Merek adalah bentuk terbaru budaya simbol (symbolic culture) yang sudah ada sejak dahulu kala. Suatu simbol dalam perjalanannya akan membentuk opini publik baik positif maupun negatif. Contoh, tanda/simbol KKK (Ku Klux Klan) di Amerika , selalu diasosiasikan sebagai simbol rasis. Karena sejak awal digunakannya tiga huruf ini oleh jendral veteran perang saudara (Nathan Bedford Forrest), ditujukan untuk menamakan suatu kelompok antikulit hitam yang sering melakukan teror atau serangan berbau rasis kepada kaum kulit hitam. Dalam benak masyarakat kulit hitam Amerika, simbol ”KKK” tidak sekedar deretan tiga huruf “K” tanpa makna; tapi bagi mereka tiga huruf itu artinya: TEROR!
Dalam dunia bisnis pembentukan opini ini sangat penting terutama dalam situasi persaingan yang semakin ketat seperti sekarang ini. Upaya berbagai perusahaan dengan berbagai cara mempopulerkan mereknya tidak lain bertujuan agar opini kosumen ”berpihak” kepadanya. Setelah melekat dalam benak konsumen, suatu merek akan dianggap sebagai aset tak berwujud bernilai ekonomi tinggi. Merekyang sudah sangat terkenal oleh empunya diklaim nilainya mencapai miliaran dollar Amerika.
Atas dasar nilai ekonominya tersebut maka hak atas merek (termasuk juga hak cipta) dikategorikan sebagai obyek kekayaan intelektual yang dikenal dengan nama ”hak kekayaan inteletual” (intellectual property rights). Atas dasar ini pula, merek perlu didaftarkan mendapatkan perlindungan dan pengakuan hak bagi si pemilik/ perusahaan.
Merek tidak lebih dari personifikasi atas suatu barang atau jasa. Merek berguna untuk membedakan barang atau jasa yang dihasilkan suatu perusahaan dengan perusaahaan lainnya. Jadi, merek adalah suatu simbol atau tanda yang menunjukan siapa yang menghasilkan barang atau jasa tersebut dan seringkali mencerminkan kualitas barang / jasa .
Hak kekayaan intelektual yang erat kaitannya dengan merek (karena dalam beberapa hal juga besifat distinktif) adalah hak cipta. Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Perlindungan hak cipta bersifat otomatis dan timbul setelah suatu ciptaan diwujudkandalam bentuk yang nyata (tangible form). Pendaftaran hak cipta bersifat sukarela/tidak wajib kerena pendaftaran tidak menimbulkan hak cipta.
Hak cipta memberikan perlindungan terhadap karyakarya cipta di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Ciptaan yang dilindungi antara lain buku, program komputer, pamflet, lagu atau musik, rekaman suara, lukisan, gambar (logo), foto, seni ukir maupun seni kaligrafi. Namundemikian, merek dalam beberapa hal bersinggungan dengan hak cipta. Hal ini terjadi karena untuk jenis ciptaan seperti simbol, logo, foto atau gambar bisa didaftarkan sebagai hak cipta dan juga bisa sekaligus sebagai merek.
MEREK VS. HAK CIPTA
Pemilikan atas merek terutama yang berbentuk logo, gambar atau sejenisnya,berpotensi bermasalah di kemudian hari apabila si pemilik merek tidak mendaftarkan logo tersebut untuk mendapatkan hak atas merek dan atas hak cipta sekaligus.Bisa saja terjadi logo atau lukisan tertentu didaftarkan sebagai merek oleh seseorang sementaraada juga orang lain mendaftarkannya sebagai hak cipta.
Tumpang tindih klaim atas logo pernah terjadi dalam perkara merek di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang melibatkan suatu yayasan perguruan tinggi swasta terkenal melawan rektor universitas tersebut. Pihak yayasan mengklaim bahwa logo perguruan tinggi tersebut telah didaftarkan sebagai merek oleh pihak yayasan dengan mendapatkan bukti sertifikat pendaftaran yang dikeluarkan Ditjen HKI. Sedangkan rektor mengklaim pihak Universitas telah mendapatkan Sertifikat Pendaftaran Ciptaan ( untuk hak cipta) juga dari Ditjen HKI atas logo yang sama.
Potensi dualisme pemilikan atas logo seperti dalam perkara tersebut di atas, akan selalu terjadi karena mekanisme pendaftaran kedua hak ini cukup berbeda.Dalam proses pendaftaran hak cipta tidak mengenal pemeriksaan substantif sehingga sangatlah mudah suatu ciptaan mendapatkan sertifikat. Pendaftaran hak ciptajuga dipermudah karena dalam konsep hukum hak cipta, pendaftaran tidak menimbulkan hak. Hal ini berbeda dengan merek dimana pihak yang diakui sebagai pemegang hak adalah pihak yang pertama kali mendaftar (first to file principle).
Disamping itu, merek yang bisa didaftar adalah yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Tidak semua pemohonan atas merek dapat didaftarkan, misalnya karena permohonan yang diajukan pemohon beritikad tidak baik. Pemohon dianggap beritikad tidak baik apabila pemohon merek tersebut tidak jujur, karena ada niat tersembunyi untuk meniru atau membonceng ketenaran merek orang lain.
Sebaliknya, persyaratan mendaftarkan ciptaan tidak serumit pendaftaran merek sehingga lebih gampang mendapatkannya. Ini adalah suatu dilema yang cukup sulit diatasi, terutama bila terjadi dualismekepemilikan. Dalam prakteknya selama ini, para pelaku usaha cenderung menekankan pada pendaftaran merek dan mengabaikan aspek hak cipta atas suatu merek yang hendak didaftar. Atas nama penghematan,pelaku usaha/perusahaan, seringkali mengabaikan pendaftaran hak cipta. Padahal biaya pendaftaan hak cipta tidak mahal. Tentu ini suatu penghematan berisiko tinggi, apabila dikaitkan dengan potensidualisme kepemilikan merek yang hendak didaftarkan seperti contoh kasus yang sedang terjadi pada yayasan dan rektor universitas tadi.
Untuk mengantisipasi hal seperti di atas, sudah seharusnya suatu logo, gambar, foto atau karya seni lainnya yang hendak digunakan sebagai merek, selain diajukan pendaftrannya untuk mendapatkan hak atas merek juga didaftarkan pula sebagai hak Cipta. Karena kalau sudah terjadi sengketa, akan selalu sulit diselesaikan dan merugikan para pihak yang bersengketa terutama sipemilik/ penemu merek maupun ciptaannya yang sudah melekat di hati konsumen dan telah merupakan kekayaan bernilaitinggi.
Sumber : http://jpplawyer.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar