Selasa, 07 Juni 2011

Lukisan Berburu Celeng

Oleh Sindhunata


Pada awalnya, lembaran itu hanyalah sebuah lukisan. Lukisan yang berjudul ”Berburu Celeng” karya perupa Djoko Pekik. Ternyata lukisan itu kemudian menjadi bagaikan ramalan yang memfaalkan karut-marut dan kecemasan bangsa pada zaman sekarang.

Lukisan itu dibuat setelah kejatuhan Orde Baru. Konteksnya fajar merekahnya era reformasi. Digambarkan di sana tertangkapnya seekor celeng raksasa. Dengan badan yang terbalik, celeng itu diikat pada sebilah bambu yang digotong dua lelaki busung lapar. Kerumunan rakyat menyambut tertangkapnya celeng itu dengan pesta ria dan sukacita. Menyambut lukisan tersebut, penulis mengeluarkan sebuah buku berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999). Seperti halnya rakyat waktu itu, penulis juga diliputi euforia reformasi. Toh, terpengaruh oleh kecemasan si pelukis, penulis bertanya: ”Celeng dhegleng sudah tertangkap, tapi mengapa di depan semuanya tambah gelap?”


Maklum, celeng yang tertangkap rakyat sesungguhnya bukanlah binatang celeng, melainkan celeng jadi-jadian. Memang dalam masyarakat Jawa ada yang namanya pesugihan babi ngepet atau bagong liyer atau celeng gontheng. Seperti halnya kodhok ijo, kandhang bubrah, atau Nyai Blorong, pesugihan babi ngepet adalah sejenis upaya menumpuk kekayaan dengan cara menyerahkan diri kepada setan. Sebagai imbalan penyerahan diri, pemilik pesugihan akan dibantu kekuatan jahat memperoleh kekayaan dunia tanpa batas.

Dengan pesugihan babi ngepet atau celeng gontheng, orang dapat mengubah dirinya menjadi celeng. Ia dapat berkeliaran ke mana-mana, mencuri dan mengeruk barang, harta, atau kekayaan tanpa diketahui siapa pun. Ia bisa mengeduk apa saja, jagung, padi, ketela, dan palawija lain, lalu membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan makanan berlimpah bagi dirinya sendiri dan sanak keluarga.

Celeng gontheng memang sangat rakus. Di desa-desa, celeng gontheng dikenal suka mendatangi orang yang sedang punya hajatan. Maklum, di sana ada banyak uang atau barang hasil hajatan. Dengan mudah, celeng gontheng itu menyedot semuanya. Karena itu dulu, jika sedang punya hajatan, orang suka menutup got atau peceren saluran air dan kotoran. Sebab, biasanya di sana celeng gontheng menunggu, lalu menyedot semua lewat saluran itu.

Sangat sulit menangkap celeng jadi-jadian. Katanya, di rumah, istri si pemilik pesugihan senantiasa berjaga ketika suaminya merampok harta orang lain dengan menjelma menjadi celeng. Si istri berjaga, jangan sampai senthir di hadapannya mati. Kalau senthir mati atau kebat-kebit, berarti suaminya tertangkap dan mati atau dalam bahaya. Sebaliknya, asal ia bisa menjaga agar senthir itu tidak mati, suaminya akan selamat dan bisa membawa banyak harta pulang ke rumah.

Masih gelap

”Berburu Celeng” dilukis ketika masyarakat si pelukis baru saja keluar dari krisis. Dan, ke depan, belum ada jaminan bahwa akan sirnalah semua krisis. Malah si pelukis berkata, ”Ngarep isih peteng ndhedhet, Mas (Ke depan masih gelap gulita, Mas)”. Kiranya dengan memakai celeng jadi-jadian sebagai idiom lukisan, si pelukis hendak mengingatkan, krisis yang telah dan akan terjadi bukan berkenaan dengan masalah politik, ekonomi, atau sosial. Lebih dari itu, krisis itu akibat dari misteri kekuasaan jahat yang bekerja sama dengan nafsu keserakahan manusia.

Pada akhir buku Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka, penulis lalu mengkhayalkan, betapa dahsyat daya tular celeng jadi-jadian. Diceritakan, lukisan ”Berburu Celeng” itu dipamerkan dalam sebuah acara pembukaan yang amat meriah dan mewah. Di luar dugaan, acara pembukaan resmi ini tiba-tiba berubah menjadi chaos. Suasana jadi kacau-balau karena semua yang hadir berubah menjadi celeng. Tak ada lagi yang malu mengakui diri celeng. Semua berulah seperti celeng, saling menubruk, menyedot, dan berkubang di peceren kotor. Lelaki dan wanita bercumbu tanpa malu-malu, seperti celeng. Mereka bergumul, bergulung-gulung, merintih-rintih keenakan, seperti celeng. Di langit, bintang gubuk penceng pun ikut berubah menjadi bintang celeng.

Mengiringi pembukaan pameran lukisan ”Berburu Celeng” karya Djoko Pekik, panitia mementaskan pergelaran wayang kulit semalam suntuk bersama Ki Dalang Manteb Sudharsono di Pasar Yakopan, Bentara Budaya Yogyakarta. Ki Manteb, yang dijuluki ”dalang setan”, memilih lakon ”Pandu Swarga”. Bayangkan, dalam garapan Ki Manteb, bapak para kesatria Pandawa, Pandu Dewanata, yang terkenal berbudi luhur akhirnya juga digambarkan sebagai celeng karena semasa hidup ia juga pernah membuat kesalahan fatal.

Fantastis, pada akhir pentas, Ki Manteb, bersama para sinden dan penabuh gamelan, tiba-tiba menghadap ke penonton sambil serentak mengenakan topeng celeng. Semua jadi celeng. Ki dalang pun ternyata celeng. Dan, Ki Manteb berteriak: Lengji, lengbeh, celeng siji, celeng kabeh! Artinya: Satu celeng, semuanya celeng!

Lengji, lengbeh adalah ramalan pada awal era reformasi yang kebenarannya sungguh nyata sekarang. Reformasi yang semula diharapkan menjadi pintu menuju zaman baru ternyata pamiyaking warana (pembuka tabir misteri) yang menyatakan siapakah sesungguhnya bangsa ini.

Korupsi melanda bangsa ini sampai ke sumsum-sumsumnya. Hampir setiap hari koran apa pun memberitakan korupsi. Pejabat yang semula dikira bersih dan mendapat dukungan rakyat sepenuh hati ternyata terbukti korupsi. Partai politik yang katanya memperjuangkan nurani rakyat ternyata juga mempertahankan dirinya dengan korupsi. Tak terlihat sama sekali partai-partai itu memperjuangkan kepentingan rakyat, seperti dulu dijanjikan.

Kini, bangsa ini sedang dicacah-cacah dengan pertengkaran, perselisihan, dan perpecahan. Di sana-sini meledak kekerasan yang mengancam hak hidup kaum minoritas. Namun, negara hanyalah diam, seakan-akan sengaja melakukan pembiaran sehingga orang bertanya: masihkah ada negara pada saat bangsa sedang amat membutuhkan ketegasannya? Di manakah para pemimpin bangsa saat kita meratapkan kesedihan dan penderitaan kita? Negara seakan tidak ada, padahal di sini hukum sedang menjalankan ketidakadilan dan kekejamannya yang selalu menistakan dan menyiksa wong cilik seperti Sengkon dan Karta.

Orang-orang kaya dibiarkan makin serakah dengan harta melimpah-limpah. Sementara orang-orang miskin makin merana dan menderita. Di manakah negara ketika rakyat kecil sedang menjerit agar keadilan dan pemerataan kesempatan ditegakkan? Bangsa ini memang sungguh merana karena pemimpin dan pemuka rakyat sudah kehilangan rasa malu.

Bayangkan, jangankan mengangkat martabat bangsa, mengangkat martabat sepak bola saja kita tidak bisa. Alangkah malunya kita menyaksikan ulah pemimpin-pemimpin sepak bola kita. Dunia sepak bola kita hanya cerminan dari dunia politik kita yang menunjukkan para pemimpin hanya pandai cakar-cakaran untuk memperebutkan kekuasaan dan melupakan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Sederet litani lain tentang karut-marut bangsa masih bisa kita tambahkan. Namun, cukuplah apabila dikatakan, reformasi sesungguhnya adalah kesempatan sejarah yang miyak warana, mengungkapkan tabir misteri siapa kita: kita adalah bangsa yang sedang menderita serapah lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh.

Lengji lengbeh karena sedang benarlah sekarang ramalan-ramalan yang pernah dikatakan tentang bangsa ini. Pernah diramalkan dalam Jangka Jayabaya, di tanah Jawa ini akan datang saat orang berjumpa dengan keyong lurik saparan-paran. Keyong lurik adalah bekicot yang diartikan sakebeke cocot. Uraiannya lagi: para pemuka masyarakat bisanya hanya nyocot alias membual janji dan omong kosong, sementara rakyat kecil hanya bisa memperoleh makanan sakebeke cocot, sesuap nasi sekadar untuk memenuhi mulut alias kaliren atau kelaparan.

Daya agama lumpuh

Kita sedang terkena kutukan lengji lengbeh karena sekarang kita hidup pada zaman betik mangan manggar. Betik adalah sejenis ikan yang tinggal di kolam. Bagaimana mungkin ia bisa memakan manggar yang tumbuh di ketinggian? Inilah bidal atau ibarat tentang zaman, di mana orang biasa, yang tak mempunyai kompetensi apa-apa, tiba-tiba menjadi pucuk pimpinan. Tidakkah ini yang terjadi sekarang? Kabupaten atau kota-kota dipimpin bupati atau wali kota yang tiba-tiba saja mencuat tanpa prestasi kepemimpinan apa pun sebelumnya. Tak mustahil jika di banyak tempat otonomi daerah hanya makin menambah sengsara rakyat.

DPR kita dipenuhi betik mangan manggar. Wakil rakyat suka studi banding yang ujung-ujungnya hanya klenceren, tanpa membawa manfaat bagi rakyat. Banyak wakil rakyat yang tak malu-malu menjalankan korupsi, menyedot uang habis-habisan mumpung menjabat, persis seperti orang yang diserakahi pesugihan celeng. Belum lagi ucapan pimpinan mereka yang kerap melukai hati rakyat. Alam celeng seakan menggelayuti gedung DPR.

Ketika serapah lengji lengbeh, agama pun dikomersialkan dan dijadikan alat untuk memainkan kekuasaan, terjadilah ramalan Trajuningtyas (timbangan batin) dalam ajaran Sabdopalon bahwa Allah mung kanggo boreh, kanggo kekudung, kanggo pawitan, kanggo aling-aling sepoto, kanggo bregas-bregasan, kanggo gaib-gaiban, kanggo golek brekatan, kanggo menang-menangan, kanggo suci-sucian, kanggo bagus-bagusan, kanggo becik-becikan.

Maksudnya Tuhan diucapkan di mana-mana, tetapi sebenarnya Tuhan hanyalah dijadikan bedak polesan, kudung, modal, persembunyian, gagah-gagahan, gaib-gaiban, suci-sucian, saleh-salehan, kuat-kuatan, dan sarana cari rezeki. Orang mengucapkan nama-Nya, tetapi tak sedikit pun manut-miturut, nggugu mituhu marang pepacuhing Allah (tunduk tawaduk berpegang pada petunjuk Allah).

Serapah lengji lengbeh membuat daya agama lumpuh. Maklum terkena serapah itu, mental dan moral manusia anjlok. Manusia lebih dikendalikan hawa nafsu yang rendah dan menyerodok seperti celeng sehingga tak mungkinlah ia mendalami kemuliaan dan keluhuran ajaran agama. Maka, para pemuka agama pun tak bisa menghindar dari lengji lengbeh sehingga benarlah kata pujangga Ranggawarsita dalam Serat Jaka Lodhang: Wong alim-alim pulasan, njaba putih njero kuning, ngulama mangsah maksiat, orang alim hanya di luaran, luarnya putih dalamnya kuning, pemuka agama pun tergoda mengajarkan kemaksiatan.

Memudarnya masyarakat sipil

Lengji lengbeh adalah sebuah alegori kultural yang dengan pas menerangkan karut-marut keadaan sekarang. Jika ditafsirkan secara filosofis, lengji lengbeh bisa dimengerti sebagai die Wiederkehr des Bösen, kuasa jahat yang datang kembali. Dalam refleksi ahli filsafat dan hukum Günter Frankenberg dari Universitas Frankfurt (die Zeit, 25/11/1994), kembalinya kuasa jahat itu tidak pertama-tama berkenaan dengan kejahatan individu, tapi dengan memudarnya masyarakat sipil.

Memudarnya masyarakat sipil itu ditandai merosotnya tata cara dan sopan santun peradaban, baik dalam hal sosial maupun politik. Tanda lain, hilangnya peran negara dalam banyak aspek kehidupan. Negara dipenjara gerombolan tertentu yang kekuasaannya tak terkendalikan lagi. Hak-hak masyarakat sipil yang anti-totalitarian diinjak-injak oleh kekuatan gerombolan tertentu yang memaksakan kehendak secara totaliter dan kalau perlu menjalankan kekerasan paramiliter. Tidakkah ancaman ini juga sedang terjadi pada masyarakat sipil kita yang sedang ingin kita bangun? Kita sedang mengalami die Wiederkehr des Bösen yang telah kita bahasakan dengan lengji lengbeh.

Lengji lengbeh juga bisa dibaca dalam kacamata ajaran tentang kodrat manusia dari filsuf Thomas Hobbes. Menurut Hobbes, pada dasarnya kodrat manusia adalah jelek. Manusia adalah serigala bagi sesama, homo homini lupus, yang berarti lebih kurang sama dengan celeng siji, celeng kabeh. Jika ini dibiarkan, akan terjadi perkelahian semua melawan semua. Untuk mengatasi kebuasan manusia yang saling menghancurkan, perlu negara kuat dan totaliter bagaikan Leviathan.

Selama 30 tahun lamanya di bawah rezim Orde Baru kita pernah mengalami hidup dalam rezim negara Leviathan yang total otoriter. Ketika Orde Baru terguling oleh reformasi, kita berpikir, dengan segera kita akan dapat menjalankan politik yang membangun masyarakat sipil. Ternyata reformasi malah menjadi pembuka tabir bahwa kita belum becus menjalankan politik kebangsaan. Politik yang kita impikan justru menjerumuskan kita ke dalam kodrat yang primitif, kodrat lengji lengbeh.

Menurut Jürgen Habermas (1992), bangsa atau nation lain dengan sivitas. Nation lebih kurang sama dengan gens atau populus yang merujuk pada rakyat atau suku yang belum terorganisasikan secara politik. Warga Roma malah sering menggunakan istilah itu untuk merujuk pada orang-orang barbar, liar, dan pagan. Dalam peristilahan klasik, nation adalah komunitas orang-orang yang nenek moyangnya sama, terikat dalam suatu wilayah geografis, bahasa, adat istiadat, dan tradisi sama, tetapi belum terintegrasikan secara politis menjadi suatu organisasi negara.

Dalam arti itu nation adalah suatu kesatuan komunitas yang prapolitik. Baru ketika nation berhasil membentuk diri lewat politik, ia jadi a nation of citizens, sebuah sivitas, yang jadi dasar dan dinamika sebuah negara. Dalam arti ini, sebuah bangsa terbentuk bukan karena turunan identitas dan warisan kultural maupun etniknya, tetapi karena praksis warganya dalam menjalankan hal-hal kewargaannya. Tak heran jika dalam kaitan ini ada ungkapan terkenal dari pemikir republikan, Ernest Renan, yakni the existence of a nation is a daily plebiscite.

Selama 30 tahun kita hidup di bawah rezim totaliter Orde Baru. Selama itu kita dicekam ketakutan untuk berpolitik dan sama sekali tak berkesempatan membangun sivitas dan menjalankan hak-hak sipil kita. Dan, ketika reformasi tiba, ia pun miyak warana, membuka tabir rahasia kita, bahwa kita belum membentuk suatu nation of citizens dan bahwa kita sesungguhnya masih berada dalam tahap prapolitik pembentukan bangsa.

Tak heran dalam keadaan prapolitik ini kita masih dikendalikan kekodratan kita yang primitif, lengji lengbeh, mirip dengan homo homini lupus itu. Tak heran pula jika dalam keadaan bangsa yang prapolitik ini pemimpin-pemimpin kita menjalankan politik dengan cara-cara primitif, kasar, dan belum berkeadaban. Tak heran juga jika keadaan prapolitik ini menjalankan politik salah kedaden, mirip ulahnya celeng gontheng, menubruk ke sana kemari sampai merasuki dan menodai bidang yang begitu pribadi, seperti agama.

Reformasi memang memasukkan kita ke alam kebebasan. Namun, harap diingat, kebebasan seharusnya selalu mengandaikan kesamaan. Hanya dengan kesamaan orang bisa bebas melontarkan pendapat dan mengutarakan hak-hak. Maka, tanpa kesamaan, kebebasan hanya menjadi milik mereka yang kuat, kaya, dan berkuasa.

Pada era reformasi, kesamaan tersebut masih jauh di seberang mata. Akibatnya, kebebasan hanya digunakan mereka yang kuat untuk memperalat dan mengesampingkan yang lemah. Mereka yang kuat seenaknya menjalankan politik memperalat rakyat untuk menumpuk dan menyedot harta. Rasanya kita memang sedang berada dalam suasana di mana politik berjalan dengan primitivisme pesugihan celeng gontheng. Lengji lengbeh adalah serapah yang sedang menimpa dan mengingatkan agar kita berjaga secara istimewa, eling lan waspada lebih dari biasa. Memang lengji lengbeh adalah die Wiederkehr des Bösen, kuasa jahat yang sedang mengunjungi. Kita jadi tahu metafisika dan kekodratan kejahatan kita.

Uniknya untuk keluar dari belenggu kuasa jahat itu kita tak bisa mengharapkan pertolongan kuasa gaib mana pun. Bahkan, keluhuran agama dan belas kasih Tuhan pun tak dapat menolong. Sebab, akar masalahnya bukan pada merosotnya martabat individu atau tak berdayanya agama, atau kurangnya rahmat belas kasih Allah, melainkan pada tiadanya tekad untuk membangun kebersamaan kita.
Masih berkehendakkah kita membangun masyarakat politik dan sipil yang beradab? Jika kehendak ini sudah tiada lagi, lengji lengbeh sebagai kuasa jahat pun akan kembali. Tampaknya Tuhan mengembalikan pada keputusan kita apakah secara bersama-sama kita mau atau tidak melawan kodrat kejahatan yang menggoda kita untuk jadi celeng bagi sesama kita. Itulah implikasi dan makna kebebasan yang dianugerahkan-Nya kepada kita.

Sindhunata Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Sumber

Tidak ada komentar: