Selasa, 07 Juni 2011

Tumini di Tengah Mesin Pabrik

.
Tas koper besar di depannya diangkat, berat. Kontras dengan tubuh tumini yang kecil. Diletakkan disamping kasur yang kusam. Ruangan kos ini begitu sempit, orang kampung bilang seperti pindang tumini tidurnya. Tumini tersenyum mendengar komentar teman-teman dan saudaranya waktu lebaran tahun kemarin. Ketika memperlihatkan fotonya bersama yu Darmi. Minggu ini dia akan pulang kampung. Liburan panjang diawal tahun bertepatan dengan nari natal dan tahun baru satu muharam. Komplit, Tumini bisa cuti panjang.
Kerja dipabrik bukan sebuah pekerjaan yang mengenakkan. Tumini hanya buruh pabrik rokok di kawasan tangerang. Berangkat pagi dan pulang petang hari. Tumini pangling warna matahari, seingatnya matahari pernah menyapanya setiap hari. Ketika dia berlari di tepi hutan da mencari belalang. Seharian dia berada diruangan dengan masker dihidup sesekali batuknya menjadi, apa warna matahari?? gumamnya. Sudah lima tahun dia bekerja dipabrik megah ini. Mungkin produk hasil racikan tumini sudah di hisap puluhan mungkin ribuan orang. Begitu berjasanya tumini hingga setiap tuan takur bisa merasakan nikmatnya cigaret buatan Tumini. Dan entah mereka faham atau tidak, dalam setiap lintingnya adalah keringat Tumini, dalam setiap bungkusnya adalah helaan nafasnya. Nafasnya bernama tangisan adiknya yang SD, atau senyumnya simbok.
.

Kemarin suratnya menyebutkan sepatunya sudah sobek, tasnya kotor kena bercak ”trutuh gedang” dan dia malu selalu diejek temannya. Adiknya yang SD bernama Putri. Kata simbok, dulu dinamakan putri karena pengen anaknya yang ragil itu seperti putri raja, bukan hartanya, bukan pula keturunannya, toh simbok hanya buruh tani. Tapi kecantikan wajah dan budi pekertinya. Konon simbok ketika hamil selalu bermimpi melihat Putri lahir dengan busana kerajaan. Adiknya yang laki-laki bernama Budi. Dia sudah SMP kelas 2 dan merengek-rengek minta disunat. Simbok Cuma bisa memberi semayan tahun depan. Dan Budi tidak akan mau berangkat sekolah lagi jika tidak segera disunat, katanya malu diledekin teman-temanya. Tumini tersenyum membaca suratnya. Tulisan Putri rapi, tidak seperti tumini yang hanya lulus SD jaman dahulu. Tidak pintar, tidak rajin. Karena sebagai anak mbarep dia harus menjaga adiknya, menggendong Budi ketika simbok kesawah. Dan Tumini harus menjemur batang-batang kayu hasil pencarian Pak’e Tumini dari Hutan. Kayu-kayu bakar itu kemudian dikumpulkan dan diikat diatas sepeda Pak’e baru dijual keliling desa sebelah.
.
Tumini menghela nafas panjang. Dadanya kian hari semakin sesak. Entah sudah berapa bulan tidak diperiksakan di klinik Pabrik. Toh juga obatnya sama saja, pikir Tumuni. Sebuah kaplet warna putih. Entah apa nama obat itu, yang jelas ketika dia sakit kepala ataupun tangannya pegel terkilir klinik juga memberi obat itu. Tumini terbatuk, tak terasa helaan nafas panjangnya adalah kelebatan wajah simbok, Pak’e, Budi dan Putri. Dulu yang membawa ke Pabri adalah Yu Darmi, tetangganya di kampung Jawa Timur. Kemarin yu Darmi batuk juga, sampai batuk darah. Tumini tidak bisa menjenguk, Yu darmi dibawa kerumah sakit oleh Penjaga Pabrik. Tumini tidak ingin seperti itu, dia hanya takut jika biaya ke Rumah sakit menyita anggaran utnuk Sepatu Budi dan Tas Putri.
.
Tumini tertunduk. Dilihatnya Pintu terbuka. Sebuah wajah cerah muncul dari balik pintu kamar pengapnya. ”Assalamua’alikum mbak Tum”. Tumini tersenyum lebar, wajah sederhana Tumini dengan rambut kemerahan menyambut gadis yang baru saja membuka pintu. Dan gadis itu duduk disamping Tumini. Baunya harum jengan balutan jilbab biru, anggun, kontras dengan Tumini yang rapuh pucat. ”Gimana kabarnya? Katanya lagi sakit ya mbak?” Tumini mengangguk. ”Iya, biasalah la wong kerja di pabrik rokok, ya mungkin terlalu banyak mencium bau tembakau”. Gadis berjilbab biru dengan wajah bersih itu tersenyum. ”Yang sabar ya mbak... itu semua ujian dari Alloh....”.
.
Dibalik pintu ada Yu Tun, satu daerah juga dengan Tumini di Jawa timur, tapi lain desa. ”Alah...!!!! Tum.. kamu itu di beri candu sama anak Mahasiswa itu..., sekarang itu jamanya susah. Sabar tidak cukup, kita harus berusaha berjuang, kalau kita sabar, maka mereka akan menindas kita terus!!! Nyadar Tum...”. Suara Yu Tun mengema di kamar pengap itu. ”Sabar ya mbak Desi, Yu Tun memang suka komentar pedas” Bisik Tumini. Desi sang mahasiswa jilbab biru itu tersenyum simpul. Ada duka dihatinya, jikalau dia seorang penguasa, maka ingin rasanya membunuh ketidak adilan ini. Tentang Tumini, tentang Yu Tun, tentang Yu Darmi dan semua penghuni Pabrik ini. Desi hanya seorang mahasiswa yang selalu rajin mengunjungi Tumini, memberinya buku dan majalah muslimah. Entah sempat atau tidak Tumini membacanya. Atau sekedar berbincang tentang kekuasaan Alloh, mengingatkan Tumini untuk terus berdoa dan jangan lupa ibadah. Hanya itu, dan Tumini melihat sosok Desi lebih dari seorang teman, dia penghibur diwaktu simbok tidak didekatnya. Dulu diawal kerja ada yu Darmi. Tapi sejak dia menikah dengan Kang Parman Yu Darmi pindah kos. Tidak ada yang bisa diajak bercerita, tentang kisah kambingnya dikampung, waktu kecil ketika mencari belalang untuk di goreng. Atau hanya cerita tentang surat-surat adiknya di kampung. Yang isinya selalu sama, ”kirimkan simbok uang nduk jika kamu ada lebih”.
.
Tumini tersenyum, tidak ada air mata di matanya. Karena dia tahu, apa manfaatnya air mata bagi dia. Toh Cuma akan terbuang sia-sia. Dia hanya berfikir besok bisa bangun pagi dan bekerja lebih cepat, agar dapat melampau target produksi atau lebih untung jika bisa ambil lembur. Desi melihat guratan lelah di wajah Tumini. Tapi matanya ada sinar, sebuah harapan untuk bisa pulang membawa uang banyak untuk simbok. Gadis berjilbab itu tak tahan, air matanya meleleh. Ya Robb, kurang syukur apa aku ini....
(selesai)

Tidak ada komentar: