Oleh: Hendro
Tri Utomo, Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi, Sistem Informasi Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Semut di seberang lautan tampak
jelas, gajah di pelupuk mata kasat mata. Mungkin, peribahasa inilah yang paling
tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Isu perseteruan antara
Indonesia dan Malaysia yang sedang hangat, seolah memacu semangat
“nasionalisme” Indonesia untuk mempertahankan aset Indonesia dari intervensi
negara tetangga kita ini. “Ganyang, ganyang, ganyang” kata-kata inilah yang
sering diteriakkan orang-orang yang mengaku “cinta” Indonesia. Tidak ada yang
salah dengan fenomena ini. Setiap orang yang haknya direbut oleh orang lain
secara paksa atau tanpa izin pasti akan marah. Suatu hal yang wajar.
Selamat
datang di “heaven of pirates”.
Laporan
tahunan ke-7 2009 oleh BSA (Business Software Alliance) yang dirilis Mei 2010,
mengungkapkan bahwa Indonesia masih menjadi 15 besar negara dengan tingkat
pembajakan software tertinggi di dunia. Dalam
laporan tersebut, Indonesia bertengger di peringkat ke-12 dengan persentase
pembajakan 86%. Total kerugian yang ditimbulkan mencapai US$ 886 juta atau
setara Rp 8 triliun.
Tabel
1. 15 Negara dengan tingkat pembajakan tertinggi dan terendah 2009 (BSA-2010)
Di
mata internasional, Indonesia dikenal sebagai negara pembajakan (piracy state) atau surga
para pembajak (heaven of
pirates). Setelah membajak perangkat lunak (software), buku, barang
elektronik dan pakaian dianggap sebagai suatu hal yang lumrah, pembajakan juga
melakukan “ekspansi” di bidang makanan, farmasi, dan bidang-bidang lainnya
Akibatnya adalah semakin memburuknya citra Indonesia di mata internasional.
Atas “prestasi”-nya tersebut, negara kita sukses mengantongi gelar Priority
Watch List (PWL)
oleh United States Trade Representative (USTR)”sejak tahun 2001. Gelar
tersebut merupakan predikat buruk bagi negara-negara yang wajib untuk
“diwaspadai” dalam industri perdagangan. Tahun 2008, Indonesia sempat berhasil
menanggalkan gelar yang memalukan ini. Namun, tahun 2009, Indonesia kembali
mengantonginya karena ternyata pelanggaran HAKI kembali marak, bahkan semakin
parah.
Fakta
di lapangan sendiri tidak jauh berbeda dengan data yang ada, bahkan jauh lebih
parah. Jika diteliti lebih lanjut, mungkin tingkat pembajakan di Indonesia
tidaklah 86%, namun bisa saja 90% atau mungkin 99%. Lihat saja, hampir segala
jenis produk dapat kita temukan versi bajakannya di Indonesia. Mulai dari Software,
CD, DVD, Film / musik, handphone, serta beragam perangkat elektronik lainnya
seperti TV, VCD/DVD player pun juga ada. Beberapa produk memang bukan murni
hasil produksi Indonesia, tetapi distribusi barang bajakan tersebut di
Indonesia dapat dikatakan sebagai yang terbesar di dunia.
Pembajakan
dan “efek domino”-nya.
Dampak pembajakan sangat mengerikan.
Citra buruk karena pembajakan mengancam eksistensi industri dalam negeri.
Bagaimana industri lokal dapat bersaing di dunia internasional, ketika akses
ekspor justru terancam ditutup oleh negara-negara lain? Hal ini diperparah
dengan beredar luasnya produk dengan merek-merek asing bajakan di pasar lokal.
Akibatnya industri lokal pun banyak yang berguguran. Pengangguran meningkat,
kemiskinan pun tidak terhindarkan. Menurut badan pusat statistik (BPS),
pengangguran di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9.258.964. Sedangkan jumlah
penduduk miskin mencapai 11.910.500 jiwa.
Harapan
bangsa
Lalu,
seandainya suatu hari kita mampu menekan dan mendegradasi pembajakan di negeri
ini, apakah nasib bangsa Indonesia akan berubah? Jawabnya adalah “ya”. IDC (International Data Corporation)
dalam risetnya menemukan bahwa penurunan pembajakan software PC dapat
menghasilkan manfaat ekonomi signifikan. Dimana apabila pembajakan software
dapat diturunkan sebesar 10% saja dalam empat tahun maka hal tersebut akan
menambah pendapatan bagi pemerintah sebesar $24 miliar tanpa harus meningkatkan
pajak. Pada faktanya, IDC memperkirakan bahwa tiap satu dollar nilai software
legal yang dijual di suatu negara, maka akan mencul penghasilan tambahan
sebesar $3‐4 bagi
sektor layanan lokal dan perusahaan distributor software dalam negeri. Hal ini
juga mampu menciptakan sekitar peluang 3000 lapangan kerja baru, dan
meningkatkan penghasilan industri lokal lebih dari 1.5 juta dolar AS.
Selain dari sisi ekonomi,
apabila pembajakan dapat diminimalkan, dari sisi perkembangan industri dalam
negeri pun bisa dipastikan akan mengalami perubahan yang menguntungkan.
Industri perfilman, industri manufaktur, industri musik, dan industri-industri
yang lain akan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, tanpa
harus takut terkena imbas dari pembajakan. Jika hal ini dapat diwujudkan,
niscaya produk dan karyakarya Indonesia pasti dapat bersaing di kancah
Internasional.
Jurus
Menggerus Virus “Bajak Sana Bajak Sini”
Berbagai
upaya pemberantasan pembajakan telah ditempuh beberapa elemen masyarakat
seperti pemerintah, komunitas-komunitas nirlaba, kepolisian, hingga masyarkat
umum. Sebagai referensi, dari pihak pemerintah sendiri sampai saat ini telah
mengeluarkan berbagai peraturan perundangan yang memberikan perlindungan HaKI
(Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002), didukung pula dengan fatwa MUI (Majelis
Ulama Indonesia) mengenai kekayaan intelektual Nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005.
Sementara itu, pihak kepolisian pun juga kerap melakukan sweeping penggunaan dan penjualan produk
bajakan. Di kalangan akademisi dan masyarakat umum pun mulai banyak bermunculan
komunitaskomunitas alternatif yang memberikan solusi antipembajakan seperti
komunitas Open Source dan sejenisnya (alternatif
untuk menghindari pembajakan software).
Yang
menjadi pertanyaan sekarang, jika semua pihak telah melakukan upaya untuk
memberantas pembajakan, lalu kenapa kasus pembajakan di Indonesia masih tidak
kunjung reda? Jawabnya cukup sederhana, yakni karena tidak adanya penanganan
yang serius dan terpadu untuk menggerus pembajakan. Ibaratkan obat, dosis yang
diberikan tidaklah cukup untuk mematikan penyakit ini. Fakta yang terjadi, saat
di satu sisi pihak kepolisian gencar melakukan sweeping produk bajakan, tetapi di sisi
peradilan, para pelaku malah dihukum ringan atau bahkan dibebaskan. Di satu
sisi komunitas-komunitas alternatif mulai tumbuh, mereka menjawab kepentingan
akan produk alternatif yang asli dan murah (misal: software open source). Namun
di sisi lain, lingkungan justru menekan hingga mereka tidak memiliki kesempatan
untuk berkembang. Produk alternatif yang seharusnya sama baiknya dengan produk
umum, tidak dibiarkan masuk dan dipandang sebelah mata.
Sejak dini, perilaku “maklum”
terhadap pembajakan secara tidak sadar telah dipupuk oleh masyarakat Indonesia.
Lihat saja, hampir di semua lembaga pendidikan tidak segansegan menggunakan
software bajakan dalam proses pendidikannya. Dengan dalih “demi pendidikan”,
hal yang semula tidak baik menjadi lumrah dan dimaafkan.
Dari sini, dapat disimpulkan
bahwa faktor utama timbulnya pembajakan sebenarnya bukanlah karena faktor
keterbatasan ekonomi atau produk, tetapi karena hal ini telah menjadi budaya
yang telah mengakar kuat sejak lama. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk
menggerus pembajakan adalah dengan melakukan pemberantasan dengan “dosis” yang
pas. Setiap pihak harus mulai menurunkan kadar “maklum”nya dan berani tegas
atas segala bentuk pembajakan. Apakah hal ini mungkin? Tentu saja, toh beberapa
negara seperti Inggris, Amerika dan Jepang terbukti mampu melakukannya. Kenapa
Indonesia tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar