Naluri
manusia yang paling kuat yang merupakan hidayah fitriyah adalah
ingin mempertahankan hidupnya di dunia ini, meskipun disadarinya bahwa hidup di
dunia ini terbatas, karena setiap manusia akan merasakan mati. Naluri semacam
ini dimiliki juga oleh binatang. Lebih dari itu manusia ingin mencapai
kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Kehidupan yang lebih baik
di masa yang akan datang itu relatif, akan tergantung kepada kepercayaan
manusia itu sendiri secara perorangan, dan atau apa yang merupakan
cita-citanya, dan juga akan tergantung kepada kepribadian bangsanya.
Aliran materialisme berkeyakinan
bahwa kehidupan yang lebih baik atau dengan kata lain kebahagian, berpusat pada
kesempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan
bahwa kebahagian akan tergantung kepada kepuasan jiwa. Para filusuf pada umumnya
berpendapat bahwa kebahagian akan dicapai dengan kemampuan akal manusia, karena
akal itu satu-satunya sinar yang bertindak selaku kompas menuju kepada jalan
yang benar.
Kebahagiaan yang diharapkan oleh
umat Islam adalah keutamaan dan keridlaan Allah Swt., kehidupan yang lebih baik
di dunia dan kebaikkan di akhirat.
Ada beberapa sistem penilaian akhlak
yang antara lain:
1.
Sistem Ahli Sunnah
Segala
awamir (perintah-perintah) yang dima’rufkan Allah adalah baik dan segala nawahi (larangan-larangan) yang
dimunkarkan Allah adalah buruk. Tidak ada kebaikkan atau keburukan secara absolut, tetapi semuanya itu menurut
instruksi dari Allah Swt. Adapun yang bersifat mutlak ialah kekuasaan dan
keadilan Allah Swt. Yang terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib
bagi Allah, karena apabila wajib, maka kekuasaan-Nya tidak wajib lagi. Itulah
sebabnya di antara ahli kalam membedakan antara sifat-sifat yang wajib bagi
Allah menurut akal dan juga dalil akal yang jumlahnya 13 atau 20 dengan Asma’
al-Husna, yang berjumlah 99.
Setiap
pribadi mempunyai kasab dan ikhtiar yang tidak terlepas dari kadar serta
ilmu dan iradat-Nya. Kasab di sini adalah usaha dengan adanya niat dalam
segala perbuatan. Adapun iman dalam kombinasi dari ucapan, pembenaran hati dan
perbuatan anggota, merupakan dasar dalam menilai segala perbuatan manusia.
Manusia yang berdosa dan ia meninggal sebelum ia bertaubat, namun ia tetap
mengakui sebagai muslim, maka persoalannya terserah kepada Allah Swt. Dan
mereka itu dikelompokkan kepada manusia yang berdosa, dan Allah mungkin memberi
ampunan atau menyiksanya.
2.
Sistem Mu’tazilah
Sebelum membicarakan sistem penilaian menurut Mu’tazilah,
terlebih dahulu sedikit kita ketahui siapa Mu’tazilah itu. Secara bahasa kata mu’tazilah
berasal dari kata i'tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secara teknis, istilah mu’tazilah
menunjuk pada dua golongan. Golongan Pertama (mu’tazilah I) muncul
sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin
Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[2]
Golongan
kedua (mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang
berbuat dosa besar. Beberapa versi tentang pemberian nama mu’tazilah II ini berpusat
pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha serta temannya, Amr bin
Ubaid, dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah, ketika Wasil bin ‘Atha dan temannya
‘Amr bin ‘Ubaid sedang mendengarkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh
Hasan al-Basri, datang seseorang bertanya mengenai pendapat Hasan al-Basri
tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum Khawarij
memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka tetap
mu’min, ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya
sendiri dengan mengatakan, “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara
keduanya; tidak mu’min dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan
diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di Masjid itu, di sana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan,
Wasil telah menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Dengan demikian
ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi lain dikemukakan oleh
al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab,
diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian di antara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini dinamakan
mu’tazilah.[4]
Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra
Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid
Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah
majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan
majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata,
“Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan mu’tazilah.[5]
Al-Mas’udi memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya
dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan al-Basri. Mereka diberi nama mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir dan mukmin (al-manzilah
bain al-manzilatain).[6] Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar
itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya
peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang
posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan
orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada
zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana:
Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri
ke Kharbita (i'tazala ila Kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang
dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan
diri ini dengan Mu’tazilin, sedang Abu al-Fida menamainya dengan
Mu’tazilah.[7]
Dengan demikian, kata i'tazala
dan mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa
Wasil dengan Hasan al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut
campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[8
Seorang orientalis Itali, C.A. Nallino
mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan
Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti
“memisahkan dari umat Islam lainnya” sebagaimana pendapat al-Syahrastani,
al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah diberikan kepada
mereka karena mereka berdiri netral di antara Khawarij dan Murji’ah.
Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan
yang erat dengan Mu’tazilah I.[9] Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami al-Nasysyar
yang mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari
orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan
dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.[10] Untuk lebih jelas bisa dilihat skema
berikut.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga
dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.[11] Lawan Mu’tazilah memberi nama
golongan ini dengan al-Qadariyah karena mereka menganut faham free
will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas
berbuat. Selain itu, mereka menamainya juga al-Mu’tazilah karena
golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam
arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa’diah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa
orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
Pancasila Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah ini dikenal dengan al-ushul
al-khamsah, yang oleh Harun Nasution diistilahkan sebagai Pancasila
Mu’tazilah.
Al-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip
yang paling utama dan sekaligus merupakan intisari dari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin al-tauhid ini.
Namun, bagi aliran Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus
disucikan dari segala sesuatu apapun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya.
Hanya Tuhanlah satu-satunya yang Esa,
yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya
Dia-lah yang qadim (Terdahulu). Bila ada yang qadim lebih dari satu,
maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak
berpermulaan).[12]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih),
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan
(antromorfisme: tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Maha Esa, tak ada satu pun yang
menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
dan lain sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu
bukan sifat melainkan dzat-Nya sendiri. Menurut mereka, bahwa sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat
Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil
bin Atha (salah seorang tokoh penting Mu’tazilah), seperti dikutip oleh
al-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti
telah menduakan Tuhan.”[13] Ini tidak dapat diterima karena
merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut sebagai sifat menurut
Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu al-Hudzail[14] berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu
dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan
kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri.”[15] Dengan demikian, pengetahuan dan
kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat
yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an
itu baru (diciptakan); al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; al-Qur’an
terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang
lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan
antara al-Jubba’i[16] dan Abu Hasyim[17] atas pernyataan, “Tuhan mengetahui
dengan esensi-Nya.” Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah bahwa
untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan
tersebut berarti Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka
sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.[18]
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu
al-Hudzail mengambil konsep nafy al-sifat (peniadaan sifat Allah)
dari pendapat Aristoteles,[19] agaknya beralasan bila para pendiri
mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa al-tawhid (pengikut
faham keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk
mengesakan Allah dan menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut
menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula
sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh
karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan
adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu
adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya.
Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.[20]
Penolakan terhadap faham antropomorfistik
bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang
sangat kuat di dalam al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan al-Qur’an
yang berbunyi:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
Memang tidak dapat dibantah bahwa
Mu’tazilah sebagaimana aliran lain, telah terkena pengaruh filsafat Yunani.
Namun hal itu tidak kemudian menjadikannya sebagai pengikut buta Hellenisme.
Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar
membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran
Hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap
serangan para penentangnya, yakni para Muhaddisin Rafidah Manichscanisme,
dan berbagai aliran keagamaan India.[22]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap
antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir
menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada
arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini
tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang
lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini.
Misalnya, kata-kata tangan[23] diartikan kekuasaan dan pada konteks
yang lain tangan[24] dapat diartikan nikmat. Kata wajah[25] diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy[26] diartikan kekuasaan.[27]
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat
bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari
penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak
tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.
Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan memiliki ruang. Andaikata
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun Dia dapat
dilihat oleh mata kepala.[28] Oleh karena itu, kata melihat[29] ditakwilkan dengan mengetahui (know).[30]
2.
Al-‘Adl
Al-‘adl berarti
Tuhan Mahaadil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan. Karena Tuhan Mahasempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (al-salah)
dan terbaik (al-aslah) dan bukan yang tidak baik. Begitupula
Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat
dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait
erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini:
i.
Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, manusia melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak.[31] Manusia benar-benar bebas untuk
menentukan pilihan perbuatannya; baik dan buruk. Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah
baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan terlepas dari perbuatan
yang buruk. Konsep ini memilki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu,
apapun yang akan diterima manusia diakhirat merupakan balasan perbuatannya di
dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan
itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan
tidak dipaksa.
ii. Berbuat
baik dan terbaik
Berbuat baik dan terbaik secara bahasa adalah al-salah
wa al-aslah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan
menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi
Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang
lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna.[32] Bahkan menurut al-Nazzam, salah satu
tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.[33] Konsep ini berkaitan dengan
kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak
bagi-Nya. Artinya bila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti Ia tidak
bijaksana, pelit, kasar dan kejam.[34]
iii. Mengutus
rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan
karena alasan-alasan berikut ini:
1) Tuhan
berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan
mengutus rasul kepada mereka.
2) Al-Qur’an
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untk memberikan belas kasih kepada
manusia.[35] Cara yang terbaik untuk maksud
tersebut adalah dengan mengutus seorang utusan, rasul.
3) Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[36]
3.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil
dan Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat
baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang durhaka (al-asl).
Begitupun janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat
nashuha pasti benar adanya.[37]
Ini sesuai dengan prinsip keadilan.
Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat
jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ini tidak memberi peluang bagi
Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha.
Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bia ia taubat. Kejahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang
termasuk dosa besar, sedangkan tehadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.[38] Ajaran ini tampaknya bertujuan untuk
mendorong manusia agar mau berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.
Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakni
berkenaan dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan
belum bertobat, dengan status bukan lagi mukmin atau pun kafir, munafiq, tetapi
fasik.[39] Hanya saja bila belum bertobat, ia
akan dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya, tetapi siksanya lebih ringan
dibanding orang kafir. Seperti tercatat
dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebgai kafir bahkan musyrik,
sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya
sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan.
Adapun pendapat Wasil bin Atha lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada di
antara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran
inilah, Wasil bin Atha dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i'tazal)
dari majelis gurunya, Hasan al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun
mazhabnya.
Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm,
menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut, “Orang yang melakukan dosa
besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).”[40] Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu
menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan
warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya
binatang sembelihannya.[41]
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku
dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena
keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan
dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan.
Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya
kepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau
meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya.
Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun
dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan daripada orang kafir.[42] Ini mendorong manusia agar tidak
menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5.
Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.
Dan ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya dengan menyuruh orang
berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Dan konsep ini ternyata bukan
hanya monopoli mereka saja, tetapi seluruhnya karena demikian al-Qur’an
mengajarkan. Yang membedakan dengan madzhab ini adalah jika diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah mencatat
kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang
kemakhlukan al-Qur’an yang mengorbankan banyak ulama, semisal Ahmad bin Hanbal.[43]
Ada beberapa syarat yang sebenarnya
harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti
yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd al-Jabbar, walau pada masa
mihnah (kemakhlukan al-Qur’an) sepertinya tidak dilaksanakan, yaitu berikut
ini:
i.
Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan
yang dilarang itu memang munkar.
ii. Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
iii. Ia
mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madarat yang lebih besar.
iv. Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.[44]
Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an
al-munkar bukan
monopoli konsep Mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam al-Qur’an.
Arti asal al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh
masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf
adalah apa yang diterima dan diakui Allah.[45] Sedangkan al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase
tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan
sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang
bertentangan dengan norma Tuhan.[46]
Aliran inilah yang pertama kali
menggunakan metode filosofis untuk mempertahankan aqidah Islam dari serangan
luar maupun dalam Islam. Ini dikarenakan pertemuannya dengan dan pengaruh
filsafat Yunani.[47] Oleh karena itu, menurutnya, untuk
membuktikan segala sesuatu hanya bisa dengan menggunakan rasio bukan dengan
wahyu karena wahyu hanya memberikan informasi saja.
Untuk
membuktikan kerasionalitasan Mu’tazilah kita bisa melihat contoh yang diajukan
oleh mereka. Misal, ketika membuktikan keesaan Allah Swt adalah dengan melihat
bahwa sebuah kekuasaan negara contohnya, apabila dalam sebuah negara terdapat
dua orang yang berkedudukan sama-sama sebagai presiden, maka yang akan terjadi
tentunya adalah pertentangan dan kekacauan, ini karena ada dua watak yang
berbeda yang suatu saat tidak bisa dikompromikan dan disatukan, sementara salah
satu dari mereka tidak ada yang mau mengalah, merasa paling lebih, paling
berkuasa, paling mampu dan sebagainya. Untuk ketentraman negara yang diperlukan
pun tentu hanya satu presiden saja. Dus keesaan Tuhan adalah muthlaq dan harus,
karena bila ada dua Tuhan akan terjadi pertentangan antar Tuhan sendiri,
berebut pengaruh dan kekuasaan, dan terjadi pertentangan pada umat manusia
dalam peribadatannya. Ini akan mengacaukan dunia.
Contoh lain
tentang kausalitas, Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak
manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia,
seperti terjadinya hujan. Dimana hujan terjadi karena adanya tumpukan awan yang
dipertemukan oleh dorongan angin dan dihalangi oleh gunung. Karenanya yang
lebih banyak curah hujannya adalah daerah gunung.
Batu
apabila dilempar keatas pasti jatuh, dan bila ditaruh diair pasti tenggelam.
Dikarenakan gaya grafitasi bumi, dan berat daya batu. Manusia bebas berkehendak, Allah tidak ikut campur atas
kehendak manusia. Contohnya bila manusia akan duduk, maka ia pun duduk. Dan
bila manusia akan mengambil sesuatu atau tidak maka ia pun akan mengambilnya
tanpa ada kehendak Tuhan. Ini juga bukti kerasionalitasan Mu’tazilah. Demikian pula dalam kehendak baik dan
buruk, beriman dan tidak beriman (kafir), masuk surga dan masuk neraka.[48]
Berkenaan
dengan mu’jizat, Mu’tazilah pun tidak mengakuinya, tetapi mereka
merasionalkannya. Seperti tongkat dipukulkan ke lautan dan terbelah sehingga
Musa selamat dari kejaran Fir’aun. Menurut mereka laut merah waktu itu sering
turun salju, sehingga yang dimaksud memukul laut disini adalah memukul salju.
Salju mana yang bisa diinjak dan yang tidak, Musa “diberi” pengetahuan tentang
ini, dan Fir’aun tidak, karenanya Fir’aun tidak selamat.
Dan Isa
yang menghidupkan orang mati, maksudnya Isa mengerti dan paham mana orang yang
mati atau pingsan. Sedang kaumnya tidak.
Di zaman ini mungkin yang mempunyai
kemiripan dengan ini adalah Muhammadiyyah dalam bidang sosial, pendidikan dan
kemasyarakatannya, dan NU dilihat dari Gus Dur-nya dalam satu sisi, serta
anak-anak mudanya terutama Ulil Abshar Abdala dengan JIL-nya, Harun Nasution
pun ada yang mengelompokkan ke dalamnya, tetapi pada dasarnya hampir semua kita
mungkin saat ini lebih dekat dengan ini alih-alih mungkin termasuk pada
kelompok ini tentu dilihat dari segi kerasionalitasan.
Kembali
pada penilaian akhlak menurut Mu’tazilah, bahwa manusia bebas untuk bertaubat,
dan segala amal manusia harus diganjar oleh Allah Swt. Demi keadilan-Nya
(tentunya amal salih). Apabila manusia tidak bebas melakukan perbuatannya, ini
berarti Allah Swt tidak adil. Demikian pula apabila Allah meminta
pertanggungjawaban manusia atas amalannya.
Tuhan
bermaksud baik dengan mengadakan alam ini dan bermaksud pula membahagiakan
manusia dengan menciptakannya. Untuk itu Allah mengutus para Rasul guna
memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai sa’adah. Diutusnya para Rasul
adalah wajib (Ahl al-Sunnah menyebutnya Rahmat Allah), jadi bukan semata-mata
merupakan Rahmat-Nya, dan manusia bebas merdeka untuk mentaati atau tidak
mentaati kepada Rasul itu. Masing-masing mereka akan memperoleh balasan sesuai
dengan sikap yang dipilihnya. Keadilan Tuhan adalah lengkap meliputi segenap
manusia inklusif seluruh alam semesta.
Sesuatu
itu baik dengan bukti bahwa Allah memerintahkan untuk dilaksanakan, dan
sebaliknya jika buruk tentunya Allah melarang untuk dikerjakannya. Untuk
mengetahui hal itu dia menganugerahkan akal kepada manusia sebagai alat pikir
untuk memilih sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Dan agar manusia
tidak salah pilih maka Allah menurunkan wahyu-Nya melalui para Rasul sebagai
petunjuk bagi manusia.
3.
Sistem Jabariyah
Para ulama pada masa sahabat maupun masa
Bani Umayah telah banyak berbicara tentang masalah taqdir dan kekuasaan Allah
Swt. Sekelompok ulama beranggapan bahwasanya manusia tidak dapat menciptakan
segala perbuatannya dan tidak ada sesuatu perbuatapun yang bisa dinisbatkan
kepada manusia. Yang menjadi landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada
hakikatnya perbuatan seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah Swt.
Karena seorang hamba tidak diminta untuk taat tetapi dipaksa untuk melakukan
segala perbuatanya di luar kehendak dan usahanya. Allah Swt menciptakan segala
perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh materi. Segala perbuatan
sebagaimana segala materi secara majazi dinisbatkan kepada Allah, seperti dikatakan
pohon itu berbuah, air mengalir, batu itu bergerak, matahari terbit dan
terbenam, langit berawan dan menurunkan hujan, tanah menjadi subur dan di
atasnya tumbuh tanam-tanaman, dan sebagainya. Adanya pahala dan siksaan adalah
bersifat paksaan.
Allah
Swt yang memberikan vonis, yaitu menentukan dan memutuskan segala amal manusia,
di mana amal itu berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya semata, sedangkan manusia
tidak berdaya apa-apa. Kodrat dan iradat-Nya merupakan lemari es yang
membekukan, memblokir dan menstatir semua kekuasaan manusia di mana pada
hakikatnya semua amal manusia merupakan paksaan dari Allah Swt. Sedikitpun
manusia tidak ikut serta menentukan baik atau buruk amalnya, meskipun pada
akhirnya manusia akan menerima pahala surga atau siksa neraka.
Pemberian
surga atau neraka kepada manusia bukanlah merupakan ganjaran atas pelaksanaan
kebajikan yang di-awamir-kan, atau sebagai balasan keburukan yang di-nawahi-kan
Allah, akan tetapi kedua-duanya adalah sebagai hujjah atau dalil (tanda)
kebesaran Allah yang tercakup dalam kodrat dan iradat sebagai sifat-Nya. Jadi
kemahakuasaan-Nya yang absolut tidak berkurang.
Ibn
Hazm mengemukakan hujjahnya, “Mereka berhujjah dan mengemukakan bahwa karena
perbuatan Allah Swt tidak menyerupai perbuatan makhluknya, maka mesti seseorang
tidak dapat membuat yang lainnya. Mereka juga mengemukakan pengertian
penyandaran perbuatan kepada manusia
hanyalah sebagaimana dikatakan Zaid telah wafat, padahal Allah-lah yang
mewafatkannya; bangunan itu telah berdiri, padahal Allah-lah yang telah
mendirikannya”.
Para
sejarawan telah banyak berbicara dalam menjelaskan siapa sebenarnya yang
terlebih dahulu memiliki pendapat seperti di atas dan menyebarkannya, mereka
berkeyakinan bahwa suatu pendapat yang telah menjadi sebuah mazhab, sulit untuk
dilacak siapa orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tersebut. Oleh
karena itu, kita kesulitan dalam menyatukan prinsip pemikiran tersebut. Akan
tetapi kita bisa menetapkan bahwa faham Jabariah telah tersebar pada masa awal
pemerintahan Bani Umayyah, sehingga pada akhir masa tersebut telah menjadi
sebuah mazhab. Berikut ini kita akan mengemukakan buah pemikiran dua orang
ulama besar yang hidup pada masa awal pemerintahan Bani Umayyah, sebagaimana
dikemukakan oleh al-Murtadha dalam kitabnya al-Muriyah wa al-Amal.
Salah
satunya pendapat Abdullah bin Abbas ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah
penduduk Syam dan meminta mereka agar menginggalkan pendapat tersebut ia
berkata, “Amma ba’d, mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk
bertaqwa sedangkan kalian menyesatkan mereka; kalian melarang orang-orang
berbuat maksiat sedangkan kalian menampakkan kemaksiatan. Wahai putra-putra
kaum munafik, penolong kaum zalim, dan penjaga masjid-masjid kaum fasik, kalian
hanya membuat-buat kedustaan kepada Allah, kalian mesti bertanggung jawab atas
dosa-dosa kalian kepada Allah”.
Yang
kedua yaitu surat Hasan Bashri bagi kaum Jabariah penduduk Basrah. Di antar
isinya adalah, “Barang siapa tidak beriman kepada Allah, kepada qadha dann
qadarnya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa membebankan dasarnya kepada
Tuhannya maka telah kafir. Sesungguhnya Allah tidaklah ditaati dan didurhakai
secara paksa karena Dia adalah raja dari segala raja, dan penguasa dari segala
penguasa. Jika orang-orang taat kepada-Nya tidaklah Dia menghalangi mereka dan
jika mereka durhaka kepada-Nya, bila Dia menghendaki pasti menghalanginya. Maka
jika mereka tidak mendurhakai-Nya, Allah tidaklah memaksa, untuk itu jika Allah
memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya maka mereka pasti tidak akan
mendapatkan pahala dan andaikata mereka dipaksa untuk berbuat kemaksiatan maka
pasti mereka tidak akan disiksa. Akan tetapi semua orang tidaklah dipaksa oleh
kehendak Allah. maka jika mereka taat kepada-Nya maka Allah pasti akan
merahmati mereka”.
Dalam
hal ini, Ibn Abbas dan al-Hasan menolak pendapat orang-orang yang berpendirian
bahwasannya manusia berada dalam keterpaksaan dalam melakukan segala
perbuatannya.
Diriwayatkan
dari Ali bin Abdullah bin Abbas yang mengemukakan bahwa, “Suatu hari saya sedang
duduk di dekat bapak saya, tiba-tiba datanglah seorang pria dan berkata, ‘Wahai
Ibn Abbas, di sekitar sini ada suatu kaum yang berpendapat bahwa mereka
hanyalah melakukan apa-apa yang telah ditentukan Allah bagi mereka. Dan
bahwasannya mereka dipaksa Allah untuk berbuat kemaksiatan’. Maka Ibn Abbas
menjawab, ‘Seandainya aku tahu bahwa di sini ada pengikut mereka, maka pasti
akan kuikat orang tersebut dengan rantai dan tidak kulepas hingga melepaskan
nyawanya. Kalian janganlah mengatakan bahwa Allah memaksa manusia untuk berbuat
maksiat dan jangan pula mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa-apa yang
diperbuat para hambanya”.
Pendapat
tersebut sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi pada
awalnya dengan perantara ucapan kaum musyrikin sebagaimana dijelaskan al-Qur’an
al-Karim. Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah pendapat tersebut
menjadi sebuah mazhab yang mulai banyak dianut orang. Mereka gambarkan dan
mereka ajarkan terhadap orang-orang disekitarnya. Para ulama berpendapat bahwa
orang yang pertama kali melakukan hal itu adalah beberapa orang kebangsaan
Yahudi. Lalu mereka mengajarkan kepada beberapa orang muslimin, orang-orang
itulah yang kemudian menyebarkannya lebih lanjut. Dikatakan bahwa orang yang
pertama kali mendakwahkan pendapat tersebut dari kaum muslin adalah al-Ja’d bin
Dirham yang telah menerimanya dari seorang Yahudi di Syria, kemudan ia
menyebarkannya kepada penduduk Basrah, yang kemudian diterima oleh al-Jahm bin
Shafaran. Pembicaraan tentang al-Ja’d bin Dirham diungkapkan dalam kitab Sarah
al-Uyun bahwa, “Al-Jahm bin Shafaran menerima ajaran tersebut dari al-Ja’d
yang kemudian ajaran tersebut ia beri nama al-Jahmiyah. Dikatakan pula bahwa
al-Ja’d menerima ajaran tersebut dari Ibn bin Sam’an, sedang Sam’an menerima
dari Thalut bin A’sham al-Yahudi”.
Dari
pembicaraan tersebut, tampaknyalah bahwa ajaran tersebut mulai dikemukakan oleh
orang Yahudi pada masa para sahabat. Karena Thalut pada masa Rasulullah Saw
telah dilahirkan dan dibesarkan pada masa shabat dan para tabi’in. dan ia telah
menemukan kesempatan berharga untuk menyebarkan ajarannya dengan keluar.
Akan
tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa ajaran tersebut hanya disebarkan oleh
orang Yahudi tadi, karena di kalangan bangsa Persia ide-ide seperti itu sudah
ada sebelumnya, seperti berbagai pembahasan yang dikemukakan oleh al-Zaroda
Syatiyah dan al-Manawiyah. Dijelaskan dalam kitab al-Maniyah wa al-Amal
bahwa, “Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa seorang pria berkebangsaan Persia
suatu ketika mendatangi Rasulullah Saw lalu ia berkata, ‘Saya melihat
orang-orang Persia banyak menikahi putir-putrinya dan saudara-saudara
perempuannya, jika mereka ditegur, ‘Mengapa kalian melakukan hal itu?’ mereka
menjawab bahwa hal itu mereka lakukan karena sudah merupakan qadha dan qadar
dari Allah’. Maka Rasulullah Saw bersabda, ‘’Di tengah-tengah umatku akan
ada orang-orang yang berkata seperti itu. Dan kelompok orang itu merupakan
musuh umatku’.”
Mazhab
tersebut didirikan oleh al-Jahm bin Shafwan yang berkebangsaan Khurasan, yang
merupakan penulis bagi Syaikh bin al-Haris yang kemudian keduanya pergi
bersama-sama menemui Nashr bin Sayyar. Kemudian al-Jahm pada akhir rezim Bani
Marwan dibunuh oleh Muslim bin Ahwaz al-Mazani dalam akhir masa Bani Marwan.
Al-Jahm
memusatkan dakwahnya di Khurasan dan sekitarnya. Setelah ia dibunuh, maka
dakwahnya diteruskan oleh para pengikutya yang menamakan diri kelompok
Nahawand. Mazhab tersebut terus berkembang di Khurasan, hingga suatu ketika
dikalahkan oleh mazhab Abu Manshur al-Maturidi,. Ajaran Jahm bin Shofwan bukan
hanya merupakan aliran Jabariah, akan tetapi memiliki berbagai ajaran yang lain
di antaranya,
i.
Ia beranggapan bahwa surga dan neraka itu tidak kekal, dan
tidak ada sesuatu apapun yang bersifat kekal. Dan kekekalan yang dimaksud dalam
al-Qur’an adalah penghunian yang sangat lama.
ii.
Menurutnya keimanan itu merupakan ma’rifat sedangkan
kekufuran merupakan kebodohan. Ia berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan dan
kufur dalah kebodohan. Atas dasar pendapatnya ini maka orang-orang Yahudi yang
mengetahi sifat-sifat Nabi Saw adalah orang-orang beriman. Begitu pula
orang-orang musyrik yang meyakininya. Akan tetapi ia berkata bahwa pengakuan
mengikuti pengetahuan, maka pengetahuan yang disebut iman tidak hanya gambaran,
melainkan pengetahuan yang kuat yang mewajibkan pembenaran dan pengakuan.
iii.
Menurutnya firman Allah Swt itu bersifat baru (hadis)
bukan lama (qadim). Berdasarkan pendapat tersebut telah terbentuk
pandangan beberapa ulama tentang penciptaan al-Qur’an walaupun ada ulama yang
berpandangan lain.
iv.
Allah Swt tak menyifati bahwa Dia adalah sesuatu yang hidup
ataupun merupakan alam. Dia berfirman bahwasannya Dia tidak memilki sifat yang
boleh digunakan pada segala sesuatu yang baru.
v.
Ia membantah Allah Swt bisa dilihat pada hari qiamat.
Ajaran
tersebut banyak diikuti oleh orang-orang. Akan tetapi ajaran yang muncul dan
terkenal dengan nama ajaran al-Jahmiyah dan secara langsung telah menjadi faham
Jabariah yang mengemukakan bahwasannya manusia tidak memiliki kehendak dan
perbuatan. Adapun pendapat-pendapat yang lain banyak juga bercampur dengan
ajaran tersebut. Misalnya, tentang al-Qur’an dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah
begitu juga tentang pengingkaran sifat Allah.
Para
ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (terkemudian) telah berusaha untuk membantah
ajaran tersebut, seperti yang dilakukan Hasan Bashri dan sebelumnya Ibn Abbas.
Beigut juga ajaran Jabariah diingkari oleh banyak kelompok ulama kalam, ahli
fiqh dan ahli hadis.
Ibnu
Qayyim telah menjelaskan dalam kitabnya Syifa’ al-‘Alil tentang ajaran
kaum Jabariah dan perdebatan yang terkandung di dalamnya tentang penggambaran
Rasulullah Saw, antara pendapat kaum Jabariah dan Sunni. Di antaranya
dikemukakan dalam buku tersebut.
Kaum
Jabariah mengemukakan bahwa, “Manusia berada dalam keterpaksaan itu merupakan
hal yang mesti untuk meluruskan tauhid. Dan tauhid hanya akan lurus dengan
pemahaman seperti itu. Karena jika kita tidak mengatakan bahwa manusia berada
dalam keterpaksaan, kita telah menetapkan bahwa manusia bisa melakukan hal-hal yang
baru tanpa ada kaitannya dengan Allah. jika menghendaki berbuat apa-apa. Hal
itu jelas-jelas merupakan syirik yang hanya bisa dibersihkan dengan faham
Jabariah”
Kaum Sunni kemudian mengemukakan
bahwa, “Faham Jabariah bertentangan dengan tauhid, karena bertentangan dengan
hukum-hukum syari’at, dakwah Rasulullah Saw, dan dengan adanya pahala dan
siksaan. Seandainya faham Jabariah itu benar, maka hukum-hukum syaria’at
menjadi batal begitu pula tentang segala perintah dan larangan. Dan dengan
batalnya semua itu, menjadi tidak ada pahala dan siksaan”.
Kaum Jabariah kemudian menjawab,,
“Pendapat anda bahwa faham Jabariah bertentangan dengan perintah dan larangan,
pahala dan siksaan itu tidak aneh, karena hal seperti itu sudah lazim dikatakan
orang. Yang aneh adalah pendapat anda bahwa faham Jabariah bertentangan dengan
tauhid sedangkan pengertian seperti dikemukakan Jabariah merupakan aspek tauhid
yang terkuat”.
Kaum
Sunni menjawab, “Pertentangan ajaran Jabariah dengan tauhid lebih jelas
daripada pertentangannya dengan perintah dan larangan. Karena pokok pangkal
akidah adalah tauhid yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, dan bertentangan dengan dua kalimah syahadat
tersebut. Tuhan adalah pemilik segala sifat kesempatan dan keagamaan. Dialah
tempat curahan hati dan tempat bersandar dalam kecintaan, ketakutan dan
harapan. Tauhid yang dibawa oleh para rasul adalah pengesaan Tuhan dengan penuh
kerendahan, ketundukan dan kecintaan; dengan sekuat tenaga dalam menaati-Nya dan
mencari keridlaan-Nya; lebih mengutamakan untuk mencintai-Nya daripada
mencintai sesama manusia. Itulah pokok pangkal dakwah Rasul dan ke arah itulah
semua manusia diseru. Itulah tauhid yang Allah Swt tidak akan menerima agama
seseorang selain daripada-Nya, baik dari orang-orang pendahulu maupun yang
kemudian. Untuk itulah para rasul diperintahkan, kitab-kitab diturunkan, para
hamba diseru, bagi mereka diciptakan surga dan neraka karenanya, dan
disyari’atkan segala hukum untuk menyempurnakannya. Wahai kaum Jabariah, dari
pendapatmu, ‘Sesungguhnya seorang hamba sama sekali tidak memilki kuasa dan
kehendak atas segala yang diperbuatnya dan memaksa hamba tidak dapat mencegah
apa-apa yang menjunjungkannya. Baginya Allah sama sekali tidak menjadikan jalan
lain sehingga hati seorang tidak dapat diarahkan untuk mencintai Allah,
merindukan-Nya, dan mencari keridlaan-Nya. Sedangkan tauhid mengandung makna
pengagungan sebelah, tetapnya pengertian Ilahiah (Ketuhanan) dan ubudiah
(peribadahan). Sehingga dengan adanya pengingkaran bahwa manusia tidak dapat
mencintai Tuhan, tercampaklah makna Ilahiah. Dan dengan adanya pengingkaran
bahwa seorang hamba bisa berbuat, beribadah dan mencintai Tuhan, terhapuslah
pengingkaran untuk mencintai-Nya. Karena anda menyifati Allah bahwa Dia
memerintahkan hamba-Nya dengan apa-apa yang tidak dapat ia melakukannya dan Dia
melarang hamba-Nya dari apa-apa yang ia tidak mampu meninggalkannya bahkan
Allah-lah yang memerintahkan untuk melakukannnya dn Dia juga yang melarang
untuk melakukannya. Kemudian manusia disiksa dengan siksaan yang
sedahsyat-dahsyatnya atas apa-apa yang dilakukannya dalam keterpaksaan,
sedangkan dijelaskan bahwa siksaan itu sebagai akibat meninggalkan apa-apa yang
diperintahkan dan melakukan bagi apa-apa yang dilarangnya. Siksaan seperti bisa
diumpamakan siksan lagi bagi seseorang yang tidak bisa melakukan perintah untuk
terbang ke langit, memindahkan gunung dari tempatnya, atau perintah memindahkan
air laut. Perkataan anda bahwa Allah Swt membebani hamba-Nya laksana perintah
kepada seorang buta untuk menulis. Maka Tuhan akan marah terhadap orang yang
anda seru ke arah pemikiran seperti itu dan anda akan didakwa bahwa andalah
yang menetapkan tauhid seperti itu; anda telah mencabut pohon tauhid dari
pangkalnya. Adapun pertentangan faham Jabariah dengan Syari’at cukup jelas,
karena hukum-hukum syariat dibangun di atas perintah dan larangan. Jika pemberi
perintah dia sendiri yang melakukan perintah tersebut dan dia sendiri yang
melanggar larangannya, maka hal itu merupakan hal yang jelas sia-sia. Karena
sesunguhnya perintah dan larangan tersebut selalu berkaitan dengan segala
perbuatan manusia baik dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan. Seandainya
manusia dalam keadaan terpaksa maka bagaimanakah dapat dikatakan bahwa
seseorang berbuat taat atau maksiat jika hakikat ketaatan dan kemaktiatan tidak
ada, maka tidak ada pula pahala dan siksaan. Dan apa-apa yang akan diperbuat
Allah pada hari kiamat untuk memberi pahala atau siksaan kepada manuisa
merupakan hukum-hukum yang berlaku karena kehendak Allah Semata-mata bukan
karena disebabkan ketaatan atau kemaksiatannya”.
Kaum Jabariah berkata, “Jika seorang
hamba melakukan kegiatan, adakalanya yang menentukan adalah Allah atau hamba
itu sendiri, atau bisa juga kedua-duanya. Yang pertama, yang menentukan adalah
Allah bukan hamba seperti itulah pendapat kami, dan itulah hakikat faham
Jabariah. Sedangkan jika yang menentukan si hamba dengan sedirinya, maka hal
itu telah mengingkari kekuasaan Allah Swt, maka Dia tidak bersifat kuasa atas
segala sesuatu. Si hamba yang lemah sebagai makhluk menjadi kuasa melakukan
apa-apa yang tidak bisa dilakukan penciptanya. Itulah faham Qadariah yang telah
merusak tauhid. Kemudian jika yang menentukan adalah Allah dan hamba-Nya secara
bersamaan artinya ditentukan oleh dua kekuatan dan pengaruh. Tetapi mustahil
dua pengaruh berkumpul bersama-sama sedangkan masing-masing berdiri sendiri.”
Kaum Sunni berkata, “Banyak bukti
bahwa kekuasaan Allah Swt mencakup keseluruhan yang mungkin seperti dzat-dzat,
sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan banyak pula bukti bahwa seorang hamba bisa
berbuat sesuatu karena usaha dan kehendaknya. Telah jelas bahwa mutahil sesuatu
dihasilkan dengan sendirinya di antara dua pengaruh yang masing-masing berdiri
sendiri.jelas pula kemustahilan adanya pengaruh tanpa ada yang mempengaruhi.
Hal-hal tersebut telah ditetapkan Allah dalam akal dengan tanpa ada
pertentangan. Dan tidak boleh hanya diterima sebagian-sebagian karena satu sama
lain saling membenarkan.hanya saja akan timbul pertentangan bagi orang yang
lemah pemahamannya, wlaupun banyak bicaranya, tapi semakin banyak pula
keraguannya. Sedangkan ilmu berada di belakang keraguan. Dalam masalah ini
benar adalah bahwa suatu aktivitas dengan kemampuan seorang hama dan
keinginannya yang telah dijadikan Allah sebagai potensi dalam diri hamba
tersebut. Karena Allah Swt jika menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu
maka diciptakanlah kemampuan dan faktor-faktor penunjang untuk dapat melakukan
sesuatu tersebut. Dan perbuatan tersebut disandarkan kepada kemampuan si hamba
yang disandarkan kembali kepada kekuasan penciptanya sehingga dengan demikian
pengaruh antara dua kekuatan pada satu bidang yang sama tidak akan terjadi. Dan
pengertian bahwa suatu perbutan bisa dipengaruhi dua kekuatan yang masing-masing
berdiri sendiri adalah pengertian yang rusak, karena dibayangkan masing-masing
kekuatan sama kuat. Kekuasaan Allah tidak pernah berhenti, karena bersifat
sempurna dan mencakup keseluruhan. Di alam ini tidak ada sesuatu pun yang
terlepas menentukan ada pencipta selain Allah atau menentukan eksistensi
makhluk tanpa penciptanya.
Kaum
Jabariah berkata, “Kesesatan dan kebodohan orang kafir menurut kaum Qadariah
adalah makhluk Allah yang ada karena diadakan-Nya. Seandainya begitu, maka
tentu Allah dalam mengadakan hal itu memiliki tujuan tertentu. Sedangkan tujuan
itu merupakan salah satu keharusan terjadinya perbuatan. Dengan demikian,
walaupun manusia berakal tetapi tidak bisa menentukan dirinya berada dalam
kesesatan atau kebodohan dan tidak bisa pula melakukan sesuatu atas ikhtiarnya.
Kemudian kaum Sunni menjawab,
“Sungguh aneh pendapat itu wahai kaum Jabariah. Seorang hamba yang melakukan
kekafiran atau kezaliman itu tidak berdosa dan itu semua karena telah
ditentukan Allah. Aneh pula pendapatmu bahwa seorang yang berakal tidak bisa
memilih apa ia dapat memiliki kekafiran dan kebodohan baginya. Sedangkan kamu
lihat banyak orang yang berbuat ingkar dan hasud sedangan ia tahu jalan yang
lurus dan benar. Ia mengikuti hawa nafsu dan kebodohannya dia menentang jalan
lurus yang diberi petunjuk; ia menempuh jalan kesesatan, menjauhi jalan
kebenaran padahal ia sama-sama melihat kedua jalan tersebut”.
Allah Swt berfirman, “Aku akan
memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang
benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beiman kepadanya.
Dan jika mereka mlihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak akan
menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus
menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dan mereka selalu lalai daripadanya”.[49] Dan masih banyak lagi ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan ini.[50] Begitulah Allah Swt banyak menjelaskan
tentang adanya ikhtiar mansuia dalam hal kesehatan dan kekafiran dengan
bersandarkan pengetahuannya. Begitulah memang banyak orang yang bermaksud
meniti suatu jalan yang disangkanya terang padahal jalan tersebut adalah sesat
dan gelap gulita.
4.
Sistem Qadariyah
Manusia
harus bebas menentukan nasibnya sendiri, memilih amal yang baik atau yang
buruk. Kalau Allah itu adil mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan
menghukum orang yang beramal buruk. Jika dia telah menentukan semua nasib
manusia sebelumnya itu, kemana ke-Adilan-Nya?
Jadi
berlawanan dengan Jabariyah, karena menurut Qadariyah manusia itu harus bebas
merdeka memilih amalnya sendiri, bahkan berpendapat bahwa sesatlah orang yang
berpendapat bahwa semuanya itu adalah takdir yang berlaku atas nasib manusia,
dalam arti selamat tidaknya seseorang telah ditentukan Allah sebelumnya.
Mengapa sesat? Karena menentang keutamaan Allah dan menganggapnya sebagai sebab
kejahatan amal manusia, padahal Dia mustahil jahat.
Jadi
baik atau buruk itu adalah atas usaha sendiri. Allah Maha Suci, sedangkan
mahluk tidak suci dari dosa. Pendapat ini muncul disebabkan agar
ke-Maha-Suci-an Allah itu tidak ternoda jika makhluk melakukan kejahatan.
Karenanya, di tangan manusia sendirilah membentang jalan menuju sa’adah
dengan pemilihan akalnya dan atas keadilan-Nya manusia diberi pahala karena
amalnya yang baik itu.
Untuk
mengatasi dua pendapat tersebut, yaitu sistem Jabariyah dan Qadariyah,
hendaknya kita memperhatikan firman Allah dalam surat al-Ra’d ayat 11 dari awal
sampai selesai ayat tersebut, tidak sepotong-sepotong.
5.
Sistem Sufiyah
Dalam
penilaian akhlak itu para shufi berpendapat bahwa dalam pendidikan akhlak itu
tersusun dari tiga fase:
1.
Fase Takhally atau Takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah
yang terdapat dalam diri manusia. Thakliyah dzahiriyah yaitu menjauhkan
diri dari kejahatan 7 macam anggota ma’siyat dzahir. Disediakan 7 neraka tempat
kembali mereka yang melakukan kejahatan tersebut. Ketujuh anggota tersebut,
ialah: faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian takhliyah
batiniyah yang didahului dengan taubat, yaitu mohon ampun kepada
Allah dengan membaca istighfar, menyesal berbuat jahat, berjanji tidak akan
mengulanginya lagi, dan apabila dosa tersebut ada hubungannya dengan sesama
manusia, hendaknya mohon amaf dengan orang yang bersangkutan. Apabila tidak
dibersihkan dengan taubat, maka akan bertambahlah najasah ma’nawiyah
dekat kepada muhlikat, yaitu kikir yang ditaati, hawa nafsu yang
diikuti, dan merasa hebat atas usahanya sendiri. Demikian pula akan jauh dari munjiyat,
yaitu berat akan menyebarkan salam, berat melakukan shalat malam, dan tidak mau
memberikan makanan bagi orang-orang miskin. Bersihkanlah diri kita dengan
taubat dan ikhlas.
2.
Fase Tahally, yaitu mengisi jiwa dengan sifat mahmudah, yang merupakan ibadat
qalbi, juga didahului dengan taubat disertai dengan persyaratannya.
Kemudian dapat menumbuhkan sifat-sifat: amanah, ‘afwu, khair,
khauf, khusyu’, haya, hilm, ikhlas, mahabbah,
rahmah, zuhud, dan dzikir maut. Hiasilah diri kita dengan taqwa, hati dengan
siddiq.
Fase
Tajally, yaitu jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, yaitu
hijab tersingkap menjelma kasyaf. Fase terakhir ini merupakan hasil usaha dalam
fase pertama dan kedua. Memang meskipun dalam diri manusia itu banyak
kecenderungan untuk melakukan kebaikan dari pada kejahatan, namun usaha yang
pertama dan utama adalah menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan
larangan Allah lebih berat dari pada mengerjakan suruhan-Nya. Hal ini terjadi
karena pengaruh lingkungan. Oleh kerena itu orang tua harus menanamkan kebaikan
kepada anak-anaknya sedini mungkin agar pengaruh negatif dari lingkungan itu
dapat terhindarkan. Dan memang meninggalkan larangan itu harus sekaligus.
[1]
Luwis Ma’luf. Al-Munqid fi al-Lughah. (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
t.t.). Cetakan X. hal. 207.
[2]
Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban. (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina. 1995). Cetakan II. hal. 17.
[3]
Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Kairo.
Tp. 1951. hal. 48; lihat pula bukunya Harun Nasution. Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta. UI-Press. Cetakan
kelima. 1986. hal. 38; atau Rosihon Anwar dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam: Untuk
IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung. CV. Pustaka Setia. Cetakan II. Januari 2003.
hal. 77-78.
[4]
Abu Mansur al-Baghdadi. Al-Faruq bain al-Firaq. (Kairo: Maktabah
Subeih). hal. 20 dan 21.
[5]
Ahmad Mahmud Subhi. Fi ‘Ilm al-Kalam. (Kairo: t.tp. 1969). hal. 75.
[6]
Ibid. hal. 76.
[7]
Ahmad Amin. Fajr al-Islam. (Kairo: al-Nahdah. 1965). hal. 290.
[8]
Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
(Jakarta: UI Press. 1986).
[9]
Abd al-Rahman Badawi. Al-Turas al-Yunani fi al-Hadarah al-Islamiyah.
(Kairo: t.tp. 1965). Hal. 185.
[10]
Al-Nasysyar. Nisy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam. (Kairo: t.p. 1966).
hal. 429-430.
[11]
Harun Nasution. Teologi Islam … hal. 42.
[12]
Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul al-Khamsah. (Kairo: Maktab Wahbah.
1965). hal. 196.
[13]
Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 46.
[14]
Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H.) adalah maula Abd al-Qais, seorang tokoh Mu’tazilah
aliran Basrah.
[15]
Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 49.
[16]
Adalah Abu Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i wafat 195 H.
[17]
adalah Abu Hasyim Abd al-Salam anak al-Jubba’i, wafat tahun 321 H. Keduanya
adalah tokoh Mu’tazilah aliran Basrah.
[18]
Harun Nasution. Teologi Islam … hal. 135-136.
[19]
Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Maqalat Islamiyin wa Ikhtilaf al-Musallin.
(Kairo: Maktabah al-Baghdad al-Misriyah. 1969). hal. 178.
[20]
Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 217.
[21]
Q.S. al-Syura, [42]: 9.
[22]
W. Montgomerry Watt. Early Islam. (Edinburg: Edinburgh University Press.
1990). hal. 86; M.Th. Houtsma. et. al. First Encyclopedia of Islam.
jilid VI. (Leiden: E.J. Brill). hal. 791.
[23]
Q.S. Shad, [38]: 75.
[24]
Q.S. al-Ma’idah, [5]: 64.
[25]
Q.S. al-Rahman, [35]: 27.
[26]
Q.S. Thaha, [20]: 5.
[27]
Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 227.
[28]
Ibid. hal. 253.
[29]
Q.S. al-Qiyamah, [75]: 22-23.
[30]
Montgomerry Watt. Early Islam … hal. 87.
[31]
Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Manar.
1991). hal. 122.
[32]
Ibid. hal. 127.
[33]
Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 54.
[34]
Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq … hal. 128.
[35]
Q.S. al-Syu’ara, [26]: 29.
[36]
Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq … hal. 130-131.
[37]
Ibid. hal. 138-139.
[38]
Houtsma. First Encyclopedia … hal. 792.
[39]
Tosihiko Izutsu. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. diterjemahkan
oleh Agus Fahri Husein dkk.( Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994). Cet. I.
[40]
Ibid. hal. 53.
[41]
Ibid.
[42]
Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 48.
[43]
Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 86-87; Tosihiko Izutsu. Op.cit.
hal. 257-260; dan Harun Nasution. Op.cit. hal. 58
[44]
Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 142-143.
[45]
Izutsu. Konsep Kepercayaan … hal. 257-258.
[46]
Ibid. hal. 259-260.
[47]
Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 82. lihat pula W. Montgomery
Watt. Early Islam. Edinburgh. Edinburgh University Press. 1990. hal. 86.
dan M.T.H. Houtsma, et.al. First Encyclopedia of Islam. Jilid VI. E.J.
Brill. Leiden. t.t. hal. 791.
[48]
Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 83-84. baca juga Mahmud
Mazru’ah. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Kairo. Dar al-Manar. 1990. hal.
122.
[49] Q.S. al-A’raf, [7]: 146.
[50] Lihat misalnya Q.S.
Fushshilat, [41]: 17; al-Naml, [27]: 13;
al-Ankabut, [29]: 38; al-Syura, [42]: 20;
dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar