Senin, 06 Juni 2011

Ratu Kalinyamat, perempuan ningrat asal Jepara yang pemberani

Oleh : Chusnul Hayati
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro, Semarang

Abstract
Ratu Kalinyamat or Queen of Jepara was women Indonesian figure who had important role in
politic and economic activities in Nusantara in the 16th century. She had original name was Retno Kencono. She was daughter of Sultan Trenggana, king of Demak Kingdom who ruled in the medium of 16th century. In 1544 Sultan Trenggana sent Ratu Kalinyamat to asked support from King Banten for territorial expansion of Demak Kingdom in East Java. Ratu Kalinyamat ruled in Jepara since 1549, changed her husband, Pangeran Hadiri, as king of Jepara. In 1551 she sent military expedition to helped King of Johor attacked Portugis in Malaka. In 1574 she sent military expedition again to drived away Portugis in Malaka fort helped King of Aceh. As long as ruled in Jepara she developed Jepara as international harbor successfully. She also pioneered carving as the specific art of Jepara, after that it’s become important economic activity in Jepara. Ratu Kalinyamat died in 1579.


I. PENGANTAR
Ratu Kalinyamat adalah seorang tokoh wanita yang sangat terkenal. Dia tidak hanya berparas
cantik, tetapi juga berkepribadian "gagah berani" seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame yang seorang wanita yang pemberani. Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah dilukiskan oleh penulis Portugis Diego de Couto, sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa. Di samping itu, selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya (Diego de Couto, 1778-1788).

Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita Indonesia yang penting peranannya pada abad ke-
16. Peranannya mulai menonjol ketika terjadi perebutan tahta dalam keluarga Kesultanan Demak. Ia menjadi tokoh sentral yang menentukan dalam pengambilan keputusan. Di samping memiliki karakter yang kuat untuk memegang kepemimpinan, ia memang menduduki posisi strategis selaku putri Sultan Trenggana, Raja Demak ke tiga. Sultan Trenggana adalah putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.

Selama 30 tahun berkuasa, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara kepada
puncak kejayaannya. Dengan armada lautnya yang sangat tangguh, Ratu Kalinyamat pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis di Malaka. Walaupun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan terhadap Portugis, ternyata ekspedisi tersebut mengalami kegagalan, dan pada akhirnya kembali ke Jawa. Seorang pemimpin ekspedisi militer Ratu Kalinyamat ke Malaka tersebut adalah Kyai Demang Laksamana (sumber Portugis menyebut dengan nama Quilidamao).

Uraian singkat di bawah ini akan menjelaskan tentang :
1. Siapakah tokoh Ratu Kalinyamat?
2. Bagaimana riwayat hidup Ratu Kalinyamat?
3. Bagaimana peranan Ratu Kalinyamat dalam sejarah Indonesia sehingga ia dipandang sebagai tokoh yang besar jasanya bagi bangsa Indonesia?

B. SIAPA TOKOH RATU KALINYAMAT?

Sejak terjadinya perebutan tahta di Demak, nama Ratu Kalinyamat muncul dalam panggung
sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa. Dalam sejarah dinasti Demak, tokoh Ratu Kalinyamat mempunyai nama yang begitu menonjol ketika kerajaan itu mengalami kemerosotan akibat konflik perebutan tahta. Popularitasnya jauh lebih menonjol dibanding dengan Pangeran Hadiri, bahkan Sultan Prawata, raja Demak ke empat.

Ratu Kalinyamat adalah putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, sultan Demak
yang pertama.Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Retna Kencana yang kemudian dikenal
sebagai Ratu Kalinyamat. Retna Kencana kemudian tampil sebagai tokoh sentral dalam
penyelesaian konflik di lingkungan keluarga Kesultanan Demak. Setelah kematian Arya
Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat.
Penobatan ini ditandai dengan sengkalan tahun (candra sengkala) Trus Karya Tataning Bumi
yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549.

Selama masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Menurut sumber Portugis yang ditulis Meilink-Roelofs menyebutkan bahwa Jepara menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16.

Adanya gelar ratu menunjukkan bahwa di lingkungan istana kedudukannya cukup tinggi
dan menentukan. Lazimnya gelar itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri, atau puteri sulung raja. Babad Demak Jilid 2 menempatkan Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana. Kalau ini benar, berarti gelar ratu sudah sepantasnya melekat padanya. Sebagai puteri sulung raja, ia disebut Ratu Pembayun. Pernyataan ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datanglah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat adipati.

Menurut Babad Tanah Jawi, Sultan Trenggana mempunyai enam orang putra. Putra
sulung adalah seorang putri yang dinikahi oleh Pangeran Langgar, putra Ki Ageng Sampang dari
Madura. Putra ke dua seorang laki-laki yang bernama Pangeran Prawata yang kelak menggantikan ayahnya menjadi Sultan Demak ke tiga. Putra ke tiga seorang putri yang menikah dengan Pangeran Kalinyamat. Putra ke empat juga seorang putri yang menikah dengan seorang pangeran dari Kasultanan Cirebon. Putra ke lima juga putri menikah dengan Raden Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada pun putra bungsu adalah Pangeran Timur, yang masih sangat muda ketika ayahnya wafat (Sudibyo, Z.H., 1980 : 62).

Dalam sumber-sumber sejarah Jawa Barat, dijumpai nama Ratu Arya Japara, atau Ratu
Japara untuk menyebut nama Ratu Kalinyamat (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 128). Sementara
itu Serat Kandhaning Ringgit Purwa menyebutkan bahwa Sultan Trenggana berputra lima orang.
Putra pertama hingga ke empat adalah putri sedang putra bungsunya laki-laki. Putri sulung
bernama Retna Kenya yang menikah dengan Pangeran Sampang dari Madura, putri ke dua adalah

Retna Kencana yang menikah dengan Kyai Wintang, putri ke tiga adalah Retna Mirah menikah
dengan Pangeran Riyo, putri ke empat seorang putri, dan putra bungsunya bernama Pangeran
Prawata (Serat Kandhaning Ringgit Purwa. KGB No 7: 257). Dari sumber ini terungkap bahwa
Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Suaminya, Kyai Wintang mempunyai
sebutan lain Pangeran Hadiri/Pangeran Hadirin atau Pangeran Kalinyamat (P.J. Veth, 1912).
Ratu Kalinyamat dapat digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas, berwibawa,
bijaksana, dan pemberani. Kewibawaan dan kebijaksanaannya tercermin dalam peranannya
sebagai pusat keluarga Kesultanan Demak. Walau pun Ratu Kalinyamat sendiri tidak berputera,
namun ia dipercaya oleh saudara-saudaranya untuk mengasuh beberapa keponakannya.

Menurut sumber-sumber sejarah tradisional dan cerita-cerita tutur di Jawa, ternyata ia menjadi pusat keluarga Kerajaan Demak yang telah tercerai berai sesudah meninggalnya Sultan Trenggana dan Sultan Prawata.

Ratu Kalinyamat adalah seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di Kalinyamat,
suatu daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 kilo meter dari
Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara-Kudus. Pada abad ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya. Th. C. Leeuwendal, Asisten Residen Jepara dalam Oudheidkundig Verslag 1930 menjelaskan mengenai lokasi kraton Kalinyamat dengan menggunakan berita dari Diego de Couto. Peta Karesidenan Kalinyamat terletak kira-kira 2 pal sebelah selatan Krasak dan di sebelah barat jalan besar Kudus-Jepara.

Sementara itu P.J. Veth (1912) mencatat bahwa Kalinyamat pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk setempat dan para pegawai sama sekali tidak tahu tempat yang tepat dari bekas istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu Kalinyamat. Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan, Kriyan, dan tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada dugaan Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para bangsawan).
Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, pada hal tidak ada lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman.

Di tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil (Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ ditemukan dinding tembok dari kraton lama
yang diperkirakan panjang kelilingnya antara 5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang menonjol ke luar. Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang jalan besar Kudus, Jepara, Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an merupakan garis batas antara onderdistrik Pacangaan, Welahan, dan Kali Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton itu masih dalam kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil, memang ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di tempat lain menunjukkan adanya tempat mandi.

Dengan melalui penggalian percobaan di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding benteng yang sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat
itu juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih kecil ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah diambili dan dimanfaatkan oleh penduduk.

Di samping itu P.J. Veth memperoleh temuan penting dari berita Portugis mengenai "Cerinhama" atau "Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah kerajaan laut atau kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau kira-kira 12,5 pal ke pedalaman. Di tempat itu lah letak reruntuhan kraton Kalinyamat yang menjadi tempat kedudukan atau peristirahatan Ratu Jepara. (Veth III, 1882 : 762).

Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di
Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.

C. BIOGRAFI RATU KALINYAMAT

Sejak masih gadis, Ratu Kalinyamat memperoleh kepercayaan untuk memangku jabatan Adipati
Jepara. Kala itu wilayah kekuasaannya meliputi Jepara, Pati, Kudus, Rembang dan Blora.
Kerajaan kecilnya mula-mula didirikan di Kriyan.

Ratu Kalinyamat menikah dengan Pangeran Hadiri. Salah satu versi menyebutkan bahwa
ia adalah putera Sultan Ibrahim dari Aceh, yang bergelar Sultan Muhayat Syah. Waktu kecilnya
bernama Pangeran Toyib. Setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, ia diberi gelar Pangeran
Hadiri, yang berarti yang hadir (dari Aceh ke Jepara).

Pertemuan dengan Ratu Kalinyamat terjadi karena pada waktu itu Pangeran Toyib diutus
oleh Sultan Aceh untuk menimba ilmu pemerintahan dan agama Islam di Kesultanan Demak.
Lelaki berdarah Persia ini sangat tampan, arif bijaksana, berwawasan Islam luas, dan ketaatan
iman, serta berani menentang penjajah Portugis. Setelah mengetahui asal-usul Raden Toyib,
hati Ratu Kalinyamat menjadi berdebar-debar. Ia teringat akan ramalan ayahnya bahwa pria yang akan menjadi pendampingnya kelak bukan berasal dari kalangan orang Jawa, melainkan berasal dari negeri seberang. Kemudian Ratu Kalinyamat bersedia diperistri oleh Raden Toyib.

Pada masa mudanya Pangeran Toyib mengembara ke negri Cina. Di sana ia bertemu dengan Tjie Hwie Gwan, seorang Cina muslim yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Konon, ayah angkatnya tersebut menyertainya ke Jepara. Setelah menikah dengan Ratu kalinyamat dan
menjadi adipati di Jepara, Tjie Hrie Gwan diangkat menjadi patih dan namanya berganti menjadi
Pangeran Sungging Badar Duwung (sungging ‘memahat’, badar ‘batu atau akik ’duwung ‘tajam’). Nama sungging diberikan karena Badar Duwung adalah seorang ahli pahat dan seni ukir.

Diceritakan bahwa dialah yang membuat hiasan ukiran di dinding masjid Mantingan. Ialah yang mengajarkan keahlian seni ukir kepada penduduk di Jepara. Di tengah kesibukanny  sebagai mangkubumi Kadipaten Jepara, Badar Duwung masih sering mengukir di atas batu yang
khusus didatangkan dari negeri Cina. Karena batu-batu dari Cina kurang mencukupi kebutuhan,
maka penduduk Jepara memahat ukiran pada batu putih.

Pernikahan Ratu Kalinyamat dengan Pangeran Hadiri tidak berlangsung lama. Hati Ratu
Kalinyamat sangat terpukul dan berduka atas kematian Pangeran Hadiri pada tahun 1549 yang
dibunuh oleh utusan Arya Penangsang. Pembunuhan terjadi seusai menghadiri upacara
pemakaman kakak kandungnya, Sunan Prawoto yang juga tewas di tangan Arya Penangsang.

Untuk menghadapi amukan Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat bertapa di Gelang Mantingan,
kemudian pindah ke Desa Danarasa, lalu berakhir di tempat Donorojo, Tulakan, Keling Jepara.
Setelah kematian Ario Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa
Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat. Penobatan ini terjadi dengan ditandai adanya sengkalan
Trus Karya Tataning Bumi, yang diperhitungkan sama dengan tanggal 12 Rabiul Awal atu 10
April 1549. Selama masa kekuasaannya, Jepara semakin berkembang menjadi Bandar terbesar di pantai utara Jawa, dan memiliki armada laut yang besar serta kuat.

Dalam perkawinanannya, Ratu Kalinyamat tidak dikaruniai putra. Ia merawat beberapa
anak asuh. Salah satu anak asuhnya ialah adiknya sendiri, Pangeran Timur, yang berusia masih
sangat muda ketika Sultan Trenggana meninggal. Setelah dewasa, Pangeran Timur menjadi
adipati di Madiun yang dikenal dengan nama Panembahan Madiun (G. Moedjanto, 1987 : 155 dan Sartono Kartodirdjo, 1987: 129).

Dalam Sejarah Banten tercatat bahwa Ratu Kalinyamat mengasuh Pangeran Arya, putera
Maulana Hasanuddin, Raja Banten (1552-1570) yang menikah dengan puteri Demak, Pangeran
Ratu ( Hoesein Djajadiningrat, 1983 : 128). Menurut historiografi Banten, Maulana Hasanuddin
dianggap sebagai pendiri Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri juga berdarah Demak. Ayahnya, Fatahillah sedang ibunya adalah saudara perempuan Sultan Trenggana. Maulana Hasanuddin kawin dengan putri Sultan Trenggana. Dari perkawinannya itu lahir dua orang putra, yang pertama Maulana Yusuf dan yang ke dua Pangeran Jepara. Yang terakhir ini disebut demikian karena kelak ia menggantikan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara.

Selama di Jepara, Pangeran Arya diperlakukan sebagai putra mahkota. Setelah bibinya meninggal, ia memegang kekuasaan di Jepara dan bergelar Pangeran Jepara (H.J. de Graaf, 1986: 129). Masa pemerintahannya dan peranannya dalam bidang politik dan ekonomi memang tidak begitu menonjol seperti bibinya.

Tidak disebutkan dengan jelas apa alasannya Pangeran Arya dikirim ke Jepara untuk
dididik oleh bibinya. Meski pun demikian, dapat diduga bahwa Ratu Kalinyamat dipandang
mampu membimbing dan mendidik, memiliki wibawa, dan berpengaruh. Adakalanya pendidikan
putra raja diserahkan kepada keluarga raja yang bertempat tinggal tidak bersama-sama raja.
Pemilihan Ratu Kalinyamat sebagai pendidik Pangeran Arya menunjukkan bahwa ia memiliki
kepribadian yang kuat.

Di samping mengasuh kedua anak muda itu, Ratu Kalinyamat juga dipercaya untuk
membesarkan putra-putra Sultan Prawata yang telah menjadi yatim piatu. Sultan Prawata
mempunyai tiga orang putra, dua laki-laki dan satu perempuan. Salah satu putra Sultan Prawata adalah Pangeran Pangiri, yang kelak berkuasa di Demak. Selain sebagai keponakan, kelak ia juga menjadi menantu Sultan Pajang (H.J. de Graaf, 1986: 272). Tahun meninggalnya Ratu Kalinyamat tidak dicantumkan dalam kitab kesusasteraan Jawa. Ia dimakamkan di dekat
suaminya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya
sendiri, sesudah ia menjadi janda pada tahun 1549.Pengganti Ratu Kalinyamat adalah Pangeran Japara yang berkuasa dari tahun 1579 sampai tahun 1599. Menurut cerita Babad Tanah Jawi, ia adalah anak angkat Ratu Kalinyamat. Akan tetapi sumber Sejarah Banten menyebutkan bahwa putra mahkota itu, yang bernama Pangeran Aria atau Pangeran Jepara itu adalah anak angkat Ratu Kalinyamat, putra Raja Hasanudin, Raja Banten. Pada masa inilah peranan Jepara sebagai kota pelabuhan yang penting mengalami masa kemerosotannya.

D. PERANAN RATU KALINYAMAT DALAM SEJARAH INDONESIA

Ratu Kalinyamat sebagai kepala daerah Jepara telah memainkan peranan penting tidak hanya pada level lokal atau regional, tetapi pada level internasional. Peranannya meliputi berbagai aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, mau pun hubungan internasional.

1. Peranan Ratu Kalinyamat dalam Bidang Politik
Peranan politik yang dilakukan Ratu Kalinyamat diawali ketika terjadi kemelut di istana Demak
pada pertengahan abad ke-16 yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan sepeninggal
SultanTrenggana. Perebutan tahta menimbulkan peperangan berkepanjangan yang berakhir
dengan kehancuran kerajaan. Perebutan kekuasaan terjadi antara keturunan Pangeran Sekar
dengan Pangeran Trenggana. Kedua pangeran ini memang berhak menduduki tahta Kesultanan
Demak. Dari segi usia, Pangeran Sekar lebih tua sehingga merasa lebih berhak atas tahta
Kesultanan Demak dari pada Pangeran Trenggana. Namun Pangeran Sekar lahir dari istri ke tiga
Raden Patah, yaitu putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggana lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel. Oleh karena itu Pangeran Trenggana merasa lebih berhak menduduki tahta Kesultanan Demak (Djuliati Suroyo dkk, 1995: 29 dan Slamet Mulyono, 1968: 120).

Pangeran Prawata, putra Pangeran Trenggana, membunuh Pangeran Sekar yang dianggap sebagai penghalang bagi Pangeran Trenggana untuk mewarisi tahta Kesultanan Demak. Pembunuhan terjadi di sebuah jembatan sungai saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari salat Jum’at. Oleh karena itu, ia dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen. Menurut tradisi lisan di daerah Demak, pembunuhan itu terjadi di tepi Sungai Tuntang, sedang menurut tradisi Blora Pangeran Sekar dibunuh di dekat Sungai Gelis (Karyana Sindunegara, 1996/1997: 83-87).

Pembunuhan ini menjadi pangkal persengketaan di Kerajaan Demak. Raden Arya Penangsang, putra Pangeran Sekar berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya, sehingga ia berusaha untuk menumpas keturunan Sultan Trenggana. Apalagi ia mendapat dukungan secara penuh dari gurunya. Sunan Kudus.

Pangeran Sekar mempunyai dua orang putra, yaitu Raden Penangsang dan Raden Mataram. Sepeninggal ayahnya, Raden Penangsang diangkat menjadi adipati di Jipang bergelar Raden Arya Penangsang. Menurut pandangan masyarakat Blora Arya Penangsang tampangnya
seram, berkumis tebal, uwang malang, paha belalang, namun tidak begitu tinggi. Ia suka memakai celana komprang berwarna hitam, bebedan, dan memakai destar (Karyana Sindunegara dkk., 1996/1997: 84).

Bagi lawan-lawan politiknya, Arya Penangsang dituduh telah banyak melakukan kejahatan dan pembunuhan terhadap keturunan Sultan Trenggana. Ia menyuruh Rangkut dan Gopta untuk membunuh Sultan Prawata. Sultan Prawata terbunuh bersama permaisurinya pada tahun 1549 (Babad Demak II: 28). Ia kemudian membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Pangeran Hadiri berhasil dibunuh oleh pengikut Arya Penangsang dalam perjalanan
pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya dalam rangka minta keadilan dari Sunan Kudus atas
dibunuhnya Sultan Prawata oleh Arya Penangsang. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima
tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia memihak Arya Penangsang. Menurut Sunan Kudus, Sultan
Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Penangsang yang harus dibayar dengan
nyawanya. Arya Penangsang juga mencoba membunuh Adipati Pajang Hadiwijaya, menantu
Sultan Trenggana. Namun menurut J.Brandes (1901: 488-491), ia bertindak demikian karena
membela hak-haknya.

Kematian Sultan Prawata dan Pangeran Hadiri tampaknya membuat selangkah lagi bagi
Arya Penangsang untuk menduduki tahta Demak. Meskipun pembunuhan terhadap Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri telah berjalan mulus, namun Sunan Kudus merasa belum puas apabila Arya Penangsang belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu Hadiwijaya. Atas nasehat Sunan Kudus, Arya Penangsang berencana membunuh Hadiwijaya namun mengalami kegagalan. Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan Pajang.

Di luar dugaan pihak Sunan Kudus dan Arya Penangsang, ternyata Ratu Kalinyamat
tampil memainkan peranan penting dalam menghadapi Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat minta kepada Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang. Didorong oleh naluri kewanitaannya yang sakit hati karena kehilangan suami dan saudara, ia telah menggunakan wewenang politiknya selaku pewaris dari penguasa Kalinyamat dan penerus keturunan Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat memiliki sifat yang keras hati dan tidak mudah menyerah pada nasib. Menurut kisah yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja. Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya apabila Arya Penangsang telah terbunuh.

Pernyataan Babad Tanah Jawi itu merupakan suatu kiasan yang memerlukan interpretasi
secara kritis. Historiografi tradisional memuat hal-hal yang digambarkna dengan simbol-simbol
dan kiasan-kiasan. Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana
sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan dan
pakaian yang bagus (Suara Merdeka, 10 Desember 1973). Ratu Kalinyamat tidak menghiraukan
lagi untuk mengenakan perhiasan dan pakaian indah seperti layaknya seorang ratu. Pikirannya
ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang. Di Gunung Danaraja itu lah
Ratu Kalinyamat menyusun strategi untuk melakukan balas dendam kepada Arya Penangsang.

Peperangan antara Pajang dan Jipang tidak dapat terelakkan. Dalam peperangan itu, Arya
Penangsang memimpin pasukan Jipang mengendarai kuda jantan bernama Gagak Rimang yang
dikawal oleh prajurit Soreng. Adapun pasukan Pajang dipimpin oleh Ki Gede Pemahanan, Ki
Penjawi, Ki Juru Mertani. Pasukan Pajang juga dibantu oleh sebagian prajurit Demak dan
tamtama dari Butuh, pengging. Dalam peperangan itu Arya Penangsang terbunuh.

Terbunuhnya Arya Penangsang itu terjadi pada tahun 1480 Saka atau 1558 Masehi
(Karyana Sindunegara, 1996/1997: 123-114). Menurut Amen Budiman peristiwa itu terjadi pada
tahun 1556 (Amen Budiman, 1993: 78), sedang sumber lain mengatakan Arya Penangsang gugur pada tahun 1554 (Suripan Sadi Hutomo, 1996). Pertempuran dimenangkan oleh pihak Pajang dan Arya Penangsang gugur ((H.J. de Graaf, 1986: 91). Rangkaian peristiwa pembunuhan para kerabat raja Demak hingga perang antara Pajang melawan Jipang itu dalam sumber tradisi terjadi pada tahun 1549. Hal itu merupakan anti klimaks dari sejarah dinasti Demak (H.J. de Graaf, 1986: 91).

Setelah kematian Arya Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat Peristiwa perebutan kekuasaan di Demak itu di satu pihak telah memunculkan tokoh wanita yang memegang peranan penting dalam kesatuan keluarga Kesultanan Demak, serta dalam bidang politik pemerintahan yang begitu menonjol. Sementara itu di pihak lain, memunculkan seorang tokoh baru atau homo novus yaitu Sultan Hadiwijaya.

Fernao Mendez Pinto dalam kesaksiannya menyatakan bahwa di wilayah
Kerajaan Demak terdapat delapan penguasa yang memiliki hak untuk memilih raja
baru sehingga berkedudukan sebagai dewan mahkota. P.J. Veth (1912) juga
menyatakan terdapat daerah utama yang merdeka di Jawa dan Madura, salah
satunya adalah Kalinyamat. Kedelapan daerah merdeka itu adalah Banten,
Jayakarta, Cirebon, Prawata, Pajang, Kedu, Madura, dan Kalinyamat. Kedudukan
Kalinyamat sebagai daerah merdeka ini menempatkan Ratu Kalinyamat pada posisi
strategis sebagai pemegang kekuasaan di Jepara. Karena termasuk sebagai dewan
mahkota, maka kedudukan dan pengaruh penguasa di delapan daerah merdeka di
bidang politik dan pemerintahan cukup kuat (H.J. de Graaf, 1986 : 89).
Sultan Demak untuk menggabungkan daerah Prawata dan Kalinyamat
menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara sultan dengan penguasa
Kalinyamat. Kekuasaan Ratu Kalinyamat atas wilayah Kalinyamat dan Prawata
cukup kokoh karena tidak ada ancaman dari pihak mana pun. Agaknya ia dihormati
sebagai kepala keluarga Kasultanan Demak yang sesungguhnya. Sepeninggal Sultan
Prawata, ia menjadi pemimpin keluarga dan pengambil keputusan penting atas
bekas wilayah Kasultanan Demak. Bagi Ratu Kalinyamat kekuasaan Pangeran
Pangiri, putra Sultan Prawata, di Demak begitu kecil. Apalagi Pangeran Pangiri
menjadi anak asuhnya dan dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat. Sementara itu Sultan
Pajang bukan merupakan hambatan bagi Ratu Kalinyamat. Ada pun kekuasaan rajaraja
Banten dan Cirebon baru saja muncul. Dengan demikian, di antara pewaris
dinasti Demak di wilayah pantai utara Jawa, Ratu Kalinyamat lah yang paling
menonjol (H.J. de Graaf, 1986 : 131).
Ratu Kalinyamat diperkirakan memerintah hingga 1579. Penggantinya
adalah Pangeran Jepara, putra angkat Ratu Kalinyamat. Sejarah Banten menyebutkan
bahwa putra mahkota Jepara yang bernama Pangeran Aria atau Pangeran Jepara adalah putra
angkat Ratu Kalinyamat, putra raja Banten Hasanuddin. Pada masa itu peranan Jepara mulai
mengalami kemerosotan. Pada tahun 1599 Jepara dengan susah payah ditundukkan oleh Mataram.
Jepara waktu itu memiliki daya tahan yang kuat karena kota pelabuhan itu dikelilingi dengan
benteng yang menghadap ke pedalaman dan dijaga ketat oleh prajurit Jepara.
2. Peranan Ratu Kalinyamat dalam Bidang Ekonomi
Di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara mengalami perkembangan tersendiri. Kekalahan
dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512-1513 pada masa pemerintahan Pati Unus,
menyebabkan Jepara nyaris hancur. Akan tetapi perdagangan lautnya tidaklah musnah sama
sekali. (H.J. de Graaf, 1986: 125). Kegiatan ekonomi menjadi semakin terbengkalai pada saat
wilayah Kesultanan Demak menjadi ajang pertempuran antara Arya Penangsang dengan
keturunan Sultan Trenggana. Meski pun demikian, perdagangan lautnya masih dapat berlangsung,
walau kurang berkembang.
Setelah berakhirnya peperangan melawan Arya Penangsang, Jepara
mengalami perkembangan tersendiri. Apabila Sultan Pajang sibuk dalam rangka
konsolidasi wilayah, maka Jepara pun sibuk membenahi pemerintahan dan ekonomi
yang terbengkelai selama intrik politik berlangsung. Perdagangan laut Jepara dapat
berlangsung meski pun kurang berkembang.
Namun beberapa tahun setelah berkuasa, Ratu Kalinyamat berhasil
memulihkan kembali perdagangan Jepara. Konsolidasi ekonomi memang
diutamakan oleh Ratu Kalinyamat. Di bawah pemerintahannya, pada pertengahan
abad ke 16 perdagangan Jepara dengan daerah seberang laut semakin ramai.
Pedagang-pedagang dari kota-kota pelabuhan di Jawa seperti Banten, Cirebon,
Demak, Tuban, Gresik, dan juga Jepara menjalin hubungan dengan pasar
internasional Malaka. Dari Jepara para pedagang mendatangi Bali, Maluku,
Makasar, dan Banjarmasin dengan barang-barang hasil produksi daerahnya masingmasing
(Meilink Roelofsz, 1962: 103-115). Dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa
diekspor beras ke daerah Maluku dan sebaliknya dari Maluku diekspor rempahrempah
untuk kemudian diperdagangkan lagi. Bersama dengan Demak, Tegal, dan
Semarang, Jepara merupakan daerah ekspor beras (Armando Cortesao, 1967: 188).
Pada pertengahan abad ke-16 perdagangan Jepara dengan daerah seberang
laut menjadi semakin ramai. Menurut berita Portugis, Ratu Jepara itu merupakan
tokoh penting di Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pertengahan abad
ke-16 (H.J. de Graaf, 1986 : 128). Di bawah Ratu Kalinyamat, strategi
pengembangan Jepara lebih diarahkan pada penguatan sektor perdagangan dan
angkatan laut. Kedua bidang ini dapat berkembang baik berkat adanya kerjasama
dengan beberapa kerajaan maritim seperti Johor, Aceh, Banten, dan Maluku.
Meski pun daerahnya kurang subur, namun di wilayah kekusaan Ratu
Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di
pantai utara Jawa Tengah bagian timur yaitu Jepara, Juana, Rembang, dan Lasem.
Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang yang kaya
raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan internasional, terutama dengan Malaka dan
Maluku. Jepara merupakan pensuplai beras yang dihasilkan di daerah hinterland. Selain berperan
sebagai pelabuhan transito juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapok, dan
palawija. Apalagi dengan berlakunya sistem comenda dalam pelayaran dan perdagangan pada
waktu itu (D.H. Burger, 1962 : 25-26), membuat Ratu Kalinyamat tidak hanya sebagai penguasa
politik, tetapi juga sebagai pedagang.
Sesuai dengan letak geografis sebagai kota pelabuhan, Jepara menempati
suatu titik yang menghubungkan dunia daratan dan dunia lautan. Dunia daratan
adalah daerah Pati, Jepara, Juana, dan Rembang, sedang dunia lautan adalah jalur
perdagangan dan pelayaran dengan daerah-daerah sekitarnya mau pun daerah
seberang laut. Dengan demikian dilihat dari segi ekonomi, pelabuhan Jepara
berfungsi sebagai tempat menampung surplus dari daerah hinterland untuk memenuhi
warganya dan didistribusikan ke daerah-daerah lain di seberang lautan. Sebaliknya Jepara juga
berfungsi menampung produk-produk dari daerah luar untuk selanjutnya didistribusikan atau
diperdagangkan ke daerah-daerah hinterland yang membutuhkan.
Perdagangan laut di pantai utara Jawa pada abad ke-16 sebagian besar
dikuasai oleh bangsawan. Sebagai penguasa, mereka mempunyai hak beli dahulu
bagi barang dagangan yang datang dan memborong barang dagangan yang tidak
terjual. Pedagang-pedagang asing memberi prioritas kepada penguasa untuk
memilih barang dagangan yang baik dengan harga lebih rendah dari pembeli lain.
Hubungan baik dengan penguasa setempat senantiasa dipelihara untuk kelancaran
usaha mereka. Dengan jabatan politik yang tinggi dan dukungan finansial yang kuat
memberi peluang bagi penguasa untuk menanamkan pengaruhnya dalam bidang
politik dan pemerintahan.
3. Peranan Ratu Kalinyamat dalam Hubungan Internasional
Kebesaran kekuasaan Ratu Kalinyamat tampak dari luas wilayah pengaruhnya. Menurut naskah
dari Banten dan Cirebon, kekuasaannya menjangkau sampai daerah Banten. Pengaruh kekuasaan
Ratu Kalinyamat di daerah pantai utara Jawa sebelah barat, di samping karena posisi politiknya
juga karena harta kekayaannya yang bersumber pada perdagangan dengan daerah seberang di
pelabuhan Jepara sangat menguntungkan. Sebagai raja yang memiliki posisi politik yang kuat dan
kondisi ekonomi yang kaya, Ratu Kalinyamat sangat berpengaruh di Pulau Jawa.
Hanya tiga tahun di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat, kekuatan armada
Jepara telah pulih kembali. Berita Portugis melaporkan adanya hubungan antara
Ambon dengan Jepara. Diberitakan bahwa para pemimpin Persekutuan Hitu di
Ambon telah berulang kali minta bantuan kepada Jepara, baik untuk memerangi
orang-orang Portugis maupun suku Hative di Maluku (H.J. de Graaf, 1986: 130).
Di depan sudah disebutkan, bahwa pemerintahan Ratu Kalinyamat lebih
mengutamakan strategi pengembangan Jepara untuk memperkuat sektor
perdagangan dan angkatan laut. Kedua bidang ini akan dapat berkembang dengan
baik kalau dilaksanakan melalui kerja sama dengan beberapa kerajaan maritim
seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon. Ini berarti bahwa Ratu
Kalinyamat harus menjalin hubungan diplomatik dan kerjasama dengan
mancanegara agar kedudukan Jepara sebagai pusat kekuasaan politik dan pusat
perdagangan bisa kokoh.
Bukti tersohornya Ratu Kalinyamat pada pertengahan abad ke-16 antara lain
dapat ditunjukkan dengan adanya permintaan dari Raja Johor untuk ikut mengusir
Portugis dari Malaka. Pada tahun 1550, Raja Johor mengirim surat kepada Ratu
Kalinyamat dan mengajak untuk melakukan perang suci melawan Portugis yang
saat itu kebetulan sedang lengah dan menderita berbagai macam kekurangan. Ratu
Kalinyamat menyetujui anjuran itu. Pada tahun 1551 Ratu Kalinyamat
mengirimkan ekspedisi ke Malaka. Dari 200 buah kapal armada persekutuan
Muslim, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara. Armada itu membawa empat
sampai lima ribu prajurit, dipimpin oleh seorang yang bergelar Sang Adapati.
Prajurit dari Jawa ini menyerang dari arah utara. Mereka bertempur dengan gagah
berani dan berhasil merebut kawasan orang pribumi di Malaka.
Serangan Portugis ternyata begitu hebat, sehingga pasukan Melayu terpaksa
mengundurkan diri. Sementara itu, pasukan Jawa tetap bertahan. Mereka baru
mundur setelah seorang panglimanya gugur. Dalam pertempuran yang berlanjut di
darat dan di laut, 2000 prajurit Jawa gugur. Hampir seluruh perbekalan dan
persenjataan berupa arteleri dan mesiu jatuh ke tangan musuh. Walau pun telah
melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan, ekspedisi ini akhirnya mengalami
kegagalan dan terpaksan kembali ke Jawa (H.J. de Graaf en G. Th. Pigeaud, 1974 : 105).
Nasib malang tampaknya menimpa armada Jawa, karena tiba-tiba badai datang. 20 kapal penuh
muatan terdampar di pantai dan menjadi jarahan orang Portugis. Dari seluruh armada Jepara,
hanya kurang dari separo yang bernasib baik dan selamat kembali ke Jepara (Diego de Couto,
1778-1788, : IX, 5 dan H.J. de Graaf, 1987 : 33).
Walau pun pernah mengalami kegagalan, namun Ratu Kalinyamat
tampaknya tidak berputus asa. Semangat menghancurkan Portugis di Malaka terus
berkobar di hati tokoh wanita ini. Pada tahun 1573, ia kembali mendapat ajakan dari
Sultan Aceh, Ali Riayat Syah untuk menyerang Malaka. Ketika armada Aceh telah
mulai menyerang, ternyata armada Jepara tidak muncul pada waktunya.
Keterlambatan ini dengan tidak sengaja amat menguntungkan Portugis. Seandainya
orang Aceh dan Jawa pada waktu itu bersama-sama menyerang pada waktu yang
bersamaan, maka kehancuran Malaka tidak dapat dielakkan (Diego de Couto, 1778-
1788, XVII).
Armada Jepara baru muncul di Malaka pada bulan Oktober 1574. Dibanding
dengan ekspedisi pertama, armada Jepara kali ini jauh lebih besar. Armada ini
terdiri dari 300 buah kapal layar dan 80 buah di antaranya berukuran besar. Awak
kapalnya terdiri dari 15.000 prajurit pilihan, yang dilengkapi dengan banyak sekali
perbekalan, meriam, dan mesiu. Salah satu pemimpin ekspedisi militer ke Malaka
pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah Kyai Demang Laksamana
yang oleh sumber Portugis disebut dengan nama Quilidamao (H.J. de Graaf en Th.
G. Th. Pigeaud, 1974, : 273). Nama itu pada jaman sekarang setingkat Laksamana
Laut atau Jendral. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai penguasa bahari Ratu
Kalinyamat lebih mementingkan kekuatan laut dari pada kekuatan angkatan darat.
Ini tidak berarti bahwa Jepara tidak mempunyai pasukan atau prajurit darat, akan
tetapi kekuatan darat Jepara lebih bersifat defensif yaitu dengan dibangunnya
benteng yang mengelilingi kota pelabuhannya yang menghadap ke darat (Agust.
Supriyono, 2005).
Armada Jepara itu memulai serangan dengan salvo, tembakan yang seolaholah
hendak membelah bumi (H.J. de Graaf, 1986 : 32). Setelah memborbardir kota Malaka
dengan tembakan artileri, keesokan harinya pasukan Jawa didaratkan dan mereka menggali paritparit
pertahanan. Rupa-rupanya peruntungan nasib belum jatuh di pihak Jawa. Pada waktu armada
mereka menyerang, 30 buah kapal besarnya malahan terbakar. Pasukan Jawa kemudian terpaksa
membatasi gerakan dengan mengadakan blokade laut. Portugis baru berhasil menembus rintangan
itu setelah melakukan serangan berkali-kali. Usaha Portugis untuk berunding mengalami
kegagalan karena pihak Jawa menolak tuntutan Portugis yang dianggap terlalu berat.
Sementara itu dalam pertempuran laut pihak Portugis berhasil merebut enam
buah kapal Jawa yang penuh bahan makanan kiriman dari Jepara. Akibat dari
kejadian ini, pasukan Jawa yang selama tiga bulan dengan tegar melakukan blokade
laut, kekuatannya berangsur-aangsur surut karena kekurangan bahan makanan.
Mereka akhirnya terpaksa bergerak mundur dan menderita banyak korban. Konon
hampir dua pertiga dari kekuatan angkatan perang yang berangkat dari Jepara
musnah. Di sekitar Malaka saja terdapat sekitar 7.000 makam orang Jawa (Diego
de Couto, 1778-1788: 5).
Dari pengiriman dua ekspedisi ke Malaka tersebut membuktikan bahwa Ratu
Kalinyamat adalah seorang kepala pemerintahan yang sangat berkuasa. Walaupun ia
gagal dalam misinya, namun orang-orang Portugis juga mengakui kebesarannya.
Dalam bukunya, Diego de Couto menyebutnya sebagai Rainha da Japara, senhora
poderosa e rica, yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa. Ia juga disebut
oleh sumber Portugis sebagai De kranige dame yaitu seorang wanita yang pemberani. Sifat berani
Ratu Kalinyamat ini tampak dalam perjuangannya yang gigih dalam menentang kekuasaan bangsa
Portugis. Kegagalan serangan Jepara itu terutama disebabkan oleh kekalahan dalam bidang
teknologi militer dan pelayaran. Kapal-kapal Portugis jauh lebih unggul dalam teknik
pembuatannya dan lebih besar dari pada kapal-kapal Jepara. Meskipun perlawanan terhadap
Portugis mengalami kegagalan, tetapi pengiriman armada itu cukup menunjukkan bahwa
perekonomian di Jepara pada saat itu sangat kuat.
Sumber Portugis menyebutkan pula bahwa pada masa kekuasaan Ratu
Kalinyamat, Jepara juga menjalin hubungan dengan para pedagang di Ambon.
Beberapa kali para pemimpin pelaut atau pedagang Ambon di Hitu minta bantuan
Ratu Jepara untuk melawan orang-orang Portugis. Hal ini merupakan indikasi
bahwa Jepara juga mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon (H.J. de Graaf
en Th. G. Th. Pigeaut, 1974 : 273).
Pada tahun 1579, Pakuan Pajajaran, sebuah kota dalam Kerajaan Sunda di
Jawa Barat yang belum masuk Islam, ditaklukkan oleh Raja Banten. Pangeran
Jepara putra Hasanuddin dari Banten yang menjadi putra angkat Ratu Kalinyamat
ternyata tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pejajaran. Demikian pula Ratu
Kalinyamat tidak disebutkan ikut dalam ekspedisi itu. Ada kemungkinan bahwa
pada tahun 1579 Ratu Kalinyamat baru saja meninggal. Keponakannya dan
sekaligus putra angkatnya, Pangeran Jepara, telah menggantikannya sebagai raja
(H.J. de Graaf, 1986: 131).
Sebagai kota pantai, Jepara merupakan kota bandar perdagangan yang karena fungsinya
menarik pedagang dari berbagai suku dan kebangsaan untuk tinggal sementara mau pun menetap.
Di bidang politik dan pertahanan, pelabuhan Jepara sebagai pusat pengiriman ekspedisi-ekspedisi
militer untuk meluaskan kekuasaan ke Bangka dan ke Kalimantan Selatan yaitu Tanjung Pura dan
Lawe. Di bawah Ratu Kalinyamat, perdagangan Jepara dengan daerah seberang laut menjadi
semakin ramai. Dia begitu dihormati sebagai kepala keluarga Kasultanan Demak yang
sebenarnya. Di bawah kekuasaannya, dia mampu mempunyai kekuatan armada yang tangguh. Dia
juga menjalin kerja sama dengan Ambon, sehingga para pemimpin persekutuan Hitu di Ambon
telah berulang kali minta bantuan kepada Jepara baik untuk memerangi orang Portugis mau pun
suku Hative di Maluku. Di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat, strategi pengembangan Jepara
lebih diarahkan pada penguasaan sektor perdagangan dan angkatan laut. Kedua bidang ini akan
dapat berkembang dengan baik karena adanya kerja sama dengan beberapa kerajaan maritim
seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon.
Bukti kebesaran Jepara terlihat pada tahun 1550, ketika Raja Johor minta bantuan armada
perang kepada Jepara untuk melakukan perang jihad melawan Portugis di Malaka. Jepara
mengirimkan 40 buah kapal dengan kapasitas angkut 1.000 orang prajurit bersenjata. Meski pun
prajurit Jepara mengalami kekalahan, Ratu Kalinyamat terus berusaha melakukan serangan lagi
terhadap Portugis di Malaka. Pada tahun 1573 Ratu Kalinyamat sekali lagi diminta oleh Sultan
Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk menggempur Portugios di Malaka. Armada yang dikirim
sekitar 300 buah kapal, 80 buah kapal berukuran besar yang masing-masing berbobot 400 ton.
Awak kapal terdiri atas 15.000 prajurit pilihan dengan banyak sekali perbekalan, meriam, dan
mesiu.
Dengan armadanya yang kuat, Ratu Kalinyamat juga pernah melakukan dua kali
penyerangan kepada Portugis di Malaka, yaitu pada tahun 1551 dan tahun 1574. Kedua
penyerangan itu dilakukan Ratu Kalinyamat dalam rangka membantu Kesultanan Johor dan Aceh
untuk mengusir Portugis dari Malaka. Penyerangan pertama gagal, sedangkan pada penyerangan
kedua, meskipun telah berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan, ternyata pasukan Jepara ini
tidak dapat memenangkan penyerangan dan terpksa kembali ke Jawa.
Salah satu pemimpin ekspedisi militer ke Malaka pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat
adalah Kyai Demang Laksamana. Nama itu pada zaman sekarang setingkat dengan Laksamana
Laut atau Jendral. Hal itu menunjukkan bahwa sebagai pnguasa bahari, Ratu Kalinyamat lebih
mementingkan kekuatan laut daripada kekuatan angkatan darat. Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa Jepara tidak mempunyai pasukan atau prajurit angkatan darat, akan tetapi, kekuatan darat
Jepara lebih bersifat defensive, yaitu dengan jalan dibangunnya benteng yang mengelilingi kota
pelabuhan yang menghadap ke darat atau daerah pedalaman Jepara.
Kekalahan armada laut Jawa baik pada ekspedisi Adipati Unus maupun yang dikirim oleh
Ratu Kalinyamat memang merupakan kenyataan yang harus diterima. Hal ini karena diakibatkan
lebih canggihnya teknologi yang dimiliki oleh Portugis yang memiliki senjata pelontar yang
unggul, yaitu meriam. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pada masa pemerintahan Ratu
Kalinyamat masyarakat Jepara telah tampil dalam panggung sejarah Nusantara sebagai
masyarakat bahari. Ciri utama masyarakat bahari adalah di dalam kehiupan mereka, khususnya
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari diperoleh dari kegiatan atau pekerjaannya mngeksploitasi
dan memanfaatkan sumber daya laut. Pada zaman itu, di samping berkehidupan sebagai nelayan,
aktivitas pelayaran dan perdagangan adalah yang paling utama.
Bukti kejayaan Jepara pada zaman itu antara lain adalah armada laut yang besar dan kuat
yang dimiliki Ratu Kalinyamat. Usaha melanjutkan cita-cita Adipati Unus untuk mengusir
Portugis dari Malaka, menunjukkan bahwa Malaka merupakan salah satu titik dari jaringan
perdagangan kota pelabuhan Jepara yang mulai mendunia. Sumber Portugis juga menjelaskan
bahwa pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara juga menjalin hubungan dengan para
pedagang di Ambon. Beberapa kali para pemimpin pelaut dan pedagang Ambon di Hitu meminta
bantuan pertolongan kepada Ratu Kalinyamat untuk melawan orang-orang Portugis maupun
dengan suku lain yang masih seketurunan, yaitu orang-orang Hative. Hal ini merupakan indikasi
bahwa Jepara juga mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon.
V. KESIMPULAN
Ratu Kalinyamat dikenal sebagai tokoh historis legendaris yang dibicarakan masyarakat dengan
berbagai versi. Sebagai akibat dari peperangan Arya Penangsang, di Jepara terdapat toponimtoponim
nama desa yang berhubungan dengan dicederainya Pangeran Hadiri oleh prajurit Arya
Penangsang hingga tewas.
Di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin berkembang sebagai bandar
perdagangan dan pelayaran. Ratu Kalinyamat tidak saja memegang peranan penting dalam politik
dan pemerintahan, tetapi juga menguasai sumber-sumber ekonomi terutama hasil perdagangan
dan pelayaran seberang laut. Adanya sistem comenda menyebabkan Ratu Kalinyamat sebagai
penguasa Jepara yang sangat kaya. Lagi pula ia memiliki angkatan laut yang cukup kuat untuk
mendukung aktivitas pelayaran dan perdagangan seberang laut. Jepara berkembang menjadi
bandar perdagangan dan bandar transito yang dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa dan
suku bangsa. Oleh karena ia menguasai aktivitas ekonomi dan perdagangan itu, maka wajar jika ia
dikenal sebagai penguasa yang sangat kaya.
Kekayaan Ratu Kalinyamat merupakan faktor pendukung utama bagi kekuatan politiknya.
Berkat kekayaannya, ia memiliki armada angkatan laut yang kuat untuk melakukan serangan
terhadap Malaka pada tahun 1551 dan 1574. Serangan itu dilakukan atas dukungannya terhadap
Kerajaan Johor dan Aceh, yang memintanya untuk membantu mengusir Portugis dari Malaka.
Permintaan kedua kerajaan itu memberikan gambaran bahwa secara politis Ratu Kalinyamat
dikenal sebagai penguasa yang sangat kuat dan namanya cukup termasyhur.
Popularitasnya sebagai kepala pemerintahan tidak hanya dikenal di kawasan Nusantara
bagian barat saja, tetapi juga di Nusantara bagian timur. Keberaniannya melawan kekuatan asing
telah dikenal di sepanjang Nusantara dari Aceh, Johor, hingga Maluku. Di samping itu, Ratu
Kalinyamat dapat menjalankan politik persahabatan dengan kerajaan pedalaman sehingga dapat
memelihara stabilitas politik. Dalam masa pemerintahannya, ia tidak mempunyai musuh.
Sebagai pewaris kekuasaan Kasultanan Demak, Ratu Kalinyamat memegang peranan yang
terpenting dibanding dengan penguasa-penguasa yang lain di pantai utara Jawa pada abad ke-16.
Sebagai pemersatu keluarga Kasultanan Demak, Ratu Kalinyamat mempunyai pengaruh yang
cukup kuat di wilayah Banten dan Cirebon. Ia juga mampu mempertahankan konsolidasi
keluarga Kasultanan Demak. Tidak berlebihan kiranya apabila Ratu Kalinyamat disebut sebagai
tokoh pemimpin keluarga Kasultanan Demak dan kepala pemerintahan yang terkuat dari dinasti
Demak. Hanya Jeparalah yang mampu mempertahankan eksistensi dan peranan Demak sebagai
kerajaan yang bercorak maritim di pantai utara Jawa pada abad ke-16, yang memiliki kebesaran
seperti pendahulunya.
Dengan mempelajari kehidupan dan peranan Ratu Kalinyamat, diperoleh pandangan yang
lebih lengkap mengenai perkembangan historis peranan dan kedudukan wanita Indonesia. Ratu
Kalinyamat menggambarkan sosok wanita yang tidak dibatasi oleh tradisi. Aktivitas dan peranan
Ratu Kalinyamat memberikan suatu bukti bahwa tidaklah benar jika wanita Jawa dari kalangan
bangsawan tinggi sangat dibelenggu oleh kungkungan feodalisme. Kasus Ratu Kalinyamat jelas
membuktikan bahwa wanita kalangan bangsawan justru mempunyai peluang yang lebih besar
untuk tampil guna memainkan peranan penting yang sangat dibutuhkan, baik dalam bidang
politik maupun ekonomi. Peluang untuk dapat melakukan peranan penting dalam bidang politik
karena didukung oleh wewenang tradisionalnya, terutama karena keturunan. Ratu Kalinyamat
telah melakukan aktivitas-aktivitas nyata bagi negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendeln/Lichtenstein: Kraus
Reprint-Limited, 1967.
Couto, Diego de. 1778-1788. Da Asia. Jilid V. Lisboa.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Terjemahan
KITLV dan LIPI. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Gina dan Babariyanto. Babad Demak II. 1981. Transliterasi Terjemahan Bebas. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Graaf, H.J. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram.
Terjemahan Grafitipers dan KITLV. Jakarta: Grafitipers.
Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai
Pustaka.
_______. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai
Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Meilink, Roeloffsz. 1962. Asia Trade: Asian Trade and European Influence in the Indonesia
Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague : Martinus Nijhoff.
Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara Pemda Kabupaten Tingkat II Jepara. 1988. Sejarah dan Hari
Jadi Jepara.
Slamet Mulyono, 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara. Jakarta: Bhatara.
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian Lokasi Bekas Kraton Demak. Kerjasama Bappeda
Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
Sulendraningrat, P.S. 1972. Nukilan Sedjarah Tjirebon Asli. Tjirebon: Pusaka.
Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia
dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Veth, P.J. 1912. Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch. Cetakan ke dua. Haarlem.


Tidak ada komentar: