kecemburuan dari suaminya.
Mungkin sikap ini bisa dibilang benar, atau malah mungkin dianggap mulia, dan mungkin malah dipandang sebagai bentuk dari kesabaran dan ketabahan seorang suami. Namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Rasa cemburu itu perlu sesekali dimunculkan walaupun dengan isyarat yang sederhana.
Dalam makna yang sama, Rasulullah pun telah memberikan contoh kepada kita tentang kecemburuan beliau. Dalam sebuah peristiwa di masa hidup Beliau yang kita kenal dengan sebuta haditsul ifk (kabar bohong) yang terkenal itu. Kita tahu melalui sejarah, kabar itu hanyalah kebohongan semata. Tapi yang perlu kita ambil pelajaran, selain dari ketabahan Sayidah Aisyah r.a. dan kebenaran berita langit, adalah sikap dari Rasulullah SAW.
Saat belum mampu membuktikan kebenaran dari berita tersebut – namun tak mampu menolaknya sama sekali – beliau lebih memilih untuk diam. Tetapi beliau sempat menyampaikan kata-kata “pedas” dalam makna yang wajar. Itu merupakan bukti, bahwa Baginda Rasul pernah terpancing rasa cemburunya terhadap Sayidah Aisyah r.a.
Meski berita tersebut belum jelas dan pada akhirnya terbukti bahwa beritu itu keliru dan akhirnya terbukti. Namun itu menunjukkan bahwa Beliau Baginda Rasul pun memiliki rasa cemburu seperti kita pada umumnya. Dan kecemburuan itu beliau perlihatkan dalam sikap dan kata-kata beliau dalam batas yang wajar.
Meskipun, Sayidah Aisyah merasa terpukul  atas peristiwa tersebut, namun bagaimanapun Beliau merasa “bangga” dalam lubuk hatinya karena terbukti Baginda Rasul benar-benar mencintainya.
Sedikit ataupun banyak perasaan tersebut, akan membuat kita menjadi lebih  tabah. Ini (rasa cemburu) merupakan sebuah bagian dari hidup kita dan tak dapat kita hindari. Wahai kaum muslimah, bagaimana dengan Anda?
Catatan kaki:
1.       1.   Ar Rajul wa Mar’ah fi al Islam. Dr. Muhamad Wasfhi. Hlm 208.
2.     2.  “Ghair mushfih”, berasal dari kata shafh as saif, yakni ketajamannya dan ketumpulannya. Maksudnya, ia menebas dengan ketajaman pedang, bukan dengan ketumpulannya (bagian punggung pedang). Orang yang memukul denga ketajamannya bermaksud untuk membunuh, sedangkan orang yang memukul dengan ketumpulannya bermaksud untuk mendidik. Lihat Fath al Bari, 9/232
3.     3.   Shahih Bukhari, No. 4846 ; shahih Muslim, No. 1499
4.     4.   Fath al Bari, 9, 231
5.    5.   Diriwayatkan oleh an Nasa’i dalam Sunan al Kubra, No. 2339 dan dalam al Mujtaba, No. 2558; Abu Daud, No. 2659; Ibnu Hibban dalam shahihnya, No. 295 dan 4762; Ahmad (5/445-446). Semuanya bersumber pada hadits dari Jabir bin Utaik, al Bani menshahihkan dalam Shahih al Jami’, No. 5905.

Tidak ada komentar: