Jumat, 10 Juni 2011

Sejarah Ringkas Pembahasan Akhlak

 Berdasarkan Hadis, dikemukakan bahwa Rasulullah Saw diutus itu untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia. Dengan demikian baik di jazirah Arab maupun di dunia pada umumnya, telah ada budi pekerti yang mulia di samping sangat banyak budi pekerti yang tercela. Tidak dikenal pada bangsa Arab adanya ahli filsafat seperti pada bangsa Yunani. Adapun akhlak yang telah ada yang dianggap baik itu hanyalah akhlak pada pergaulan kepada manusia, itupun sangat sedikit dan tidak merata. Oleh karena itu dalam menyempurnakan akhlak bangsa Arab pada waktu itu Rasulullah Saw menekankan terutama tentang kepercayaan terhadap Allah Swt dan dikemukakan beberapa petunjuk tentang pokok-pokok akhlak dalam Islam. Misalnya Allah menyediakan kebahagiaan di dunia dan terutama di akhirat bagi setiap manusia yang taat pada peraturan-Nya. Hal ini dibuktikan dengan amal salih yang tentu saja didasari dengan iman, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Nahl  ayat 97 yang artinya, “Barangsiapa yang beramal shalih laki-laki dan perempuan dan disertai dengan iman, maka Allah memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Allah akan memberikan ganjaran untuk mereka sebaik-baik hal yang pernah mereka lakukan.”

Oleh karena itu dalam mempelajari sejarah pembahasan akhlak sebagai ilmu, hendaklah terlebih dahulu mengenal apa sebenarnya akhlak dalam Islam itu. Dengan demikian dalam penggaliannya selalu berdasarkan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Bila tidak maka pemahamannya baik terhadap etika atau moral hasil penggalian manusia akan dianggap tidak cukup memuaskan, meskipun hasilnya mungkin bisa diterima, tetapi lepas dari tujuan kebahagian di akhirat nanti.
Akhlak sebagai suatu ilmu sebenarnya pembahasannya sudah sejak lama terjadi tetapi orang yang membukukan mengenai pertumbuhan dan perkembangan tentang ini barulah dimulai sejak Ahmad Amin dalam karyanya yang berjudul al-Akhlak[1] dengan menggunakan pendekatan kebangsaan, religi dan periodisasi dan membaginya kepada pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, abad pertengahan, bangsa Arab, agama Islam dan zaman baru. Pembagian ini menurut pendekatan sejarah terkesan agak kurang sistematik. Karena itu di sini kita coba dengan menggunakan pendekatan keagamaan, dengan membagi kepada ilmu akhlak di luar agama Islam, dalam agama Islam dan ditambah dengan zaman modern.

1.      Ilmu Akhlak di Luar Agama Islam
Mempelajari sejarah akhlak bisa dimulai dari bangsa Yunani, dimana semula bangsa Yunani hanya menyelidiki keadaan alam, namun setelah datang Shopisticians (500-459 SM) yang menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka, timbullah pandangan mengenai pokok-pokok etika.
Kemudian datanglah Socrates (469-399 SM) dengan menghadapkan perhatiannya kepada penyelidikan akhlak, yaitu perbuatan mengenai kehidupan. Ia pernah dijuluki: menurunkan filsafat dari langit ke bumi. 
Setelah itu Plato, (427-347 SM), ia seorang ahli filsafat dari Athena murid Socrates. Dalam bukunya yang termasyhur yaitu “Republik”, meskipun penyelidikannya bercampur antara akhlak dengan filsafat, namun berpendapat bahwa dibelakang alam lahir ini ada alam lain, yaitu alam rohani. Ia mengemukakan contoh-contoh yang diantaranya untuk kebaikkan, misalnya arti Yang Mutlak adalah Ajally, kekal dan amat sempurna.
Selanjutnya Aristoteles (394-322 SM) seorang murid Plato, membangun suatu faham yang khas, dan pengikutnya dinamai dengan “Paripatetis”, memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena ia memberi pelajaran di tempat yang teduh. Dia berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki manusia adalah bahagia. Akan tetapi pengertian bahagia itu lebih luas dan lebih tinggi dari pada faham Utilitarisme dalam zaman baru sekarang ini. Aristoteles ini pencipta serba tengah. Bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara dua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah di antara kikir dan boros.
Pada akhir abad ketiga masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropah. Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang terdapat dalam Taurat dan Injil. Demikian pula tentang pelajaran bahwa Tuhan adalah sumber akhlak, karena arti sebenarnya akhlak itu sendiri adalah hendaknya berada di dalam keridlaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Perbedaan pandangan agama Nasrani dengan filsafat Yunani ialah da-lam apa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan. Menurut para filusuf Yunani pendorong itu adalah pengetahuan atau kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani, pendorong itu khususnya pendorong kepada kebaikan adalah cinta kepada Tuhan dengan iman.
Ahli-ahli filsafat akhlak pada abad pertengahan adalah Abelard seorang ahli filsafat dari Perancis (1079-1142 M) dan Thomas Aquinas yang berbangsa Italia. Mereka merupakan pemikir tentang paduan ajaran Yunani dengan ajaran Nashrani. Adapun bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam hanyalah memiliki ahli-ahli hikmah dan ahli-ahli sya’ir, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, mendorong menuju keutamaan dan menjauhkan diri dari kerendahan, yang terkenal pada zaman mereka. Perhatikanlah hikmah Lukman dan Aktsam bin Safi, sya’ir-sya’ir Zuahir bin Abi Sulma dan Hatim Al-Tai.

2.      Ilmu Akhlak di dalam Agama Islam
Kemudian datanglah agama Islam yang antara lain ajarannya adalah bahwa agama Islam mengajak supaya manusia percaya bahwa Allah-lah pencipta alam semasta ini, dan dari pada-Nya sumber dari segala sesuatu, dan dengan kekuasaan-Nya alam ini berdiri dengan teratur. Allah menetapkan beberapa keutamaan, seperti benar dan adil yang harus dilaksanakan, dan menjadikan kebahagian di dunia dan di akhirat sebagai pahala bagi orang yang mentaati-Nya. Allah menjadikan lawan keutamaan seperti dusta, dzalim, zina, mabuk, mencuri, membunuh, berjudi, minuman keras, yang kesemuanya ini harus dijauhi. Dan menjadikan kesengsaraan di dunia dan di akhirat sebagai hukuman bagi siapa saja yang melakukan lawan keutamaan tersebut.
Dalam ajaran Islam ini manusia diperintahkan untuk berbuat baik di dunia ini, menyiapkan diri untuk kembali ke kampung akhirat dan juga tidak begitu saja meninggalkan kesenangan dunia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77, yang artinya: “Dan carilah dengan rezeki yang diberikan Allah kepadamu untuk kebahagian dikampung akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu kemakmuran di dunia. Berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat binasa.”  
Dalam surat al-Nahl ayat 90 Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran, kedurhakan, dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengerti (mawas diri).”
Bangsa Arab tidak banyak menyelidiki akhlak berdasarkan ilmu, karena telah terasa puas mengambil akhlak dari agama, dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar baik dan buruk itu. Kemudian muncul di luar bangsa Arab yang beragama Islam, seperti Al-Ghazaly dengan bukunya Ihya ‘Ulumuddin, dan para penyelidik akhlak sebagai ilmu yang termasyhur, yaitu: Abu Nasr Al-Farabi, Abu Ali Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih. Mereka mencampur adukkan ajaran Plato dan ajaran Islam.

3.      Ilmu Akhlak di Zaman Modern
Pembahasan akhlak pada zaman ini dimulai dengan bangkitnya ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat di Eropa pada abad XV, menggeser kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos kepada peran akal pikiran yang lebih besar, hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal. Pun termasuk pada persoalan akhlak. Kedermawanan misalnya, yang pada abad pertengahan dianggap mempunyai nilai yang tinggi pada zaman ini tidak lagi, bahkan merubah pola akhlak kepada kemandirian, sehingga akibat dari ini menimbulkan sifat individualistik, mandiri dan inovatif. Di antara tokoh yang lahir pada abad ini adalah Rene Descartes, Shafebury dan Hatshon, Bentham, John Stuart Mill Kant dan Bertrand Russel.


[1] Ahmad Amin. Kitab al-Akhlaq … hal. 141.

Tidak ada komentar: