Jumat, 10 Juni 2011

Indera, Akal, Wahyu, Hati, dan Nafsu Manusia


Allah Swt telah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling baik dibandingkan dengan makhluk lainnya yang melata dimuka bumi ini, manusia mempunyai susunan tubuh yang harmonis tegak berdiri, otak diatas, perut di tengah dan alat kelamin di bawah. Manusia adalah makhluk sempurna dibandingkan dengan binatang, karena manusia itu di samping memiliki hidayah fitriyah dan khawasyiyah, juga diberi hidayahakliyah. Dengan akalnyalah manusia dapat menaklukkan binatang buas, dapat mengolah tanah dan sebagainya. Namun tidak semua yang diusahakan manusia itu berhasil karena ada hidayah Allah yang lebih tinggi yaitu hidayah diniyah (agama). Namun tidak semua manusia menerima ajaran agama, banyak pula manusia yang mendustakannya.

Manusia yang diciptakan Allah Swt yang paling sempurna itu bisa menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya apabila rusak budi pekertinya. Ia akan lebih rakus dari pada binatang dan akan lebih berbahaya bagi kehi-dupan manusia lainnya. Allah berfirman dalam surat al-Tin ayat 4 dan 5 yang artinya, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dengan bentuk yang paling baik, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang paling rendah.”
Manusia akan tetap indah, sempurna, dan selalu berada dalam keadaan hidup yang bahagia, apabila dirinya beriman dan beramal shalih. Beramal shalih ini adalah penjelmaan dari takwa, di mana bagi orang yang beriman dan bertakwa akan terbukalah keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-A’raf ayat 96, yang artinya, “Jika penduduk negeri (negara-negara) beriman dan bertakwa, sesungguhnya Kami bukakan keberkahan kepada mereka dari langit dan dari bumi (lahir batin, rohaniah jasmaniah). Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Lalu Kami siksa mereka karena usaha (perbuatan) mereka.”
Dalam arti sempit takwa itu melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Untuk itu mutlak sangat diperlukan ilmu, sehingga seseorang akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dilakukan, mana yang sunat dan mana yang makruh baik perbu-atan yang menyangkut dirinya, dalam hubungan dengan khaliknya, dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Dan orang-orang yang beriman disertai ilmu itulah manusia yang akan dapat mencapai derajat yang tinggi disisi Tuhan yang Maha Kuasa, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujahadah ayat 11 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepadamu, berdirilah, maka hendaklah kamu berdiri, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dengan iman dan ilmu inilah seseorang diharapkan akan mampu mengendalikan dirinya, karena bagaimana seseorang dapat mencapai kesempurnaan akhlak yang utama dan budi pekerti yang mulia, apabila orang tidak beriman dan tidak berpengetahuan. Iman dalam Islam itu merupakan cahaya dan ilmu pengetahuan sebagai mata. Mata tanpa cahaya akan gelap tidak dapat menembus hakikat suatu benda. Dan cahaya tanpa mata tentunya tidak akan terasa oleh manusia manfaatnya.
Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Yang termasuk anggota jasmani yang berfungsi, baik dalam melaksanakan akhlak karimah, maupun akhlak madzmumah, yaitu;

1.      Lidah
Lidah atau lisan adalah alat untuk berbicara. Keselamatan manusia pada dasarnya akan tergantung kepada pemeliharaan lidahnya. Banyak orang yang terjerumus ke dalam lembah kehinaan, kenistaan, kesengsaraan, dan bahkan siksa api neraka dengan kepala terjungkir akibat ucapan-ucapan lisannya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pernah bersabda,
ان الرجل يتكلم بالكلمة ليضحك بها أصحابه فيهوى بها فى قعر جهنم سبعين حريفا
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki masuk ke dalam neraka Jahannam (untuk disiksa) selama 40 tahun, karena ucapan senda guraunya yang membuat tertawa salah seorang kawannya.” [1]

Diriwayatkan pula bahwa pada masa Rasulullah Saw, ada seorang yang mati syahid dalam suatu pertempuran. Lalu berkatalah seseorang, “Sungguh berbahagialah ia karena telah tersedia surga baginya.” Kemudian Nabi Saw bertanya,
وما يدريك لعله كان يتكلم فيما لا يعنيه ويبخل بما لا يغنيه
“Apakah engkau mengetahui barangkali ia pernah mengatakan suatu ucapan yang tidak berguna atau dia kikir karena ketakutan tidak bisa kaya?”[2]

Sedikitnya ada delapan perkara, demikian menurut al-Ghazali[3], atau 60 perkara menurut Uwes al-Qorni[4] yang perlu dijaga, di antara perkara-perkara itu adalah.

a.       Berbohong atau berdusta
Menurut Uwes al-Qorni,[5] al-Qur’an mengomentari masalah bohong ini tidak kurang dari 240 kali. Ini menunjukkan betapa perbuatan kotor itu sangat akrab dengan bencana. Bahkan secara khusus dan berulang-ulang, dalam surat al-Rahman, Allah Swt mengisyaratkan larangan-Nya, agar tidak berbuat kebohongan, terutama kepada-Nya.
Uwes al-Qorni[6] mendefinisikan kebohongan sebagai.
الاخبار عن الشئ على غير ما هو عليه
“Menyampaikan keadaan sesuatu, tetapi tidak sesuai (berbeda) dengan keadaan yang sebenarnya.”
           
Berkenaan dengan hukum berbohong ini Allah Swt berfirman,

ولهم عذاب اليم بما كانوا يكذبون
“Dan bagi mereka (orang-orang munafik) siksa yang sangat pedih, karena mere-ka suka berbuat kebohongan.”[7]

Tetapi hukum berbohong itu bisa berubah-ubah, dalam arti berbohong bisa dimaafkan bila dilakukan secara tidak sengaja yang kemudian disusul dengan segera meminta maaf atau meralat ucapannya itu. Atau berbohong bisa menjadi boleh seperti sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Rasulullah Saw.
لا يحل الكذب الا فى ثلاث : رجل كذب امرأته ليرضيها ورجل كذب فى الحرب. فان الحرب خدعة ورجل كذب بين المسلمين ليصلح بينهما
“Tidak halal perbuatan bohong itu, kecuali dalam tiga hal: seorang suami yang berbohong kepada isterinya – demikian juga sebaliknya – agar isterinya merasa senang (puas), seseorang berbohong sewaktu dalam perang karena memang (suasana) perang itu (penuh) tipu daya, dan seorang berbohong di antara dua orang Muslim (yang bertengkar) dengan tujuan untuk mendamaikannya (kembali). (H.R. Turmudzi dari Asma binti Yazib).[8]

Jika dilihat dari segi obyeknya terdapat tiga macam bohong, yakni kebohongan terhadap Allah Swt, kebohongan kepada Rasulullah Saw dan kebohongan kepada manusia.[9]
Kebohongan kepada Allah Swt, adalah seperti orang menyebutkan sesuatu sebagai datang dari Allah Swt (al-Qur’an) padahal sebenarnya itu hanyalah rekayasanya sendiri. Berkenaan dengan ini Allah Swt berfirman.

فمن اظلم ممن افترى على الله كذبا اوكذب بايته
“Maka tidak ada kedzaliman yang lebih berat selain orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya.”[10]

Kebohongan kepada Rasulullah Saw, misalnya, seseorang menyatakan bahwa apa yang ia sampaikan – baik berkaitan dengan hukum, aqidah maupun akhlak – didasarkan pada hadits Rasul, padahal sama sekali tidak ada sumber yang menyebutkannya. Rasulullah Saw bersabda,

ان كذب علي ليس كذب على احد فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Sesungguhnya berbohong kepadaku tidak sama (bahayanya) dengan berbohong kepada seseorang. Barangsiapa berbohong kepadaku, bersiap-siaplah untuk mengisi tempat duduknya di dalam neraka.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Mughirah bin Syu’bah).[11]

Dan kebohongan terhadap sesama manusia adalah sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

كنا عند رسول الله, فقال: الا انبئكم باكبر الكبائر ثلاث: الاشراك بالله وعقوق الوالدين وشهادة الزور, الا وشهادة الزور وقول الزور وكان متكئا فجلس فما زال يكررها حتى قلنا ليته سكت
“Kami berada di hadapan Rasulullah. Beliau bersabda, ‘Ketahuilah, akan aku ceritakan kepadamu sekalian dosa yang paling besar (beliau mengulang-ulang pernyataannya itu sampai tiga kali), yaitu (1) musyrik kepada Allah, (2) menyakiti kedua orang tua, (3) saksi bohong. Ingat saksi dan ucapan bohong.’ Sewaktu menyatakan hal itu, beliau dalam (posisi) bersandar kemudian beliau duduk – untuk menunjukkan kepada para shahabatnya betapa sangat seriusnya masalah itu – sehingga beliau terus menerus mengulang-ulang pernyataan itu. Sehingga kami berucap (dalam hati), ‘sebaiknya beliau berhenti berbicara (agar istirahat).’” (H.R. Imam Bukhari Muslim dari Abi Bakrah).[12]

Perbuatan bohong jelas merupakan proyek setan untuk memalingkan manusia dari ucapan yang benar yang dapat membimbing kepada kebaikan. Setan selalu berusaha agar manusia berbelok ke jalan kebohongan yang menggiringnya kepada keburukan. Dan pengaruh berbohong secara umum, akan membentuk pribadi yang buruk, pribadi yang jahat, yang akan nampak dari dirinya. Kebohongan akan melahirkan kepalsuan dari setiap amal perbuatan, sehingga tidak ada kebaikan sama sekali. Bahkan kebohongan akan melahirkan kebimbangan hati, membuat mukanya ‘hitam’ baik di dunia maupun di akhirat, dan akan melahirkan suatu kepribadian yang busuk bagi setiap orang yang sudah mengetahuinya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam beberapa hadits berikut.

ان الصدق يهدي الى البر وان البر يهدي الى الجنة وان الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وان الكذب يهدي الى النار. وان الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذبا – متفق عليه -
“Sesungguhnya kebenaran itu bakal membimbingmu (untuk mengamalkan) kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Sesungguhnya seseorang yang senantiasa (berkata) benar, dia bakal dicatat Allah sebagai orang yang benar (di Lauh Mahfudz). Dan sesungguhnya kebohongan itu membimbingmu kepada kejahatan dan kejahatan itu membawamu ke neraka. Dan sesungguhnya orang yang selalu berbohong, bakal dicatat Allah sebagai pembohong.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Mas’ud).

فان الصدق طمأنينة والكذب ريبة
“Sesungguhnya kebenaran itu (membawa) ketentraman dan kebohongan itu (mengakibatkan) kebimbangan.” (H.R. Turmudzi dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib).

ان الكذب يسود الوجه فى الدارين
“Sesungguhnya kebohongan itu membuat muka hitam di dunia dan di akhirat.” (H.R. Ibnu Hibbah dari Abi Barzah).

اذا كذب العبد تباعد عنه الملك ميلا من نتن ما جاء به
“Jika seorang hamba berbuat bohong, maka malaikat menjauhinya sejauh satu mil karena bau busuknya apa yang ia sampaikan.” (H.R. Turmudzi dari Ibnu Umar).[13]

b.       Ingkar janji
Berkenaan dengan ingkar janji ini Rasulullah Saw bersabda,

ثلاث من كن فيه فهو منافق وان صام وصلى: اذا حدث كذب واذا وعدا أخلف واذا اؤتمن خان
“Tiga perkara yang bila berada pada dirinya, ia seorang munafik meskipun ia puasa dan shalat. Yaitu, apabila berkata, ia berdusta, apabila berjanji, ia mengingkarinya, dan apabila diberi kepercayaan ia khianat.”[14]

c.        Menggunjing (ghibah) orang lain
Tentang menggunjing ini, disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah Saw bersabda,
ومعنى الغيبة أن تذكر انسانا بما يكرهه لو سمعه فأنت مغتاب ظالم وان كنت صادقا
“Makna ghibah adalah engkau membicarakan orang, yang sekiranya orang itu mendengarnya, ia tidak menyukainya. Engkau pun tetaplah telah berbuat ghibah dan aniaya meskipun yang engkau bicarakan itu keadaan sebenarnya.”

Sesungguhnya ghibah itu telah mengumpulkan dua keburukan, yakni, ghibah itu sendiri yang menyebabkan tersebarnya berita keburukan seseorang dan menimbulkan perasaan bangga diri, sombong, juga menganggap rendah orang lain, bagi diri si penggunjing.[15]

2.      Mata dan telinga
Mata dan telinga berfungsi sebagai alat penglihatan dan pendengaran. Seeorang akan mengetahui sesuatu melalui penglihatan atau pendengarannya. Tidak berbicara apabila tuli dan tidak akan tahu bentuk benda yang jauh atau warna sesuatu benda tanpa mata. Mata dapat melihat ayat-ayat Allah Swt.  Baik ayat Qur’aniyah maupun ayat Kauniyah. Namun juga mata dan telinga dapat dipakai oleh manusia terhadap hal-hal yang dilarang.
Sesungguhnya Allah Swt menciptakan mata agar dipergunakan untuk mendapatkan petunjuk dari kegelapan menuju arah yang terang. Juga untuk dapat membantu menikmati kerajaan langit serta bumi ciptaan Allah Swt agar hamba-Nya dapat mengambil gambaran, tanda, bukti serta hikmah kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Ada empat hal menurut al-Ghazali,[16] yang perlu dijaga dari mata, yakni.
a.       Memandang wanita yang bukan muhrim
b.       Melihat gambar-gambar dan sejenisnya yang dapat menimbulkan nafsu syahwat
c.        Memandang sesama muslim dengan pandangan meremehkan, sinis, penuh kebencian, dan kesombongan
d.       Berusaha melihat serta mengetahui aib orang lain maupun cacat sesama muslim karena bertujuan mencela serta menghinanya.

Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda.

ان المستمع شريك القائل وهو أحد المغتابين
“Sesungguhnya pendengaran itu sekutunya orang yang berbicara. Dan ia pun termasuk orang yang menggunjing.”[17]

3.      Alat Kelamin (Farji)
Allah Swt berfirman.

والذين هم لفروجهم حافظون. الا على أزواجهم أو ماملكت أيمانهم فاءنهم غير ملومين
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”[18]

4.      Tangan dan Kaki
Kedua alat ini juga dapat digunakan kepada perbuatan yang bermanfaat, seperti pergi untuk mencari ilmu atau mencari nafkah, namun juga dapat dipakai untuk berbuatan kejahatan.
Allah Swt berfirman.

ولا تركنوا الى الذين ظلموا فتمسكم النار ومالكم من دون الله من أولياء ثم لا تنصرون
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”[19]

Rasulullah Saw bersabda.

من تواضع لغني صالح لغناه ذهب ثلثادينه
“Barangsiapa yang merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya, sepertiga agamanya telah hilang.”[20]

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang kaya yang shalih (jujur dan ikhlas). Lantas apatah lagi kepada orang kaya yang dzalim.

5.      Perut
Sesungguhnya kekenyangan dari makanan halal merupakan permulaan dari setiap kejahatan (mabda’u kulli syarrin). Seperti:
a.       Kerasnya hati (qaswat al-qulub)
b.       Merusak kecerdasan
c.        Menghilangkan hafalan-hafalan
d.       Memberatkan anggota badan yang membuat malas untuk beribadah dan menuntut ilmu
e.        Menguatkan nafsu syahwat, dan
f.         Menolong pasukan syetan.

Selain kelengkapan berupa jasmaniyah, manusia dilengkapi juga dengan organ-organ yang abstrak, yaitu akal, nafsu, hati dan ruh. Akal itu merupakan perpaduan antara rasio dan rasa. Kalau hanya dengan panca indranya saja, manusia tidak akan mampu mencapai kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, karena tenaga manusia akan kalah oleh gajah, manusia tidak bisa terbang seperti burung, tidak bisa menyelam seperi ikan, pendengarannya kalah oleh pendengaran kuda, penglihatannya juga akan kalah oleh kucing. Namun dengan akalnya manusia dapat menundukan binatang buas, menggiring gajah, terbang melebihi burung dan menyelam dalam air dengan kapal selamnya melebihi ikan, demikian juga dewasa ini dengan melalui alat-alat komunikasi modern, manusia dapat mendengar sesuatu jarak jauh, dan juga dapat mengatasi keadaan gelap.
Apabila akal manusia tidak dibimbing dengan agama, maka dengan akalnya manusia dapat menghancurkan sesamanya dimuka bumi ini. Demikian juga ia ikan hidup sesat karena berpendapat hanya akalnyalah yang berkuasa. Timbullah rasionalisme.ada pula orang yang menganggap bahwa dengan kenyataannya ia merasa cukup dan tidak memerlukan lagi bantuan yang Maha Ghaib, ia akan sesat hidupnya. Timbullah materialisme. Makin tinggi kecerdasan manusia, makin banyak dan besar manfatnya yang dapat diambil orang banyak, tetapi juga makin banyak malapetaka yang timbul di muka bumi ini.               
Akal, sesungguhnya mempunyai beberapa makna, yiatu: pertama, pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu, dan kedua, ‘alim yang ilmunya sebagai sifatnya. Makna ini merupakan lutf rabbani sehingga tidak mungkin dimaksudkan akal seperti makna pertama karena Rasulullah Saw bersabda.

أول ما خلق الله تعالى العقل ثم قال له: أقبل فأقبل ثم قال له: أدبر فأدبر
“Yang pertama Allah ciptakan adalah akal. Kemudian dikatakan padanya, ‘Majulah’. Maka akal maju. Lalu dikatakan, ‘Mundurlah’. Maka akal mundur.”[21]

Telah dikemukakan bahwa ada pendapat bahwa akal itu merupakan perpaduan antara ratio dan rasa. Dalam uraian berikut ini dikemukakan pengertian akal menurut para filusuf Islam.  Akal ialah daya berfikir yang terdapat dalam diri manusia dan terdiri dari akal praktis (‘amilah/amal), yang menerima arti dari materi melalui indra mengingat, akal teoritis (‘alimah) yang menangkap arti murni, yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal teoritis atau ‘alimah ini terdiri atas:
a.        Akal material, yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti murni yang tak pernah ada dalam materi (belum keluar).
b.        Akal bakat, yang kesanggupannya berpikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah mampu menangkap pengertian dan kaidah umum, seperti semua itu lebih besar dari bagian.
c.        Akal aktual, yang telah lebih mudah dan telah banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah umum dimaksud. Merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d.       Akal perolehan, yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang serupa inilah yang dimiliki oleh para filosof, dan ahli inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tak pernah berada dalam materi.

Akal menurut para teolog Islam, ialah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat manusia dapat membedakan suatu benda dari benda yang lain, atau dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Itulah tinjauan tentang akal menurut pendapat para filosof Islam dan para teolog Islam.
Yang dinamakan wahyu ialah firman Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihan-Nya (nabi dan rasul) agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Firman Tuhan ini mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman agar diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw terkumpul dalam al-Qur’an.
Akal dan wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia dapat dijelaskan sebagai berikut:
Akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul-Nya untuk umat manusia, yang dari firman itu manuisa memperoleh keterangan dan pengetahuan yang diperlukan dalam perjalanan hidupnya.dengan demikian akal dan wahyu itu sebagai sumber pengetahuan manusia.
Mengenai akal dan wahyu ini ada beberapa pendapat :
a.       Aliran Asy’ariyah, yang dapat diketahui oleh akal hanyalah wujud Tuhan, sedangkan mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan jahat hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dengan demikian wahyu menurut pendapat mereka mempunyi fungsi banyak sekali bahkan menentukan segala hal.
b.       Aliran Mu’tazilah, mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dapat diketahui oleh akal. Wahyu bagi mereka mempunyai fungsi konfirmasi, artinya wahyu memperkuat apa-apa yang belum diketahui oleh akal, atau menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
c.        Aliran Maturidiyah Bukhara, akal manusia mampu mengetahui Tuhan, mampu mengetahui baik dan jahat. Sedangkan kewajiban mengetahui Tuhan, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk tidak dapat diketahui oleh akal, namun melalui wahyu. Jadi menurut mereka wahyu diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
d.       Aliran Maturidiyah Samarkand, akal manusia mampu mengetahui wujud Tuhan, mampu mengetahui baik dan jahat juga berkewajiban mengetahui Tuhan. Adapun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat tidak dapat diketahui akal, tapi dapat diketahui hanya melalui wahyu.

Meskipun masing-masing aliran berbeda pendapat dalam beberapa hal, namun semua aliran berpendapat bahwa akal dapat mengetahui wujud Tuhan. Mengenai pengguna akal, aliran Maturidiyah Samarkand memberikan daya kurang besar daripada Mu’tazilah, tetapi lebih besar dari pada Maturidiyah Bukhara. Sedangkan aliran Asy’ariyah memberikan daya terkecil kepada akal. Wahyu dalam aliran Asy’ariyah mempunyai fungsi yang banyak, sedangkan dalam aliran Mu’tazilah, wahyu mempunyai fungsi yang kecil sekali, yaitu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi. Demikian uraian sepintas tentang akal dan wahyu. Rasulullah Saw bersabda.

ان فى جسد ابن ادم مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله وصلح لها سائر البدن ألا وهى القلب
“Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah tubuh itu seluruhnya, dan anggota-anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik. Ia adalah hati.”[22]

Dengan hadits di atas ini menjadi jelaslah bahwa yang menjadi pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin yang dipatuhi di dalam dunia tubuh, dan yang lainnya adalah rakyatnya.
Mengenai penafsiran hadits ini bukannya kami membedai dengan hadits tersebut, tetapi kami pahami dari hadits tersebut berdasarkan realita yang ada, dimana pada masa kini, banyak sekali orang yang secara fisik mereka sehat tetapi sungguh pada kenyataannya mereka adalah penipu-penipu busuk, lihatlah misalnya koruptor. Sehingga dengan melihat realita ini kami lebih cenderung bahwa yang dimaksud memimpinnya hati adalah memimpin perbuatan, mempengaruhi perbuatan yang lain, bukannya mempengaruhi fisik badani itu sendiri, walau mungkin itu juga benar sebagai mana yang tersirat dan tersurat dalam hadits tadi.
Hati memiliki dua pengertian, yakni: pertama, daging yang berbentuk cemara yang terletak pada dada sebelah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber ruh. Daging ini, dalam bentuknya seperti itu, terdapat pula pada tubuh binatang dan orang-orang yang sudah mati. Kedua, lutf rabbani ruhani, yang memiliki kaitan dengan daging ini. Lutf rabbani ini adalah mengenal Allah Swt. Ia mengetahui apa yang tidak dicapai khayalan pikiran. Ia merupakan hakikat manusia. Inilah yang diajak bicara. Terhadap makna ini ditunjukkan dengan firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.”[23]  Kalau yang dimaksud dalam ayat ini adalah hati yang berbentuk seperti pohon cemara, maka itu terdapat pada diri setiap orang.
Menurut al-Ghazali,[24] kaitan lutf ini dengan daging yang berbentuk seperti pohon cemara adalah hubungan yang tidak jelas, tidak dapat dijelaskan, melainkan bergantung pada kesaksian (musyahadah) dan penyingkapan (al-‘iyan). Dapat disebutkan bahwa ia seperti raja dan dagingnya ibarat negeri atau kerajaan, karena kalau hubungannya adalah hubungan accidental (kebetulan), maka tidak sesuai dengan makna ayat, “Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”[25]
Menurut Sahl al-Tustari[26] berkata, “Hati adalah ‘Arsy dan dada adalah Kursi.” Ini pun menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan hati adalah sesuatu di balik daging berbentuk seperti pohon cemara. Sebagaimana raja, hati juga mempunyai tentara, yakni satu tentara hati yang dapat dilihat dengan mata kepala, yaitu tangan, kaki, mata dan anggota-anggota tubuh lainnya. Satu lagi tentara yang hanya dapat dilihat dengan mata hati, yaitu berupa sifat-sifat.
Hati juga seumpama cermin, selama cermin itu bersih dari kotoran dan noda, maka segala sesuatu dapat terlihat padanya. Tetapi jika cermin itu dipenuhi noda, sementara tidak ada yang dapat menghilangkan noda darinya dan mengilapkannya, maka rusaklah cermin itu. Cermin itu tidak dapat lagi dibersihkan dan dikilapkan. Inilah yang dimaksud dengan penutup hati dan tabir. Hal ini ditunjukkan dengan sabda Rasulullah Saw.

ان القلب ليصدأ كما يصدأ الحديد
“Sesungguhnya hati itu dapat berkarat sebagaimana berkaratnya besi.”[27]

Lalu beliau ditanya, “Bagaimana mengilapkannya?” Beliau menjawab.

ذكر الموت وتلاوة القران
“Mengingat mati dan membaca al-Qur’an.”[28]
                       
Sekiranya telah hilang kekuasaan hati secara keseluruhan, maka ia akan dikuasai setan. Dan akibatnya, sifat-sifat terpuji akan berbalik menjadi sifat-sifat yang tercela. Rasulullah Saw bersabda.

القلوب أربعة :  قلب أجرد فيه سراج يزهر فذاك قلب المؤمن, وقلب أسود منكوس فذاك قلب الكافر. وقلب أغلف مربوط على غلافه فذاك قلب المنافق. وقلب مصفح فيه ايمان ونفاق فمثل الايمان فيه مثل البقلة يمدها الماء الطيب ومثل النفاق فيه كمثل القرحة يمدها القيح والصديد فأي المادتين غلبت عليه حكم له بها
“Hati itu ada empat, yaitu: hati yang bersih, di dalamnya ada pelita yang bersinar; itulah hati orang Mukmin. Hati yang hitam dan terbalik; itulah hati orang kafir. Hati yang tertutup dan tutupnya terikat; itulah hati orang munafik. Dan hati yang dilapis, di dalamnya terdapat keimanan dan kemunafikan. Keimanan-nya ibarat sayuran yang menjadi panjang dengan disiram air yang baik, dan perumpamaan kemunafikannya adalah seperti luka bernanah yang dipenuhi na-nah. Mana saja dari keduanya yang lebih dominan, itulah yang memerintah.”[29]

Hati, jantung hati atau kalbu adalah tempat menyimpan rahasia, yang suka berubah-ubah. Dalam al-Qur’an kalbu ini dinamakan juga afidah, karena banyak gunanya bagi manusia.
Tidak seorang pun yang mengetahui isi kalbu orang lain, hanya kesan dan sifatnya saja yang diketahui orang lain. Dengan ilmunya yang bersumber dari ajaran Islam manusia akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalbu merupakan kunci amal setiap manusia, karena sering kali manusia mengetahui bahwa sesuatu itu baik, namun ia tidak mau melakukannya, padahal kemungkinan besar ia mampu melakukannya dan sebaliknya sesuatu diketahui buruk, namun manusia tetap melakukannya. Oleh karena itu hendaknya kalbu ini mendapat perhatian kita. Rasulullah bersabda yang artinya, “Dan ketahuilah bahwasannya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, yang apabila ia bersih, maka bersihlah seluruh jasadnya, dan apabila buruk/rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Dan ketahuilah, daging itu adalah hati.” 
Jantung hati ini hendaknya dibersihkan dengan ikhlas, dipupuk secara baik, karena didalamnya terdapat iman yang memerlukan pemupukan dengan takwa dan dipagari dengan ilmu. Oleh karena itu, isilah dengan siddiq, supaya selalu bersikap jujur, dan dipelihara dengan tuma’ninah, sehingga sinar yang dipancarkan oleh ruh dapat menjadi pandangan berganda yang memancar kepada mata yang dapat melihat terhadap apa yang tersurat dan tersirat di dalam al-Qur’an dan alam semesta ini. Telinga bukan hanya mampu mendengar suara yang berbunyi saja, tetapi dapat mendengar suara yang sehalus-halusnya. Jelaslah, banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.
Kita sering mendengar istilah hati nurani manusia, yang maksudnya adalah hati manusia yang telah mendapat nur atau sinar cayaha iman dan keyakinan yang dapat mencapai segala makna yang tidak dapat dicapai dengan khayalan, indera, pikiran, dan aspek lahir lainnya. Di dalam hati manusia terdapat perasaan, manusia akan menunaikan kewajibannya dan akan menerima haknya tanpa kecewa, manusia menjadi cerdik pandai, menjadi arif bijaksana, menghadapi sesuatu secara wajar, tidak emosional, kerena dalam hati yang telah mendapat cahaya Tuhan di samping mendapat tuntunan ilmu, juga mendapat kelengkapan hidayah sebagai berikut.
a.        Al-Irsyad, sehingga manusia dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
b.        Al-Taufiq, yaitu bersesuaianlah hendaknya apa yang direncanakan dengan kehendak Allah Swt (tidak merencanakan yang jahat).
c.        Al-Ilham, yaitu diberi petunjuk supaya seseorang dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi.
d.       Al-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya yang harus dijauhi, dan mana pula jalan yang lurus yang harus ditempuh.

Jantung hati ini sering diserang oleh rasa takut dan khawatir yang timbul karena menghadapi sesuatu pekerjaan atau keinginan, takut atau khawatir pada hasil atau akibat yang tidak memuaskan. Padahal apabila hati kita sudah siap, setiap pekerjaan akan dihadapinya dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati, karena hatinya penuh dengan keikhlasan dan tawakal kepada Allah Swt. Untuk mencegah perasaan yang negatif itu, hendaknya manusia membiasakan yang baik, menanamkan keinginan terhadap sesuatu yang telah nyata baiknya, hindarkanlah diri dari keinginan atau pekerjaan yang jelas dilarang agama, berupa ma’siyat, kufur dan sebagainya.
Adapula keinginan manusia yang belum diketahui manfaatnya dikemudian hari, ia ragu untuk melaksanakannya. Dalam hal ini umat Islam istikharah untuk memohon kepada Allah Swt dengan do’a, apabila keinginan itu baik, semoga ditakdirkan dan dimudahkan, dan apabila keinginan itu buruk, mohon dihindarkan disertai penuh kepercayaan bahwa kemanfaatan itu ada pada pilihan-Nya. Dengan istikharah, manusia tidak akan sedih apabila upaya untuk mencapai yang belum tentu manfaatnya itu tidak berhasil, sepertinya tidak akan menyesal orang yang suka bermusyawarah. Dengan demikian apa yang terjadi itulah yang paling baik di sisi Allah Swt.
Telah dikemukakan dalam bab pertama adanya manusia yang perbuatannya baik, namun niatnya jelek, itulah orang munafik, namun kita tidak dapat melihat isi hati orang lain. Itulah sebabnya bahwa belum dapat dikatakan amal shalih apabila tidak memenuhi minimal 3 syarat, yaitu: pekerjaanya baik menurut syari’at Islam, niatnya baik dan ilmunya memadai. Mengenai ruh, hanyalah Allah yang mengetahui, meskipun demikian ada suatu ajaran bahwa ruh itu hendaknya dibersihkan dengan muraqabah, diisi dengan musyahadah dan dipelihara dengan ma’rifat. Hal ini memerlukan riyadah yang cukup lama. Perhatikanlah firman Allah Swt dalam surat Al-Isra’ ayat 85 yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku. Kamu diberi pengetahuan hanya sedikit saja.  
Hati memiliki tiga macam penyakit, yakni hasad, riya’ dan ‘ujub. Sifat hasad atau dengki memiliki cabang yang dinamakan syuh (kikir yang sangat). Syuh ini lebih buruk dari sifat bakhil. Rasulullah Saw bersabda.

ثلاث مهلكات: شح مطاع وهوى متبع واعجاب المرء بنفسه
“Ada tiga perkara yang membinasakan, yaitu kikir yang diturut, hawa nafsu yang diikuti serta kebanggaan seseorang pada diri sendiri.”

الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
“Hasad itu dapat menghapuskan kebaikan sebagaimana api membakar kayu kering.”
لاتحاسدوا ولاتقاطعوا ولاتباغضوا ولاتدابروا وكونوا عبادالله اخوانا كما أمركم الله
“Janganlah kamu semua saling mendengki, jangan saling memutuskan hubungan persaudaraan, jangan saling benci, jangan pula saling bermusuhan. Dan jadilah kamu semua sebagai hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada kalian semua.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).

Di antara atsari sebagian ulama salaf al-shalih, disebutkan, “Sesungguhnya permulaan segala kekeliruan adalah kedengkian. Iblis dengki kepada Nabiy Allah Adam ‘Alaih al-Salam karena kedudukan yang diperolehnya, sehingga menyebabkan ia tidak mau menghormatinya ketika diperintahkan Allah Swt. Jadi ia didorong oleh kedengkian (sifat hasad) sampai berani berbuat kemaksiatan yang besar.”[30]
Sedangkan riya adalah syirk al-khafi (syirik yang samar), yaitu salah satu dari dua bagian kemusyrikan. Dimana riya’ adalah mencari pengaruh dan penghormatan di hati makhluk untuk mendapatkan pengaruh serta pujian mereka. Berkaitan dengan riya ini diriwayatkan dalam sebuah hadits Rasul Allah Saw, “Sesungguhnya pada hari kiamat kelak ada seorang yang mati syahid diperintahkan supaya masuk neraka.” Orang itu berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya saya adalah orang yang mati syahid dalam jihad karena Engkau.” Allah Swt berfirman kepada orang itu, “Kamu melakukan itu hanya ingin mendapatkan pujian makhluk dan nama besar, serta ingin dikatakan sebagai pemberanil. Dan itu semua telah kamu dapatkan di dunia.”[31]
Diriwayatkan bahwa ‘Umar memasuki masjid. Lalu ia melihat Mu’adz bin Jabal sedang menangis di sisi kubur Rasulullah Saw. Maka ‘Umar bertanya, “Gerangan apa yang menyebabkanmu menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda.

ان اليسير من الرياء شرك وان الله تعالى يحب الأتقياء الأخفياء الذين اذا غابوا لم يفقدوا وان حضروا لم يعرفوا. قلوبهم مصابيح الهدى ينجون من كل غبراء مظلمة
“Sesungguhnya riya’ yang sedikit saja adalah syirik. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa yang menyembunyikan amal perbuatannya. Yaitu, orang-orang yang apabila ia tidak ada, orang-orang tidak merasakan kehilangan dia. Jika ia ada, orang-orang pun tidak mengenalinya. Hati mereka bagai lampu yang memberi petunjuk. Mereka terlepas dari setiap yang gelap.”[32]

Allah Swt.berfirman, “Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya, (yaitu) orang-orang yang berbuat riya’ (dalam shalatnya).”[33] Dan “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”[34]
Hakikat riya’ adalah bahwa riya’ itu berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat, sementara sum’ah berasal dari kata sama’ yang berarti mendengar. Riya’ asalnya mencari kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka beberapa kebajikan. Hanya saja pangkat dan kedudukan di hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amalan selain ibadah, dan kadang-kadang dicari dengan amalan ibadah.[35]
Menurut al-Ghazali,[36] riya’ memiliki beberapa tingaktan. Jika seluruh tujuannya adalah perbuatan riya’, maka tentu itu membatalkan ibadah. Jika tujuan ibadah dan riya’ itu sebanding dengan mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan tidak pula kejelekan. Jika asalnya adalah bertujuan untuk beribadah dan riya’, dan ternyata salah satunya lebih besar daripada yang lain, dan kalau riya’ itu menjadi hilang, maka ia memperoleh pahala ibadah. Jika perbuatannya semata-mata karena riya’, tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian terbebas dari riya’, maka barangkali tidak sia-sia amalannya. Namun, dikurangi pahalanya, atau ia disiksa berdasarkan kadar riya yang diperbuatnya. Dan jika riya’ itu dalam pokok keimanan, maka itu adalah kemunafikan. Pelakunya kekal di dasar neraka. Jika riya’ itu dalam pokok-pokok fardlu, bukan dengan pokok-pokok keimanan, maka itu lebih ringan.
Selain jenis riya’ yang secara jelas-jelas ditampakkan, ada juga jenis riya’ yang tersembunyi, jenis yang terakhir ini lebih tersembunyi daripada semut hitam yang kecil di malam hari. Hal itu tidak ditampakkan dalam peribadatan, dan tidak pula membekas dalam ibadah disebabkan penglihatan orang banyak. Namun ia suka agar ibadanya diketahui, tetapi ia merahasiakan hal itu. Inilah riya’ yang tersembunyi itu. Cara mengobati dan menolak riya’ ini adalah dengan mengetahui bahwa sumbernya adalah cinta harta, cinta pangkat, dan cinta pujian. Agar riya’ tersembunyi itu tidak muncul kembali, hendaklah ia menyadari bahwa Allah Swt mengetahui rahasianya.
Adapun ‘ujub, takabur, serta sombong merupakan penyakit hati yang sulit disembuhkan, yaitu orang yang menganggap dirinya lebih atau paling bahkan paling mulia, paling agung serta menganggap orang lain hina. Timbulnya ketakaburan itu karena lisan sering mengucapka, “Aku, pokoknya aku”, sebagaimana ucapan syetan yang dilaknat.

قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
“Aku lebih baik daripadanya karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.”[37]

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”[38]
“Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang.”[39]
“Dan mereka memohon kemenangan atas musuh-musuh mereka, dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala.”[40]

Dan Rasulullah Saw bersabda.

لا يدخل الجنة من كان فى قلبه مثقال ذرة من الكبر
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walau seberat biji sawi. Dan tidak akan masuk neraka orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan walau seberat biji sawi.”

قال الله تعالى الكبرياء رداني والعظمة ازاري فمن نازعني واحدا منهما القيته فى جهنم
“Allah Swt berfirman, “Kesombongan itu adalah kain selendang-Ku dan kebesaran itu adalah kain sarung-Ku. Barangsiapa melawan Aku pada salah satu dari keduanya, niscaya Aku melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.”[41]

Makna kesombongan adalah suatu sifat di dalam jiwa. Tumbuh dari penglihatan nafsu. Yang tampak dari kesombongan pada lahirnya adalah seperti pengaruh sifat tersebut. Jika kesombongan itu ditujukan kepada Allah untuk tidak tunduk pada perintah-Nya, maka itu adalah benar-benar kekufuran. Jika kesombongan itu ditujukan kepada para Rasul untuk tidak patuh kepada mereka karena mereka adalah manusia seperti dirinya, maka itu pun benar-benar kekufuran. Dan jika kesombongan itu ditujukan kepada manusia dan menyeru mereka untuk berkhidmat kepada dirinya serta tunduk kepadanya, maka itu pun merupakan pengingkaran terhadap Allah, karena tidak sepatutnya ia memerintahkan orang lain taat kepadanya. 
Kelengkapan lainnya adalah nafsu. Nafsu yang ada pada diri manusia cukup besar pengaruhnya dan paling banyak mengeluarkan perintah kepada anggota jasmani untuk melakukan sesuatu yang dikehandakinya. Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin jilid III halaman 47 mengemukakan tentang Riyadat al-nafsi, kemudian menguraikan tentang husn al-khuluk dan su’ al-khuluk selanjutnya pada halaman 52 dikemukakan definisi tentang khuluk itu tersendiri; bagaimana melatih nafsu yang sering mendorong kepada perbuatan yang buruk supaya dikendalikan dan disalurkan kepada perbuatan yang baik. Dalam kategori nafsu ini Barmawy Umarie mengemukakan adanya 7 tingkatan nafsu berdasarkan Tarikat Khalawatiyah, yang terdapat dalam bukunya yang berjudul Materi Akhlak hal. 105:
a.        Nafsu Ammarah, yang kebanyakan mendorong kepada hal-hal yang kurang baik, bahkan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt jiwa yang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang manfaat dan mana yang mafsadat. Nafsu ini belum mendapat tuntunan, karena enggan menerima saran atau gagasan orang lain, bahkan orang yang memberi peringatan itu dianggapnya sebagai lawan.
b.        Nafsu Lawwamah, yaitu jiwa yang telah mempunyai rasa insyaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. Orang yang bersangkutan tidak berani melakukan ma’siyat secara terang-terangan, dan tidak pula mencari cara yang sembunyi karena ia telah sadar akibat perbuatannya. Tetapi seringkali ia dekat kepada perbuatan ma’siyat dan mafsadat, namun ia selalu mengharap agar kejahatannya tidak terulang lagi dan mengharapkan ampunan dari Allah Swt.
c.        Nafsu Musawalah, yaitu jiwa yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik dan yang buruk itu masih dirasakan sama halnya. Yang buruk dikerjakannya dengan sembunyi karena padanya ada sifat malu, malu diketahui orang lain bukan malu terhadap dirinya sendiri. Dalam hal posisi masih dekat kepada kejahatan dari pada kebaikkan, namun sudah ada usaha untuk bersembunyi.
d.       Nafsu Mutmainnah, yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik. Ia mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi serangan kekejian dan kejahatan, mendorong untuk melakukan kebajikan dan menghambat bahkan menghalangi perbuatan jahat.
e.        Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang telah memperoleh ilham dari Allah Swt, dikarunai ilmu pengetahuan, dihiasi oleh akhlak mahmudah, ia merupakan sumber sabar, syukur, ulet dan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi.
f.         Nafsu Radiyah, yang ridla kepada Allah, mempunyai status yang baik dalam kesejahteraan, mensyukuri nikmat, bersikap qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada.
g.       Nafsu Mardiyah, yaitu jiwa yang telah diridlai Allah Swt keridlaan ini dapat terlihat pada anugerah yang diberikan-Nya berupa dzikir, ikhlas, dan memperoleh kemulian.
Nafsu Kamilah, yaitu jiwa yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah cukup untuk mengerjakan irsyad, menyempurnakan ikmal terhadap Allah Swt sehingga ia digelari Mursyid dan Mukammil, ia telah tajally ila Rabb al-‘Arsy al-‘Adzim.


[1] Abu Hamid al-Ghazali. Bidayah al-Hidayah. Diterjemahkan oleh K.H. Abdullah Zakiy al-Kaaf. Etika Islami: Bimbingan AwalMenuju Hidayah Ilahi. Bandung. CV. Pustaka Setia. Cetakan ke I. Mei 2002 M/Rabiul Awwal 1423 H. hal. 88-89. selanjutnya ditulis Bidayah.
[2] Ibid. hal. 89.
[3] Ibid. hal. 89-97.
[4] Uwes al-Qorni. 60 Bahaya Lisan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Cetakan ke III. Mei 2000.
[5] Uwes al-Qorni. Op. cit. hal. 11.
[6] Ibid. hal. 12.
[7] Q.S. al-Baqarah [2]:10.
[8] Ibid. hal. 13-14.
[9] Ibid. hal. 14-17.
[10] Q.S. al-A’raf [7]: 37.
[11] Ibid. hal. 15-16.
[12] Ibid. hal. 17.
[13] Ibid. hal. 18-21.
[14] Al-Ghazali. Bidayah. Op. cit. hal. 90.
[15] Ibid. hal. 91.
[16] al-Ghazali. Bidayah. Op. cit. hal. 87.
[17] Ibid. hal. 88.
[18] Q.S. al-Mu’minun [23]: 5-6.
[19] Q.S. Hud [11]: 113.
[20] Ibid. hal. 101.
[21] Al-Ghazali. Mukhtasar Ihya’ ‘Ulumuddin. Beirut. Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah. Cetakan I. 1410/1990. diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjat al-Islam. Bandung. Mizan. Cetakan ke XIII, Rajab 1423 H/Oktober 2002. hal. 197-198, dan 461. selanjutnya ditulis Mukhtasar
[22] Ibid. hal. 195 dan 461.
[23] Q.S. Qaf [50]: 37.
[24] Ibid. hal. 196.
[25] Q.S. al-Anfal [8]: 24.
[26] Ibid. hal. 198.
[27] Ibid. hal. 199 dan 462.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] al-Ghazali. Bidayah. Op. cit. hal. 105-107.
[31] Ibid. hal. 108-109.
[32] Al-Ghazali. Mukhtashar. Op. cit. hal. 277 dan 473.
[33] Q.S. al-Ma’un [107]: 4-6.
[34] Q.S. al-Kahf [18]: 110.
[35] Ibid. hal. 285.
[36] Ibid. hal. 287-8.
[37] Q.S. Shad [38]: 76.
[38] Q.S. al-A’raf [7]: 146.
[39] Q.S. al-Mu’min [40]: 35.
[40] Q.S. Ibrahim [14]: 15.
[41] Ibid. hal. 291 dan 474.

Tidak ada komentar: