Rabu, 31 Agustus 2011

Sistem Penilaian Akhlak


    Naluri manusia yang paling kuat yang merupakan hidayah fitriyah adalah ingin mempertahankan hidupnya di dunia ini, meskipun disadarinya bahwa hidup di dunia ini terbatas, karena setiap manusia akan merasakan mati. Naluri semacam ini dimiliki juga oleh binatang. Lebih dari itu manusia ingin mencapai kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang itu relatif, akan tergantung kepada kepercayaan manusia itu sendiri secara perorangan, dan atau apa yang merupakan cita-citanya, dan juga akan tergantung kepada kepribadian bangsanya.
         Aliran materialisme berkeyakinan bahwa kehidupan yang lebih baik atau dengan kata lain kebahagian, berpusat pada kesempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan bahwa kebahagian akan tergantung kepada kepuasan jiwa. Para filusuf pada umumnya berpendapat bahwa kebahagian akan dicapai dengan kemampuan akal manusia, karena akal itu satu-satunya sinar yang bertindak selaku kompas menuju kepada jalan yang benar.

      Kebahagiaan yang diharapkan oleh umat Islam adalah keutamaan dan keridlaan Allah Swt., kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikkan di akhirat.
     Ada beberapa sistem penilaian akhlak yang antara lain:

1.      Sistem Ahli Sunnah

         Segala awamir (perintah-perintah) yang dima’rufkan Allah adalah baik dan segala nawahi (larangan-larangan) yang dimunkarkan Allah adalah buruk. Tidak ada kebaikkan atau keburukan  secara absolut, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah Swt. Adapun yang bersifat mutlak ialah kekuasaan dan keadilan Allah Swt. Yang terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib, maka kekuasaan-Nya tidak wajib lagi. Itulah sebabnya di antara ahli kalam membedakan antara sifat-sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal yang jumlahnya 13 atau 20 dengan Asma’ al-Husna, yang berjumlah 99.
        Setiap pribadi mempunyai kasab dan ikhtiar yang tidak terlepas dari kadar serta ilmu dan iradat-Nya. Kasab di sini adalah usaha dengan adanya niat dalam segala perbuatan. Adapun iman dalam kombinasi dari ucapan, pembenaran hati dan perbuatan anggota, merupakan dasar dalam menilai segala perbuatan manusia. Manusia yang berdosa dan ia meninggal sebelum ia bertaubat, namun ia tetap mengakui sebagai muslim, maka persoalannya terserah kepada Allah Swt. Dan mereka itu dikelompokkan kepada manusia yang berdosa, dan Allah mungkin memberi ampunan atau menyiksanya.

2.      Sistem Mu’tazilah

      Sebelum membicarakan sistem penilaian menurut Mu’tazilah, terlebih dahulu sedikit kita ketahui siapa Mu’tazilah itu. Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kata i'tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan. Golongan Pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[2]
       Golongan kedua (mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Beberapa versi tentang pemberian nama mu’tazilah II ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah, ketika Wasil bin ‘Atha dan temannya ‘Amr bin ‘Ubaid sedang mendengarkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Hasan al-Basri, datang seseorang bertanya mengenai pendapat Hasan al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka tetap mu’min, ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan, “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mu’min dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di Masjid itu, di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan, Wasil telah menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[3]  
       Versi lain dikemukakan oleh al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini dinamakan mu’tazilah.[4]
     Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan mu’tazilah.[5]
   Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan al-Basri. Mereka diberi nama mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).[6] Dalam artian mereka  memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
       Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana: Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (i'tazala ila Kharbita). Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri ini dengan Mu’tazilin, sedang Abu al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.[7]  
          Dengan demikian, kata i'tazala dan mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[8
          Seorang orientalis Itali, C.A. Nallino mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya” sebagaimana pendapat al-Syahrastani, al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral di antara Khawarij dan Murji’ah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan yang erat dengan Mu’tazilah I.[9] Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami al-Nasysyar yang mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.[10] Untuk lebih jelas bisa dilihat skema berikut.
       Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.[11] Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka menamainya juga al-Mu’tazilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.


Pancasila Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah ini dikenal dengan al-ushul al-khamsah, yang oleh Harun Nasution diistilahkan sebagai Pancasila Mu’tazilah. 
  1.      Al-Tauhid
  
Al-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip yang paling utama dan sekaligus merupakan intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin al-tauhid ini. Namun, bagi aliran Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu apapun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Hanya Tuhanlah satu-satunya  yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim (Terdahulu). Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[12]

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme: tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Maha Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan lain sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya sendiri. Menurut mereka, bahwa  sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Atha (salah seorang tokoh penting Mu’tazilah), seperti dikutip oleh al-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan.”[13] Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.


Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu al-Hudzail[14] berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri.”[15] Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu baru (diciptakan); al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara al-Jubba’i[16] dan Abu Hasyim[17] atas pernyataan, “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah bahwa untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.[18]
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy al-sifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles,[19] agaknya beralasan bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa al-tawhid (pengikut faham keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.[20]
Penolakan terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan al-Qur’an yang berbunyi:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

“Tak ada satu pun yang menyamai-Nya.”[21]

Memang tidak dapat dibantah bahwa Mu’tazilah sebagaimana aliran lain, telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Namun hal itu tidak kemudian menjadikannya sebagai pengikut buta Hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran Hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya, yakni para Muhaddisin Rafidah Manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan India.[22]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini. Misalnya, kata-kata tangan[23] diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan[24] dapat diartikan nikmat. Kata wajah[25] diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy[26] diartikan kekuasaan.[27]
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan memiliki ruang. Andaikata Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun Dia dapat dilihat oleh mata kepala.[28] Oleh karena itu, kata melihat[29] ditakwilkan dengan mengetahui (know).[30]

2.      Al-‘Adl

        Al-‘adl berarti Tuhan Mahaadil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Mahasempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (al-salah) dan terbaik (al-aslah) dan bukan yang tidak baik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini:

i.        Perbuatan Manusia

Menurut Mu’tazilah, manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.[31] Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik dan buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan terlepas dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memilki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu, apapun yang akan diterima manusia diakhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.

ii.      Berbuat baik dan terbaik

Berbuat baik dan terbaik secara bahasa adalah al-salah wa al-aslah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna.[32] Bahkan menurut al-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.[33] Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Artinya bila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti Ia tidak bijaksana, pelit, kasar dan kejam.[34]

iii.    Mengutus rasul

Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:

1)  Tuhan berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)    Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untk memberikan belas kasih kepada manusia.[35] Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus seorang utusan, rasul.
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[36]

3.      Al-Wa’ad wa al-Wa’id

Ajaran ini berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang durhaka (al-asl). Begitupun janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nashuha pasti benar adanya.[37]
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bia ia taubat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan tehadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.[38] Ajaran ini tampaknya bertujuan untuk mendorong manusia agar mau berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

4.      Al-Manzilah bain al-manzilatain

        Inilah ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakni berkenaan dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan belum bertobat, dengan status bukan lagi mukmin atau pun kafir, munafiq, tetapi fasik.[39] Hanya saja bila belum bertobat, ia akan dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya, tetapi siksanya lebih ringan dibanding orang kafir.  Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebgai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Atha lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada di antara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Wasil bin Atha dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i'tazal) dari majelis gurunya, Hasan al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut, “Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).”[40] Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[41]
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan daripada orang kafir.[42] Ini mendorong manusia agar tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.

5.      Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar

         Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Dan konsep ini ternyata bukan hanya monopoli mereka saja, tetapi seluruhnya karena demikian al-Qur’an mengajarkan. Yang membedakan dengan madzhab ini adalah jika diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang kemakhlukan al-Qur’an yang mengorbankan banyak ulama, semisal Ahmad bin Hanbal.[43]
Ada beberapa syarat yang sebenarnya harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd al-Jabbar, walau pada masa mihnah (kemakhlukan al-Qur’an) sepertinya tidak dilaksanakan, yaitu berikut ini:

i.        Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
ii.      Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
iii.    Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
iv.    Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.[44]

Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam al-Qur’an. Arti asal al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.[45] Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.[46]
Aliran inilah yang pertama kali menggunakan metode filosofis untuk mempertahankan aqidah Islam dari serangan luar maupun dalam Islam. Ini dikarenakan pertemuannya dengan dan pengaruh filsafat Yunani.[47] Oleh karena itu, menurutnya, untuk membuktikan segala sesuatu hanya bisa dengan menggunakan rasio bukan dengan wahyu karena wahyu hanya memberikan informasi saja.
            Untuk membuktikan kerasionalitasan Mu’tazilah kita bisa melihat contoh yang diajukan oleh mereka. Misal, ketika membuktikan keesaan Allah Swt adalah dengan melihat bahwa sebuah kekuasaan negara contohnya, apabila dalam sebuah negara terdapat dua orang yang berkedudukan sama-sama sebagai presiden, maka yang akan terjadi tentunya adalah pertentangan dan kekacauan, ini karena ada dua watak yang berbeda yang suatu saat tidak bisa dikompromikan dan disatukan, sementara salah satu dari mereka tidak ada yang mau mengalah, merasa paling lebih, paling berkuasa, paling mampu dan sebagainya. Untuk ketentraman negara yang diperlukan pun tentu hanya satu presiden saja. Dus keesaan Tuhan adalah muthlaq dan harus, karena bila ada dua Tuhan akan terjadi pertentangan antar Tuhan sendiri, berebut pengaruh dan kekuasaan, dan terjadi pertentangan pada umat manusia dalam peribadatannya. Ini akan mengacaukan dunia.
            Contoh lain tentang kausalitas, Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia, seperti terjadinya hujan. Dimana hujan terjadi karena adanya tumpukan awan yang dipertemukan oleh dorongan angin dan dihalangi oleh gunung. Karenanya yang lebih banyak curah hujannya adalah daerah gunung.
            Batu apabila dilempar keatas pasti jatuh, dan bila ditaruh diair pasti tenggelam. Dikarenakan gaya grafitasi bumi, dan berat daya batu.            Manusia bebas berkehendak, Allah tidak ikut campur atas kehendak manusia. Contohnya bila manusia akan duduk, maka ia pun duduk. Dan bila manusia akan mengambil sesuatu atau tidak maka ia pun akan mengambilnya tanpa ada kehendak Tuhan. Ini juga bukti kerasionalitasan Mu’tazilah.     Demikian pula dalam kehendak baik dan buruk, beriman dan tidak beriman (kafir), masuk surga dan masuk neraka.[48]
            Berkenaan dengan mu’jizat, Mu’tazilah pun tidak mengakuinya, tetapi mereka merasionalkannya. Seperti tongkat dipukulkan ke lautan dan terbelah sehingga Musa selamat dari kejaran Fir’aun. Menurut mereka laut merah waktu itu sering turun salju, sehingga yang dimaksud memukul laut disini adalah memukul salju. Salju mana yang bisa diinjak dan yang tidak, Musa “diberi” pengetahuan tentang ini, dan Fir’aun tidak, karenanya Fir’aun tidak selamat.
            Dan Isa yang menghidupkan orang mati, maksudnya Isa mengerti dan paham mana orang yang mati atau pingsan. Sedang kaumnya tidak.
Di zaman ini mungkin yang mempunyai kemiripan dengan ini adalah Muhammadiyyah dalam bidang sosial, pendidikan dan kemasyarakatannya, dan NU dilihat dari Gus Dur-nya dalam satu sisi, serta anak-anak mudanya terutama Ulil Abshar Abdala dengan JIL-nya, Harun Nasution pun ada yang mengelompokkan ke dalamnya, tetapi pada dasarnya hampir semua kita mungkin saat ini lebih dekat dengan ini alih-alih mungkin termasuk pada kelompok ini tentu dilihat dari segi kerasionalitasan.
Kembali pada penilaian akhlak menurut Mu’tazilah, bahwa manusia bebas untuk bertaubat, dan segala amal manusia harus diganjar oleh Allah Swt. Demi keadilan-Nya (tentunya amal salih). Apabila manusia tidak bebas melakukan perbuatannya, ini berarti Allah Swt tidak adil. Demikian pula apabila Allah meminta pertanggungjawaban manusia atas amalannya.
Tuhan bermaksud baik dengan mengadakan alam ini dan bermaksud pula membahagiakan manusia dengan menciptakannya. Untuk itu Allah mengutus para Rasul guna memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai sa’adah. Diutusnya para Rasul adalah wajib (Ahl al-Sunnah menyebutnya Rahmat Allah), jadi bukan semata-mata merupakan Rahmat-Nya, dan manusia bebas merdeka untuk mentaati atau tidak mentaati kepada Rasul itu. Masing-masing mereka akan memperoleh balasan sesuai dengan sikap yang dipilihnya. Keadilan Tuhan adalah lengkap meliputi segenap manusia inklusif seluruh alam semesta.
Sesuatu itu baik dengan bukti bahwa Allah memerintahkan untuk dilaksanakan, dan sebaliknya jika buruk tentunya Allah melarang untuk dikerjakannya. Untuk mengetahui hal itu dia menganugerahkan akal kepada manusia sebagai alat pikir untuk memilih sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Dan agar manusia tidak salah pilih maka Allah menurunkan wahyu-Nya melalui para Rasul sebagai petunjuk bagi manusia.

3.      Sistem Jabariyah

Para ulama pada masa sahabat maupun masa Bani Umayah telah banyak berbicara tentang masalah taqdir dan kekuasaan Allah Swt. Sekelompok ulama beranggapan bahwasanya manusia tidak dapat menciptakan segala perbuatannya dan tidak ada sesuatu perbuatapun yang bisa dinisbatkan kepada manusia. Yang menjadi landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada hakikatnya perbuatan seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah Swt. Karena seorang hamba tidak diminta untuk taat tetapi dipaksa untuk melakukan segala perbuatanya di luar kehendak dan usahanya. Allah Swt menciptakan segala perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh materi. Segala perbuatan sebagaimana segala materi secara majazi dinisbatkan kepada Allah, seperti dikatakan pohon itu berbuah, air mengalir, batu itu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit berawan dan menurunkan hujan, tanah menjadi subur dan di atasnya tumbuh tanam-tanaman, dan sebagainya. Adanya pahala dan siksaan adalah bersifat paksaan.
Allah Swt yang memberikan vonis, yaitu menentukan dan memutuskan segala amal manusia, di mana amal itu berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya semata, sedangkan manusia tidak berdaya apa-apa. Kodrat dan iradat-Nya merupakan lemari es yang membekukan, memblokir dan menstatir semua kekuasaan manusia di mana pada hakikatnya semua amal manusia merupakan paksaan dari Allah Swt. Sedikitpun manusia tidak ikut serta menentukan baik atau buruk amalnya, meskipun pada akhirnya manusia akan menerima pahala surga atau siksa neraka.
Pemberian surga atau neraka kepada manusia bukanlah merupakan ganjaran atas pelaksanaan kebajikan yang di-awamir-kan, atau sebagai balasan keburukan yang di-nawahi-kan Allah, akan tetapi kedua-duanya adalah sebagai hujjah atau dalil (tanda) kebesaran Allah yang tercakup dalam kodrat dan iradat sebagai sifat-Nya. Jadi kemahakuasaan-Nya yang absolut tidak berkurang.
Ibn Hazm mengemukakan hujjahnya, “Mereka berhujjah dan mengemukakan bahwa karena perbuatan Allah Swt tidak menyerupai perbuatan makhluknya, maka mesti seseorang tidak dapat membuat yang lainnya. Mereka juga mengemukakan pengertian penyandaran  perbuatan kepada manusia hanyalah sebagaimana dikatakan Zaid telah wafat, padahal Allah-lah yang mewafatkannya; bangunan itu telah berdiri, padahal Allah-lah yang telah mendirikannya”.
Para sejarawan telah banyak berbicara dalam menjelaskan siapa sebenarnya yang terlebih dahulu memiliki pendapat seperti di atas dan menyebarkannya, mereka berkeyakinan bahwa suatu pendapat yang telah menjadi sebuah mazhab, sulit untuk dilacak siapa orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tersebut. Oleh karena itu, kita kesulitan dalam menyatukan prinsip pemikiran tersebut. Akan tetapi kita bisa menetapkan bahwa faham Jabariah telah tersebar pada masa awal pemerintahan Bani Umayyah, sehingga pada akhir masa tersebut telah menjadi sebuah mazhab. Berikut ini kita akan mengemukakan buah pemikiran dua orang ulama besar yang hidup pada masa awal pemerintahan Bani Umayyah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Murtadha dalam kitabnya al-Muriyah wa al-Amal.
Salah satunya pendapat Abdullah bin Abbas ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah penduduk Syam dan meminta mereka agar menginggalkan pendapat tersebut ia berkata, “Amma ba’d, mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa sedangkan kalian menyesatkan mereka; kalian melarang orang-orang berbuat maksiat sedangkan kalian menampakkan kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum munafik, penolong kaum zalim, dan penjaga masjid-masjid kaum fasik, kalian hanya membuat-buat kedustaan kepada Allah, kalian mesti bertanggung jawab atas dosa-dosa kalian kepada Allah”.
Yang kedua yaitu surat Hasan Bashri bagi kaum Jabariah penduduk Basrah. Di antar isinya adalah, “Barang siapa tidak beriman kepada Allah, kepada qadha dann qadarnya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa membebankan dasarnya kepada Tuhannya maka telah kafir. Sesungguhnya Allah tidaklah ditaati dan didurhakai secara paksa karena Dia adalah raja dari segala raja, dan penguasa dari segala penguasa. Jika orang-orang taat kepada-Nya tidaklah Dia menghalangi mereka dan jika mereka durhaka kepada-Nya, bila Dia menghendaki pasti menghalanginya. Maka jika mereka tidak mendurhakai-Nya, Allah tidaklah memaksa, untuk itu jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya maka mereka pasti tidak akan mendapatkan pahala dan andaikata mereka dipaksa untuk berbuat kemaksiatan maka pasti mereka tidak akan disiksa. Akan tetapi semua orang tidaklah dipaksa oleh kehendak Allah. maka jika mereka taat kepada-Nya maka Allah pasti akan merahmati mereka”.
Dalam hal ini, Ibn Abbas dan al-Hasan menolak pendapat orang-orang yang berpendirian bahwasannya manusia berada dalam keterpaksaan dalam melakukan segala perbuatannya.
Diriwayatkan dari Ali bin Abdullah bin Abbas yang mengemukakan bahwa, “Suatu hari saya sedang duduk di dekat bapak saya, tiba-tiba datanglah seorang pria dan berkata, ‘Wahai Ibn Abbas, di sekitar sini ada suatu kaum yang berpendapat bahwa mereka hanyalah melakukan apa-apa yang telah ditentukan Allah bagi mereka. Dan bahwasannya mereka dipaksa Allah untuk berbuat kemaksiatan’. Maka Ibn Abbas menjawab, ‘Seandainya aku tahu bahwa di sini ada pengikut mereka, maka pasti akan kuikat orang tersebut dengan rantai dan tidak kulepas hingga melepaskan nyawanya. Kalian janganlah mengatakan bahwa Allah memaksa manusia untuk berbuat maksiat dan jangan pula mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa-apa yang diperbuat para hambanya”.
Pendapat tersebut sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi pada awalnya dengan perantara ucapan kaum musyrikin sebagaimana dijelaskan al-Qur’an al-Karim. Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah pendapat tersebut menjadi sebuah mazhab yang mulai banyak dianut orang. Mereka gambarkan dan mereka ajarkan terhadap orang-orang disekitarnya. Para ulama berpendapat bahwa orang yang pertama kali melakukan hal itu adalah beberapa orang kebangsaan Yahudi. Lalu mereka mengajarkan kepada beberapa orang muslimin, orang-orang itulah yang kemudian menyebarkannya lebih lanjut. Dikatakan bahwa orang yang pertama kali mendakwahkan pendapat tersebut dari kaum muslin adalah al-Ja’d bin Dirham yang telah menerimanya dari seorang Yahudi di Syria, kemudan ia menyebarkannya kepada penduduk Basrah, yang kemudian diterima oleh al-Jahm bin Shafaran. Pembicaraan tentang al-Ja’d bin Dirham diungkapkan dalam kitab Sarah al-Uyun bahwa, “Al-Jahm bin Shafaran menerima ajaran tersebut dari al-Ja’d yang kemudian ajaran tersebut ia beri nama al-Jahmiyah. Dikatakan pula bahwa al-Ja’d menerima ajaran tersebut dari Ibn bin Sam’an, sedang Sam’an menerima dari Thalut bin A’sham al-Yahudi”.
Dari pembicaraan tersebut, tampaknyalah bahwa ajaran tersebut mulai dikemukakan oleh orang Yahudi pada masa para sahabat. Karena Thalut pada masa Rasulullah Saw telah dilahirkan dan dibesarkan pada masa shabat dan para tabi’in. dan ia telah menemukan kesempatan berharga untuk menyebarkan ajarannya dengan keluar.
Akan tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa ajaran tersebut hanya disebarkan oleh orang Yahudi tadi, karena di kalangan bangsa Persia ide-ide seperti itu sudah ada sebelumnya, seperti berbagai pembahasan yang dikemukakan oleh al-Zaroda Syatiyah dan al-Manawiyah. Dijelaskan dalam kitab al-Maniyah wa al-Amal bahwa, “Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa seorang pria berkebangsaan Persia suatu ketika mendatangi Rasulullah Saw lalu ia berkata, ‘Saya melihat orang-orang Persia banyak menikahi putir-putrinya dan saudara-saudara perempuannya, jika mereka ditegur, ‘Mengapa kalian melakukan hal itu?’ mereka menjawab bahwa hal itu mereka lakukan karena sudah merupakan qadha dan qadar dari Allah’. Maka Rasulullah Saw bersabda, ‘’Di tengah-tengah umatku akan ada orang-orang yang berkata seperti itu. Dan kelompok orang itu merupakan musuh umatku’.
Mazhab tersebut didirikan oleh al-Jahm bin Shafwan yang berkebangsaan Khurasan, yang merupakan penulis bagi Syaikh bin al-Haris yang kemudian keduanya pergi bersama-sama menemui Nashr bin Sayyar. Kemudian al-Jahm pada akhir rezim Bani Marwan dibunuh oleh Muslim bin Ahwaz al-Mazani dalam akhir masa Bani Marwan.
Al-Jahm memusatkan dakwahnya di Khurasan dan sekitarnya. Setelah ia dibunuh, maka dakwahnya diteruskan oleh para pengikutya yang menamakan diri kelompok Nahawand. Mazhab tersebut terus berkembang di Khurasan, hingga suatu ketika dikalahkan oleh mazhab Abu Manshur al-Maturidi,. Ajaran Jahm bin Shofwan bukan hanya merupakan aliran Jabariah, akan tetapi memiliki berbagai ajaran yang lain di antaranya,

i.        Ia beranggapan bahwa surga dan neraka itu tidak kekal, dan tidak ada sesuatu apapun yang bersifat kekal. Dan kekekalan yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah penghunian yang sangat lama.
ii.      Menurutnya keimanan itu merupakan ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Ia berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan dan kufur dalah kebodohan. Atas dasar pendapatnya ini maka orang-orang Yahudi yang mengetahi sifat-sifat Nabi Saw adalah orang-orang beriman. Begitu pula orang-orang musyrik yang meyakininya. Akan tetapi ia berkata bahwa pengakuan mengikuti pengetahuan, maka pengetahuan yang disebut iman tidak hanya gambaran, melainkan pengetahuan yang kuat yang mewajibkan pembenaran dan pengakuan.
iii.    Menurutnya firman Allah Swt itu bersifat baru (hadis) bukan lama (qadim). Berdasarkan pendapat tersebut telah terbentuk pandangan beberapa ulama tentang penciptaan al-Qur’an walaupun ada ulama yang berpandangan lain.
iv.    Allah Swt tak menyifati bahwa Dia adalah sesuatu yang hidup ataupun merupakan alam. Dia berfirman bahwasannya Dia tidak memilki sifat yang boleh digunakan pada segala sesuatu yang baru.
v.      Ia membantah Allah Swt bisa dilihat pada hari qiamat.

Ajaran tersebut banyak diikuti oleh orang-orang. Akan tetapi ajaran yang muncul dan terkenal dengan nama ajaran al-Jahmiyah dan secara langsung telah menjadi faham Jabariah yang mengemukakan bahwasannya manusia tidak memiliki kehendak dan perbuatan. Adapun pendapat-pendapat yang lain banyak juga bercampur dengan ajaran tersebut. Misalnya, tentang al-Qur’an dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah begitu juga tentang pengingkaran sifat Allah.
Para ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (terkemudian) telah berusaha untuk membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan Hasan Bashri dan sebelumnya Ibn Abbas. Beigut juga ajaran Jabariah diingkari oleh banyak kelompok ulama kalam, ahli fiqh dan ahli hadis.
Ibnu Qayyim telah menjelaskan dalam kitabnya Syifa’ al-‘Alil tentang ajaran kaum Jabariah dan perdebatan yang terkandung di dalamnya tentang penggambaran Rasulullah Saw, antara pendapat kaum Jabariah dan Sunni. Di antaranya dikemukakan dalam buku tersebut.
Kaum Jabariah mengemukakan bahwa, “Manusia berada dalam keterpaksaan itu merupakan hal yang mesti untuk meluruskan tauhid. Dan tauhid hanya akan lurus dengan pemahaman seperti itu. Karena jika kita tidak mengatakan bahwa manusia berada dalam keterpaksaan, kita telah menetapkan bahwa manusia bisa melakukan hal-hal yang baru tanpa ada kaitannya dengan Allah. jika menghendaki berbuat apa-apa. Hal itu jelas-jelas merupakan syirik yang hanya bisa dibersihkan dengan faham Jabariah”
            Kaum Sunni kemudian mengemukakan bahwa, “Faham Jabariah bertentangan dengan tauhid, karena bertentangan dengan hukum-hukum syari’at, dakwah Rasulullah Saw, dan dengan adanya pahala dan siksaan. Seandainya faham Jabariah itu benar, maka hukum-hukum syaria’at menjadi batal begitu pula tentang segala perintah dan larangan. Dan dengan batalnya semua itu, menjadi tidak ada pahala dan siksaan”.
            Kaum Jabariah kemudian menjawab,, “Pendapat anda bahwa faham Jabariah bertentangan dengan perintah dan larangan, pahala dan siksaan itu tidak aneh, karena hal seperti itu sudah lazim dikatakan orang. Yang aneh adalah pendapat anda bahwa faham Jabariah bertentangan dengan tauhid sedangkan pengertian seperti dikemukakan Jabariah merupakan aspek tauhid yang terkuat”.
Kaum Sunni menjawab, “Pertentangan ajaran Jabariah dengan tauhid lebih jelas daripada pertentangannya dengan perintah dan larangan. Karena pokok pangkal akidah adalah tauhid yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan bertentangan dengan dua kalimah syahadat tersebut. Tuhan adalah pemilik segala sifat kesempatan dan keagamaan. Dialah tempat curahan hati dan tempat bersandar dalam kecintaan, ketakutan dan harapan. Tauhid yang dibawa oleh para rasul adalah pengesaan Tuhan dengan penuh kerendahan, ketundukan dan kecintaan; dengan sekuat tenaga dalam menaati-Nya dan mencari keridlaan-Nya; lebih mengutamakan untuk mencintai-Nya daripada mencintai sesama manusia. Itulah pokok pangkal dakwah Rasul dan ke arah itulah semua manusia diseru. Itulah tauhid yang Allah Swt tidak akan menerima agama seseorang selain daripada-Nya, baik dari orang-orang pendahulu maupun yang kemudian. Untuk itulah para rasul diperintahkan, kitab-kitab diturunkan, para hamba diseru, bagi mereka diciptakan surga dan neraka karenanya, dan disyari’atkan segala hukum untuk menyempurnakannya. Wahai kaum Jabariah, dari pendapatmu, ‘Sesungguhnya seorang hamba sama sekali tidak memilki kuasa dan kehendak atas segala yang diperbuatnya dan memaksa hamba tidak dapat mencegah apa-apa yang menjunjungkannya. Baginya Allah sama sekali tidak menjadikan jalan lain sehingga hati seorang tidak dapat diarahkan untuk mencintai Allah, merindukan-Nya, dan mencari keridlaan-Nya. Sedangkan tauhid mengandung makna pengagungan sebelah, tetapnya pengertian Ilahiah (Ketuhanan) dan ubudiah (peribadahan). Sehingga dengan adanya pengingkaran bahwa manusia tidak dapat mencintai Tuhan, tercampaklah makna Ilahiah. Dan dengan adanya pengingkaran bahwa seorang hamba bisa berbuat, beribadah dan mencintai Tuhan, terhapuslah pengingkaran untuk mencintai-Nya. Karena anda menyifati Allah bahwa Dia memerintahkan hamba-Nya dengan apa-apa yang tidak dapat ia melakukannya dan Dia melarang hamba-Nya dari apa-apa yang ia tidak mampu meninggalkannya bahkan Allah-lah yang memerintahkan untuk melakukannnya dn Dia juga yang melarang untuk melakukannya. Kemudian manusia disiksa dengan siksaan yang sedahsyat-dahsyatnya atas apa-apa yang dilakukannya dalam keterpaksaan, sedangkan dijelaskan bahwa siksaan itu sebagai akibat meninggalkan apa-apa yang diperintahkan dan melakukan bagi apa-apa yang dilarangnya. Siksaan seperti bisa diumpamakan siksan lagi bagi seseorang yang tidak bisa melakukan perintah untuk terbang ke langit, memindahkan gunung dari tempatnya, atau perintah memindahkan air laut. Perkataan anda bahwa Allah Swt membebani hamba-Nya laksana perintah kepada seorang buta untuk menulis. Maka Tuhan akan marah terhadap orang yang anda seru ke arah pemikiran seperti itu dan anda akan didakwa bahwa andalah yang menetapkan tauhid seperti itu; anda telah mencabut pohon tauhid dari pangkalnya. Adapun pertentangan faham Jabariah dengan Syari’at cukup jelas, karena hukum-hukum syariat dibangun di atas perintah dan larangan. Jika pemberi perintah dia sendiri yang melakukan perintah tersebut dan dia sendiri yang melanggar larangannya, maka hal itu merupakan hal yang jelas sia-sia. Karena sesunguhnya perintah dan larangan tersebut selalu berkaitan dengan segala perbuatan manusia baik dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan. Seandainya manusia dalam keadaan terpaksa maka bagaimanakah dapat dikatakan bahwa seseorang berbuat taat atau maksiat jika hakikat ketaatan dan kemaktiatan tidak ada, maka tidak ada pula pahala dan siksaan. Dan apa-apa yang akan diperbuat Allah pada hari kiamat untuk memberi pahala atau siksaan kepada manuisa merupakan hukum-hukum yang berlaku karena kehendak Allah Semata-mata bukan karena disebabkan ketaatan atau kemaksiatannya”.
            Kaum Jabariah berkata, “Jika seorang hamba melakukan kegiatan, adakalanya yang menentukan adalah Allah atau hamba itu sendiri, atau bisa juga kedua-duanya. Yang pertama, yang menentukan adalah Allah bukan hamba seperti itulah pendapat kami, dan itulah hakikat faham Jabariah. Sedangkan jika yang menentukan si hamba dengan sedirinya, maka hal itu telah mengingkari kekuasaan Allah Swt, maka Dia tidak bersifat kuasa atas segala sesuatu. Si hamba yang lemah sebagai makhluk menjadi kuasa melakukan apa-apa yang tidak bisa dilakukan penciptanya. Itulah faham Qadariah yang telah merusak tauhid. Kemudian jika yang menentukan adalah Allah dan hamba-Nya secara bersamaan artinya ditentukan oleh dua kekuatan dan pengaruh. Tetapi mustahil dua pengaruh berkumpul bersama-sama sedangkan masing-masing berdiri sendiri.”
            Kaum Sunni berkata, “Banyak bukti bahwa kekuasaan Allah Swt mencakup keseluruhan yang mungkin seperti dzat-dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan banyak pula bukti bahwa seorang hamba bisa berbuat sesuatu karena usaha dan kehendaknya. Telah jelas bahwa mutahil sesuatu dihasilkan dengan sendirinya di antara dua pengaruh yang masing-masing berdiri sendiri.jelas pula kemustahilan adanya pengaruh tanpa ada yang mempengaruhi. Hal-hal tersebut telah ditetapkan Allah dalam akal dengan tanpa ada pertentangan. Dan tidak boleh hanya diterima sebagian-sebagian karena satu sama lain saling membenarkan.hanya saja akan timbul pertentangan bagi orang yang lemah pemahamannya, wlaupun banyak bicaranya, tapi semakin banyak pula keraguannya. Sedangkan ilmu berada di belakang keraguan. Dalam masalah ini benar adalah bahwa suatu aktivitas dengan kemampuan seorang hama dan keinginannya yang telah dijadikan Allah sebagai potensi dalam diri hamba tersebut. Karena Allah Swt jika menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu maka diciptakanlah kemampuan dan faktor-faktor penunjang untuk dapat melakukan sesuatu tersebut. Dan perbuatan tersebut disandarkan kepada kemampuan si hamba yang disandarkan kembali kepada kekuasan penciptanya sehingga dengan demikian pengaruh antara dua kekuatan pada satu bidang yang sama tidak akan terjadi. Dan pengertian bahwa suatu perbutan bisa dipengaruhi dua kekuatan yang masing-masing berdiri sendiri adalah pengertian yang rusak, karena dibayangkan masing-masing kekuatan sama kuat. Kekuasaan Allah tidak pernah berhenti, karena bersifat sempurna dan mencakup keseluruhan. Di alam ini tidak ada sesuatu pun yang terlepas menentukan ada pencipta selain Allah atau menentukan eksistensi makhluk tanpa penciptanya.
Kaum Jabariah berkata, “Kesesatan dan kebodohan orang kafir menurut kaum Qadariah adalah makhluk Allah yang ada karena diadakan-Nya. Seandainya begitu, maka tentu Allah dalam mengadakan hal itu memiliki tujuan tertentu. Sedangkan tujuan itu merupakan salah satu keharusan terjadinya perbuatan. Dengan demikian, walaupun manusia berakal tetapi tidak bisa menentukan dirinya berada dalam kesesatan atau kebodohan dan tidak bisa pula melakukan sesuatu atas ikhtiarnya.
            Kemudian kaum Sunni menjawab, “Sungguh aneh pendapat itu wahai kaum Jabariah. Seorang hamba yang melakukan kekafiran atau kezaliman itu tidak berdosa dan itu semua karena telah ditentukan Allah. Aneh pula pendapatmu bahwa seorang yang berakal tidak bisa memilih apa ia dapat memiliki kekafiran dan kebodohan baginya. Sedangkan kamu lihat banyak orang yang berbuat ingkar dan hasud sedangan ia tahu jalan yang lurus dan benar. Ia mengikuti hawa nafsu dan kebodohannya dia menentang jalan lurus yang diberi petunjuk; ia menempuh jalan kesesatan, menjauhi jalan kebenaran padahal ia sama-sama melihat kedua jalan tersebut”.
            Allah Swt berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku),  mereka tidak beiman kepadanya. Dan jika mereka mlihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya”.[49] Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan ini.[50] Begitulah Allah Swt banyak menjelaskan tentang adanya ikhtiar mansuia dalam hal kesehatan dan kekafiran dengan bersandarkan pengetahuannya. Begitulah memang banyak orang yang bermaksud meniti suatu jalan yang disangkanya terang padahal jalan tersebut adalah sesat dan gelap gulita.




4.      Sistem Qadariyah

Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri, memilih amal yang baik atau yang buruk. Kalau Allah itu adil mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan menghukum orang yang beramal buruk. Jika dia telah menentukan semua nasib manusia sebelumnya itu, kemana ke-Adilan-Nya?
Jadi berlawanan dengan Jabariyah, karena menurut Qadariyah manusia itu harus bebas merdeka memilih amalnya sendiri, bahkan berpendapat bahwa sesatlah orang yang berpendapat bahwa semuanya itu adalah takdir yang berlaku atas nasib manusia, dalam arti selamat tidaknya seseorang telah ditentukan Allah sebelumnya. Mengapa sesat? Karena menentang keutamaan Allah dan menganggapnya sebagai sebab kejahatan amal manusia, padahal Dia mustahil jahat.
Jadi baik atau buruk itu adalah atas usaha sendiri. Allah Maha Suci, sedangkan mahluk tidak suci dari dosa. Pendapat ini muncul disebabkan agar ke-Maha-Suci-an Allah itu tidak ternoda jika makhluk melakukan kejahatan. Karenanya, di tangan manusia sendirilah membentang jalan menuju sa’adah dengan pemilihan akalnya dan atas keadilan-Nya manusia diberi pahala karena amalnya yang baik itu.
Untuk mengatasi dua pendapat tersebut, yaitu sistem Jabariyah dan Qadariyah, hendaknya kita memperhatikan firman Allah dalam surat al-Ra’d ayat 11 dari awal sampai selesai ayat tersebut, tidak sepotong-sepotong.

5.      Sistem Sufiyah

Dalam penilaian akhlak itu para shufi berpendapat bahwa dalam pendidikan akhlak itu tersusun dari tiga fase:

1.      Fase Takhally atau Takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Thakliyah dzahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan 7 macam anggota ma’siyat dzahir. Disediakan 7 neraka tempat kembali mereka yang melakukan kejahatan tersebut. Ketujuh anggota tersebut, ialah: faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian takhliyah batiniyah yang didahului dengan taubat, yaitu mohon ampun kepada Allah dengan membaca istighfar, menyesal berbuat jahat, berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan apabila dosa tersebut ada hubungannya dengan sesama manusia, hendaknya mohon amaf dengan orang yang bersangkutan. Apabila tidak dibersihkan dengan taubat, maka akan bertambahlah najasah ma’nawiyah dekat kepada muhlikat, yaitu kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan merasa hebat atas usahanya sendiri. Demikian pula akan jauh dari munjiyat, yaitu berat akan menyebarkan salam, berat melakukan shalat malam, dan tidak mau memberikan makanan bagi orang-orang miskin. Bersihkanlah diri kita dengan taubat dan ikhlas.
2.      Fase Tahally, yaitu mengisi jiwa dengan sifat mahmudah, yang merupakan ibadat qalbi, juga didahului dengan taubat disertai dengan persyaratannya. Kemudian dapat menumbuhkan sifat-sifat: amanah, ‘afwu, khair, khauf, khusyu’, haya, hilm, ikhlas, mahabbah, rahmah, zuhud, dan dzikir maut. Hiasilah diri kita dengan taqwa, hati dengan siddiq.
Fase Tajally, yaitu jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, yaitu hijab tersingkap menjelma kasyaf. Fase terakhir ini merupakan hasil usaha dalam fase pertama dan kedua. Memang meskipun dalam diri manusia itu banyak kecenderungan untuk melakukan kebaikan dari pada kejahatan, namun usaha yang pertama dan utama adalah menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan larangan Allah lebih berat dari pada mengerjakan suruhan-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Oleh kerena itu orang tua harus menanamkan kebaikan kepada anak-anaknya sedini mungkin agar pengaruh negatif dari lingkungan itu dapat terhindarkan. Dan memang meninggalkan larangan itu harus sekaligus.


[1] Luwis Ma’luf. Al-Munqid fi al-Lughah. (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi. t.t.). Cetakan X. hal. 207.
[2] Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban. (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 1995). Cetakan II. hal. 17.
[3] Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal. Kairo. Tp. 1951. hal. 48; lihat pula bukunya Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta. UI-Press. Cetakan kelima. 1986. hal. 38; atau Rosihon Anwar dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung. CV. Pustaka Setia. Cetakan II. Januari 2003. hal. 77-78.
[4] Abu Mansur al-Baghdadi. Al-Faruq bain al-Firaq. (Kairo: Maktabah Subeih). hal. 20 dan 21.
[5] Ahmad Mahmud Subhi. Fi ‘Ilm al-Kalam. (Kairo: t.tp. 1969). hal. 75.
[6] Ibid. hal. 76.
[7] Ahmad Amin. Fajr al-Islam. (Kairo: al-Nahdah. 1965). hal. 290.
[8] Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI Press. 1986).
[9] Abd al-Rahman Badawi. Al-Turas al-Yunani fi al-Hadarah al-Islamiyah. (Kairo: t.tp. 1965). Hal. 185.
[10] Al-Nasysyar. Nisy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam. (Kairo: t.p. 1966). hal. 429-430.
[11] Harun Nasution. Teologi Islam … hal. 42.
[12] Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul al-Khamsah. (Kairo: Maktab Wahbah. 1965). hal. 196.
[13] Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 46.
[14] Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H.) adalah maula Abd al-Qais, seorang tokoh Mu’tazilah aliran Basrah.
[15] Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 49.
[16] Adalah Abu Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i wafat 195 H.
[17] adalah Abu Hasyim Abd al-Salam anak al-Jubba’i, wafat tahun 321 H. Keduanya adalah tokoh Mu’tazilah aliran Basrah.
[18] Harun Nasution. Teologi Islam … hal. 135-136.
[19] Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Maqalat Islamiyin wa Ikhtilaf al-Musallin. (Kairo: Maktabah al-Baghdad al-Misriyah. 1969). hal. 178.
[20] Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 217.
[21] Q.S. al-Syura, [42]: 9.
[22] W. Montgomerry Watt. Early Islam. (Edinburg: Edinburgh University Press. 1990). hal. 86; M.Th. Houtsma. et. al. First Encyclopedia of Islam. jilid VI. (Leiden: E.J. Brill). hal. 791.
[23] Q.S. Shad, [38]: 75.
[24] Q.S. al-Ma’idah, [5]: 64.
[25] Q.S. al-Rahman, [35]: 27.
[26] Q.S. Thaha, [20]: 5.
[27] Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 227.
[28] Ibid. hal. 253.
[29] Q.S. al-Qiyamah, [75]: 22-23.
[30] Montgomerry Watt. Early Islam … hal. 87.
[31] Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Manar. 1991). hal. 122.
[32] Ibid. hal. 127.
[33] Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 54.
[34] Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq … hal. 128.
[35] Q.S. al-Syu’ara, [26]: 29.
[36] Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq … hal. 130-131.
[37] Ibid. hal. 138-139.
[38] Houtsma. First Encyclopedia … hal. 792.
[39] Tosihiko Izutsu. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dkk.( Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994). Cet. I.
[40] Ibid. hal. 53.
[41] Ibid.
[42] Al-Syahrastani. Al-Milal wa … hal. 48.
[43] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 86-87; Tosihiko Izutsu. Op.cit. hal. 257-260; dan Harun Nasution. Op.cit. hal. 58
[44] Abd al-Jabbar bin Ahmad. Syarh al-Ushul … hal. 142-143.
[45] Izutsu. Konsep Kepercayaan … hal. 257-258.
[46] Ibid. hal. 259-260.
[47] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 82. lihat pula W. Montgomery Watt. Early Islam. Edinburgh. Edinburgh University Press. 1990. hal. 86. dan M.T.H. Houtsma, et.al. First Encyclopedia of Islam. Jilid VI. E.J. Brill. Leiden. t.t. hal. 791.
[48] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq. Op.cit. hal. 83-84. baca juga Mahmud Mazru’ah. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Kairo. Dar al-Manar. 1990. hal. 122.
[49] Q.S. al-A’raf, [7]: 146.
[50] Lihat misalnya Q.S. Fushshilat, [41]: 17;  al-Naml, [27]: 13; al-Ankabut, [29]: 38; al-Syura, [42]: 20;  dan lain sebagainya.



Tidak ada komentar: