Pada suatu hari seorang lelaki datang
kepada Rabi’ah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah melakukan
dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat,
apakah Allah akan menerima tobat saya?”
“Tidak,”
jawab Rabi’ah dengan suara sangar.
Pada
kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata,
“Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa
saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar.
Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima taubat saya?”
“Pasti,”
jawab Rabi’ah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan
menerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani
taubat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata ‘akan’ atau ‘andaikata’
sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang
ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi
mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa
gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar
dari hati nurani?”
Barangkali
lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia
ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabi’ah. Bayi itu
dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota
Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang
berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah
berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudah
jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail
pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah
untuk menerangi isterinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa
Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelalak gembira
menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi
yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa.
“Ya
Allah,” seru Ismail, “Anakku, Rabi’ah, telah datang membawa sinar yang akan
menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amien.”
Tetapi
berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas
dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat
roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam shalat
tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada
Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong
ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih
benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih
segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang
shalih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah
kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat
yang lalu ia tidak melakukan shalat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai
kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat
yang ditinggalkannya.”
Ketika
Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa
Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat, ia memang biasa mengerjakan
shalat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jum’at ia selalu
mengerjakan 400 raka’at. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang
sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah raka’at yang ditinggalkannya pada malam
jum’at yang silam.
Itulah
sebagian dari tanda-tanda karamah Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan
dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu
agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya
waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan
Allah. Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di
langit bintang gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan
raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah
menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh dihadapan-Mu,
mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin
al-Attar menceritakan dalam kitab Tazkiratul Auliya bahwa Rabi’ah pandai
sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan
bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi
para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam.
Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya,
maka ditinggalkannya semua itu. Ia tidak
lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia
menghabiskan waktunya dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai shalat
Isa, ia terus berdiri mengerjakan shalat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan,
“Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabi’ah yang
berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tunjukkanlah
pandangan-Mu kepada Rabi’ah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi
pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika
fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabi’ah pun
berdoa dengan khusyuk, “Ya, Ilahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang
datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya
hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. Ilahi, demi
kemuliaan-Mu, walaupun Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa
menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas,
jika Rabi’ah membuka jendela kamarnya dan alam lepas terbentang di depan
matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika ku dengar margasatwa berkicau
dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu
pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan
manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas
keesaan-Mu.”
Tentang
masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan al-Tsauri, “Apakah engkau akan
menikah kelak?”
Rabi’ah
mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan.
Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.”
“Bagaimanakah
jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” tanya Sufyan al-Tsauri.
“Karena
telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabi’ah.
“Mengapa
bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Tanya Sufyan al-Tsauri kembali.
Dengan
tulus Rabi’ah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara
perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
Kesejatian cinta adalah penyerahan
segala asa dan cinta hanya kepada Yang Maha Sejati, Maha Kasih.
Rabi’ah
adalah sufi wanita yang paling terkenal, sang wakil Maryam yang suci, diterima
di barisan laki-laki, ditutupi oleh hijab khusus, hijab ketulusan dan
kemurnian, terbakar dalam cinta rindu, terkurung dalam kedekatan dan
pengorbanan, tersesat dalam persatuan cinta.[1]
Ia adalah seorang zahidah, zahid
perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah shufi dalam abad kedua
hijriyah. Kemasyhuran yang diperolehnya ialah karena mengemukakan dan membawa
versi baru dalam hidup kerohanian, di mana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan
Bashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat
zuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang Suci Murni tidak
mengharapkan apa-apa.
Banyak sekali gubahan-gubahan yang
merupakan pantun atau syair dalam memuji keagungan Tuhan, antara lain:
“Aku mencintai dua cinta.
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku, adalah keadaanku senantiasa
mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
hingga Engkau kulihat.
Baik untuk ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mulah pujian untuk semuanya.”
Hampir
seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyahlah yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini. Hal ini didasarkan pada
ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi’ah
al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di
Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H.[2] sumber lain menyebutkan bahwa ia
meninggal dunia dalam tahun 185 H./796 M.[3] Menurut riwayatnya ia adalah seorang
hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat,
bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak
segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang
dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia
betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan
Tuhan.[4]
Disebutkan
dalam riwayat yang lain bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih,
dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.
Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujuh dan
telah lepas dari diri. Aku maujud dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti
diminta dari-Nya, bukan dariku”.[5] Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran
kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan
sakitnya: “Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan
bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku
cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia.”[6]
Cinta
Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari
ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku, bila aku
menyembah-Mu lantaran takut kepada mereka, maka bakarlah diriku dalam neraka;
dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari
surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Engkau
tutup Keindahan Abadi-Mu.[7]
Kecintaan
Rabi’ah pada Tuhan terlihat pada syairnya berikut ini:
اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبُّ الْهَوَى .
وَحُبَّا لاَِنَّكَ اَهْلُ لِذَاكَا
فَاَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّ
الْهَوَى . فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَا
وَاَمَّا الَّذِيْ اَنْتَ اَهْلُ لَهُ .
فَكَشْفُكَ لِى الْحَجْبَ حَتَّى اَرَاكَا
فَادَ الْحَمْدُ فىِ ذَا اَوْذَاكَ
لىِ .
وَلَكِنْ لَكَ الْحَمْدُ فىِ ذَا وَذَاكَا
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta
karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku
senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan
tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah
bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”[8]
يَا
حَبِيْبُ الْقَلْبِ مَالىِ سِوَاكَا
فَا رْحَمِ الْيَوْمَ مُذْنِيًا قَدْ اَتَاكَا
بَا رَجَائِ وَرَاحَتِى وَسُرُوْرِيْ
قَدْ أَبَى الْقَلْبُ اَنْ يُحِبُّ سِوَاكَا
“Wahai kekasih hatiku, hanya Engkaulah
yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah
harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain
Engkau.”[9]
Dalam syairnya yang lain ia
mengatakan:
Kucintai Engkau lantaran aku
cinta,
Dan lantaran Kamu patut dicintai,
Cintakulah yang membuat rindu
kepada-Mu
Demi cinta suci ini, sibakkanlah
tabir penutup
Tatapan sembahku. Janganlah Kau puji
aku lantaran itu
Al-Ghazali
mengomentari syair-syair tersebut dengan mengatakan: “Barangkali yang ia maksud
dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang,
rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah
menganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.[11]
Syair-syair
tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnya
bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuat
dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan
daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya
seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu
bersamaan.[12]
Cinta
atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan mahabbah berasal dari kata ahabba,
yuhibbu, mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam,
atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[13] Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil
Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni
cinta lawan dari benci.[14] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud,
yakni yang sangat kasih atau penyayang.[15] Selain itu al-mahabbah dapat
pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada
anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau
seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat
pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.[16]
Kata
mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau
aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada
Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya ada
juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikendaki dalam tasawuf, yaitu
mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.[17]
Mahabbah
dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi sebagai
berikut:
اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌ
شَرِيْفَةٌ شَهِدَ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَا لِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَ عَنْ
مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَقُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ
الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَقُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ
“Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa
yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt oleh
hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah Swt.”[18]
Mahabbah
(kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat
mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada
hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[19] Mahabbah berbeda dengan al-raghbah,
karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal
yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang disertai dengan
perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun
harus mengorbankan segalanya.[20]
Harun
Nasution selanjutnya mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang
dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
1.
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya.
2.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
Kalau
dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagaimana dikemukakan oleh
al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu
mahabbah orang biasa, mahabbah oang shidiq dan mahabbah orang yang arif.
Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka
menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan
Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta
orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada
ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan
diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang
ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan
dari dialog itu. Cuma tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta
pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalah
cina orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke
dalam diri yang mencintai.[22]
Dari
ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak
menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan
dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada
sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan.
Dari ketiga tingkatan ini nampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju
oleh mahabbah ini.[23]
Dengan
uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang menyintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang
dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan
bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian
dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat
sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam,
hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi
dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[24]
Ada
pula yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir
selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam kedudukannya maupun dalam
pengertiannya. Kalau makrifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan
melalui mata hari (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan
Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta
kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada
Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan
lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali,
mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.[25]
Pendapat
yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah
sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai makrifat oleh
al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagaimana
dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah
tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari makrifat.
Harun
Nasution, dalam bukunya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam mengatakan,
bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi disebut sir (سرّ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi,
Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan
untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb (القلب) hati sanubari, sebagai alat untuk
mengetahui mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (الروح) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga,
sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh
lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di
qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan
roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya , tidak berisi apa
pun.[26]
Dengan
keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah
roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan
dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada
Tuhan. Ruh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan tuhan
kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan.
Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan.
Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan.
Allah Swt berfirman:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ
الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلاَّ
قَلِيْلاً
“Mereka itu bertanya kepada Engkau
(Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali.”[27]
فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ
مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْلَهُ سَاجِدِيْنَ
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah
kamu kepada-Nya dengan bersujud.”[28]
Selanjutnya
di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Tuhan,
pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadis
tersebut selengkapnya berbunyi:
اِنَّ النّاَسَ يَجْمَعُ
خَلْقُهُ فىِ بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنَ
عَلَقَةً مِّثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ
اِلَيْهِ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ
“Sesungguhnya
manusia dilakukan penciptaanya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari
dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal daging
yang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan
mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh
hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya.” (H.R. Bukhari-Muslim).[29]
Dua ayat dan satu hadis tersebut di
atas selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, juga
menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada
Tuhan. Ruh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.
Paham mahabbah sebagaimana
disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. banyak ayat-ayat
dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat
saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ
فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ
يَأْتِى اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّوْنَهُ
Di
dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَىَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا
وَبَصَرًا وَيَدًا
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan
diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang
Kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.”[32]
[1]
Ibid. hal. 223-229.
[2]
A.J. Arberry. Pasang-Surut Aliran Tasawuf. (terj.) Bambang Herawan, dari
judul asli Sufism: An Account of The Myctics of Islam. (Bandung: Mizan,
1985). Cetakan I. hal. 49; Lihat pula Harun Nasution. Falsafat dan …
hal. 71.
[3]
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. (Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1984). Cetakan XI. hal. 79.
[4]
Ibid. hal. 71-72.
[5]
Aththar. Tadzkirat al-Aulia I. (Mesir: al-Ma’arif. t.t.). hal. 66.
[6]
A.J. Arberry. Pasang-Surut … hal. 50.
[7]
Al-Kalabazi. Al-Ta’aruf. (terj.) Arberry. Hal. 159; lihat pula Harun
Nasution. Falsafat dan … hal. 72.
[8]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 215-216.
[9]
Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 74-75.
[10]
A.J. Arberry. Pasang-Surut … hal. 50.
[11]
Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 80.
[12]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 217.
[13]
Lihat Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 96.
[14]
Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi. Jilid II. (Mesir: Dar al-Kairo.
1978). hal. 439.
[15]
Ibid. hal. 349.
[16]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 208.
[17]
Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 440.
[18]
Al-Qusyairi al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah. (Mesir: Dar
al-Kahir. t.t.). hal. 318.
[19]
Ibid. hal. 319.
[20]
Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 617.
[21]
Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 70.
[22]
Ibid. hal. 70-71.
[23]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 210.
[24]
Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 63.
[25]
IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatera Utara.
1983/1984). hal. 125.
[26]
Ibid. hal. 77.
[27]
Q.S. al-Isra’, [17]: 85.
[28]
Q.S. al-Hijr, [15]: 29.
[29]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 213-214.
[30]
Q.S. Ali ‘Imran, [3]: 30.
[31]
Q.S. al-Maidah, [5]: 54.
[32]
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar