Jumat, 18 Maret 2011

Otokritik terhadap Prilaku Pragmatis Mahasiswa

Mahasiswa sering disebut sebagai kaum intelektual, memiliki kapasitas berfikir yang lebih kuat daripada yang lainnya. Selain itu, idealisme mahasiswa manusia telah mengukir sejarah, dibuktikan melalui Gerakan Mahasiswa (Germa) yang telah terjadi beberapa kali. Seperti dalam peristiwa reformasi ’98. Gerakan mahasiswa membawa perubahan besar bagi perkembangan stabilitas nasional, fungsi dan peran mahasiswa sebagai pengawas pemerintah dan agent or change telah dapat dibuktikan.

Setelah dilakukan pengamatan oleh penulis, ternyata gerakan-gerakan itu tidaklah lahir secara akademik dan tidak bersumber pada keseharian mahasiswa di kelas. Hal ini terjadi karena pembelajaran kolektif yang dilakukan ekstra-akademik, baik melalui  pengalaman organisasi maupun karena wacana yang setiap saat mempngaruhi pikirannya.
Gerakan  mahasiswa tersebut telah menjadi bukti bahwa mahasiswa mampu membawa kepada perubahan. Oleh karena itu, peran aktif mahasiswa sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kemudian, bagaimana perilaku mahasiswa sendiri ketika di dalam kampus? Apakah sudah menunjukkan idealitas mahasiswa yang sebenarnya?
Mari kita cerna beberapa kasus yang kecil dan klasik seperti perilaku siswa saat menjelang ujian semester. Ketidakjujuran akademik mulai muncul pada saat itu. Banyak dijumpai mahasiswa berlaku curang dengan membuat contekan di atas “kertas ajaibnya”. Pengawasan dosen seakan-akan tidak mampu mengamati lipatan-lipatan kertas yang sengaja di-design mahasiswa untuk meraih nilai optimal. Copy-paste secara mutlak dari sumber buku atau yang disebut dengan cara the invisible hand, bahkan mengadopsi dari sumber-sumber di internet juga masih sering terjadi sehingga mahasiswa kurang dalam mengeksplorasi pikirannya. Terlebih jika mahasiswa dibebani presensi yang mutlak harus dipenuhi 75%, kehadiran mahasiswa untuk mengikuti kuliah sekedar untuk mengejar nilai (indeks prestasi; red) yang dibebankan oleh akademik dalam skala sekian persen itu, sedangkan esensi materi perkuliahan yang substantif tidak menjadi tolak ukur mahasiswa secara keseluruhan.
Melihat kondisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa “pragmatisme tidak dapat lepas dari perilaku mahasiswa”. Pragmatisme seperti yang dikatakan oleh Rahayu Utami, mahasiswa FKIP Universitas Sunan Muria Kudus dalam artikelnya “pragmatisme mahasiswa” (diunggah pada hari rabu tanggal 18 Dzulhijjah 1429 H) dalam situs http://bung-hatta.info) merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit, dan instan.
Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan segera tercapai tanpa mau berfikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Akibatnya, kadang hasilnya itu meleset dari tujuan awal. Sementara itu, perilaku pragmatis mahasiswa yang demikian seakan telah membudaya, dan suatu budaya yang sukar untuk diubah lagi  apalagi dihilangkan. Segalanya kembali kepada niat dan kesadaran masing-masing individu.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perilaku pragmatis itu mewabah dalam perilaku mahasiswa, di antaranya karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih mengarah kepada sifat dan kebiasaan malas yang susah diubah, telah mengakar pada pola perilaku individu, selain itu juga kesadaran terhadap kesalahan yang dilakukan belum muncul, yang ada hanyalah egoisme yang mengarah kepada keinginan praktis.
Adapun faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah, pertama,budaya (kultur) akademik kampus yang lemah, statis, adem ayem, santai, dan tidak berorientasi pada percepatan wacana intelektual. Kedua, karena sumber informasi (referensi) yang didapat terbatas, sehingga mahasiswa tidak memenuhi cara klausa halal untuk memenuhi beban akademiknya. Ketiga, Karena tuntutan akademik (peraturan yang dibuat oleh dosen, lembaga (kampus), maupun peraturan langsung yang dibuat oleh Dikti/Dirjen yang mengikat dan menjadi beban mahasiswa, seperti presensi yang harus memenuhi kuota 75%, waktu pengumpulan tugas yang sempit, jadwal perkuliahan yang padat, sikap dosen yang menekan mahasiswa layaknya  murid sekolah dasar dan menengah dan sebagainya.
Oleh karenanya, mahasiswa harus membagi pikirannya untuk memenuhi target akademik yang berorientasi nilai secara nominal saja, bukan substansial, tanggung jawab akademik hanya pada wilayah kognitif, tidak pada wilayah psikomotorik dan afektifnya.
Beberapa faktor di atas juga dapat menjadi alasan mengapa mahasiswa lebih memilih cuti, ataupun aktif di luar kelas. Karena dirasa, kelas bukan tempat belajar yang menyenangkan, mahasiswa bosan dijejali berjuta teori, tanpa dibumbui sesuatu yang menarik agar ia mau dan mampu menerima mata kuliah dengan nyaman. Seperti banyak diperbanyak kuliah outdoor, praktek, diskusi, game dalam ruangan, dan pengajar menjadi mitra mahasiswa untuk memenuhi target kuliah. 

Kreativitas mahasiswa dalam bidang tertentu lebih banyak muncul diluar ruang kelas, seperti aktivitasnya dalam organisasi; kelompok bermain dalam bidang tertentu seperti seni,  olahraga, kepenulisan, dan lain-lain. sedangkan kreativitas dalam bidang akademik masih dalam skala kecil, seperti kreatif dalam pembuatan makalah, penelitian dan kajian ilmiah, analisis kasus dalam materi, rangkuman materi, diskusi kelompok, dan sebagainya. Semua itu disebabkan karena mahasiswa lelah dengan beban akademik, ia hanya dikejar-kejar tanggungjawab. Yang ada dalam pikirannya hanyalah “tugas dan tugas”,  tanpa adanya kesadaran mendasar yang tumbuh dalam diri pribadi mahasiswa.
Selain itu, faktor profesionalisme dosen juga sering dipertanyakan oleh kalangan mahasiswa, misalnya pada jurusan tertentu ada salah satu dosen yang luar biasa mengampu tiga mata kuliah dalam satu semester, sedangkan ia hanya memiliki satu bidang keahlian saja. Ada juga kasus pada satu mata kuliah regular yang dilaksanakan pada hari libur yang diajarkan sampai setengah hari penuh, dimulai pukul 07.00 sampai pukul 12.00 dan diampu oleh dua orang dosen sekaligus. Mungkin ini sangat wajar jika terjadi pada mahasiswa non-regular. Tapi, dalam mahasiswa non-regular hal ini sangat membosankan, sehingga belajar di perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pembelajaran paling bermutu tidak dapat diraih oleh mahasiswa, kecendrungan untuk lari dari perkuliahan pun sangat kuat dibandingkan untuk mengikutinya.

oleh: Akbar Bahaulloh

1 komentar:

Anonim mengatakan...

good job! para dosen seharusnya malu dan sadar setelah baca artikel ini.